Yang Berbeda dari "Filosofi Kopi" Movie
April 12, 2015Baca Juga
Sumber: googling |
***
Tak disangka, saya memperoleh kesempatan menonton penayangan perdana film Filosofi Kopi itu dari sebuah kuis twitter. Beberapa waktu lalu, Madama Radio menggelar kuis yang menjanjikan satu tiket gratis untuk film itu. Meskipun pada akhirnya saya tetap memperoleh 2 tiket nonton.
Promosi besar-besaran film ini memang cukup gencar dilakukan oleh manajemennya. Baik di twitter, maupun roadshow di beberapa kota, termasuk di Makassar. Bahkan, seminggu sebelumnya, saya diajak seorang teman menghadiri meet n greet-nya di salah satu kafe baru Makassar. Di kedai kopi sederhana yang diberi nama Kopiteori itu, Chico Jericho dan Rio Dewanto bercerita tentang film yang dibintanginya.
Sejujurnya, film Filosofi Kopi yang saya tonton benar-benar di luar ekspektasi. Skenarionya sungguh berbeda dari cerita yang ada di dalam buku Dewi “Dee” Lestari. Kalau di dalam cerpennya, Dee menggambarkan ceritanya agak sederhana dan “rendah hati”. Entah kenapa, saya justru melihat penggambaran cerita di film agak mewah dan “angkuh”.
“Bukannya semua adaptasi novel yang dijadikan film memang biasanya berbeda dari cerita aslinya?” tanggap seorang teman.
Sejauh pengalaman saya, film yang diadaptasi dari novel memang banyak mengalami pengubahan cerita disana-sini. Diantara novel karya Dee yang sudah difilmkan, nyaris semuanya mengalami pengubahan “ekspektasi” pembaca, kecuali Perahu Kertas. Menurut saya, film yang dibuat dua seri itu cukup mewakili isi dalam novelnya sendiri.
Nah, Filosofi Kopi-lah yang paling banyak mengalami pengubahan dan “pembelokan” dari sisi cerita. Kalau boleh, mungkin lebih tepat jika saya katakan “perombakan” cerita. Banyak improvisasi yang dilakukan di dalam film.
Sosok Perempuan Bernama El
Saya harus mengatakan, lagi-lagi perempuan dijadikan bahan “jualan” bagi penikmat seni.
Julie Estelle, memerankan El. (Sumber: Filkop Movie) |
Padahal, dalam cerita aslinya, Ben dan Jody menemukan Kopi Tiwus tidak “diantarkan” oleh El. Ceritanya, seingat saya, tidak mengikutsertakan sosok perempuan itu. Sosok El di film ini justru menggantikan sosok seorang bapak-bapak dalam cerpen, yang datang berkunjung ke kedai kopi Ben dan Jody.
Bapak-bapak perawakan sederhana, datang mengepit koran di ketiaknya, yang tidak terpengaruh rasa sempurna Ben’s Perfecto. Ekspresinya yang biasa-biasa saja pada kopi yang terenak di kedai itu memancing emosi dan rasa penasaran Ben. Ia pun bertanya tentang kopi apa yang bisa lebih enak dari kopi buatannya. Disinilah si bapak-bapak dari desa ini menunjukkan jalan menuju sebuah warung kecil milik Pak Seno di desanya.
Saya sendiri sebenarnya lebih sreg jika jalan ceritanya seperti di dalam buku itu. Sebagai seorang Q Grader Internasional, food traveler blogger, saya masih belum percaya seorang perempuan cantik dan mulus kulitnya seperti El pernah mampir di sebuah warung kecil pedesaan, sekadar mencicipi kopinya. What the...?
Di akhir cerita, saya baru ngeh, kalau sosok perempuan terpelajar ini digambarkan sebagai seorang penulis yang juga menerbitkan buku berjudul Filosofi Kopi. Ia juga bakal ditautkan pada pemeran utama lainnya.
Pada dasarnya, produksi audio-visual memang selalu mengikutsertakan perempuan cantik sebagai “pemanis”nya. Cerita di dalam buku Dee terkesan maskulin, tanpa sentuhan perempuan mana pun. Sementara jika film harus mengikuti cerita aslinya, tanpa kehadiran “eksploitasi” perempuan, mungkin diyakini sutradaranya film tidak akan laku di pasaran. Akh, selalu, perempuan cantik menjadi “jualan”.
Cerita Utuh
Bagi pembaca yang jeli, tentu tahu bagaimana jalan cerita yang sesungguhnya dari Filosofi Kopi. Alur film jelas-jelas menyatukan semua bagian secara utuh. Dalam artian, habis-sekali-babat.
Pencarian Ben dan Jody terhadap kopi terenak berakhir pada Kopi Tiwus, dengan alur sebagai berikut:
ditantang seorang pengusaha – meracik Ben’s Perfecto – El bilang masih ada kopi yang lebih enak – mendatangi Pak Seno – meracik Kopi Tiwus – pengusaha puas dan menyerahkan ceknya
Sementara di bukunya, saya mencatat alurnya justru agak berselisih paham sedikit,
ditantang seorang pengusaha – meracik Ben’s Perfecto – pengusaha puas dan menyerahkan ceknya – seorang bapak-bapak datang minum kopi dan bilang rasanya lumayan – mendatangi Pak Seno – meracik Kopi tiwus
Jadi, cerita di buku tidak menghubungkan langsung antara Kopi Tiwus dengan pengusaha itu. Justru pengusaha sudah merasa terpenuhi dengan Ben’s Perfecto dan menghadiahi mereka cek senilai Rp 50juta rupiah. Pengusaha di buku malah tak pernah menyesap aroma Kopi Tiwus.
“Sukses adalah wujud kesempurnaan hidup,” Ben’s Perfecto, card.
Sementara Kopi Tiwus bukanlah soal Ben memenuhi tantangan kepada pengusaha, melainkan tantangan atas obsesinya sendiri. Dari sana, ia disadarkan dengan “keangkuhannya” atas kopi yang selama ini dibanggakannya.
"Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan," --Filosofi Kopi--
Penyadaran itu diperolehnya dari Pak Seno yang sederhana nan lugu. Ditambah dengan sentuhan seorang sahabat terbaik seperti Jody. Bahwa tak ada yang sempurna dalam hidup ini.
Latar Belakang Ben Mencintai Kopi
Nah, di sisi film, hal ini cukup dibuat berbeda oleh sang sutradara. Jika di buku tidak disebutkan latar belakang Ben sangat terobsesi dengan kopi, maka di filmnya, keping demi keping ditunjukkan bagaimana sebuah peristiwa membuat Ben sungguh mencintai dunianya.
Ben yang berasal dari keluarga petani kopi. Lahan yang harus berganti dan ditanami sawit oleh pemerintah. Ibunya yang meninggal di tengah pergolakan masyarakat atas kebijakan tersebut. Bapaknya yang dulu sangat mencintai kopi berubah jadi sangat membenci kopi sepeninggal ibunya.
Cerita mengenai latar belakang kehidupan Ben ini ini menjadi bagian tersendiri dalam mendramatisir beberapa adegan. Kisah-kisah tersebut sengaja dibuat demi mengantar penonton pada keharuan. Ada sisi sentimentil penonton yang ingin disentuh oleh sutradara maupun produser film.
Saya sendiri dibuat menitikkan air mata ketika menyimak adegan Ben pulang kampung, memutuskan pensiun dari pekerjaannya membuat kopi. Kehangatan bersama bapaknya di rumah sungguh mengingatkan saya tentang rumah.
Ada sisi kelam hidup saya yang nyaris mendekati kisah Ben yang pergi dari rumah. Mengingatkan dan membuat saya banjir air mata. Ah, sudahlah, saya tidak ingin menangis hanya karena menghingat-ingat bagian seperti ini dan menuliskannya. Serius, mata saya sekarang sedang berkaca-kaca.
“Buatkan bapak kopi. Sudah 13 tahun bapak tidak merasakan kopi buatan kamu,” ujar bapaknya, yang menyodorkan sebungkus biji kopi kepada Ben di meja makan.
Kopi itu adalah kopi terakhir yang disimpannya, setelah ia mengamuk membakari semua karung kopinya dulu. Demi menunggu kepulangan anaknya belasan tahun, ia menyimpannya.
Di sisi lain, sutradara berhasil mengundang haru dari penontonnya. Di tengah bioskop, saya mendengar beberapa orang di belakang saya sedikit menangis karena adegannya. Apalagi ketika Ben menemani Pak Seno ke kebun kopinya dan terputarlah kembali ingatan Ben tentang masa kecilnya dulu. Kalau yang bagian ini saya biasa-biasa saja.
Ben di tengah-tengah kebun kopi dketika diantar Pak Seno dan sitrinya. Ia merenung tentang masa kecilnya. (Sumber: Filkop Movie) |
Penemuan Jati Diri Ben
Saya kehilangan sentuhan dengan penyadaran akan obsesi Ben di filmnya. Setelah menemukan Kopi Tiwus memang yang terenak, mengalahkan Ben’s Perfecto, Ben merasa terpukul. Ia tak terima kopi racikannya bisa dikalahkan oleh kopi seduhan biasa yang dibuat oleh petani desa. Ia pun memutuskan pensiun dari pekerjaannya sebagai peracik kopi.
“Gue gak pernah main-main soal kopi,” tutur Ben, di film, selalu kepada Jody tentang kecintaannya pada kopi.
Antara buku dan filmnya, keduanya memiliki hubungan yang sama. Sayangnya, proses penyadaran Ben kembali yang agak berbeda.
Di film, dengan memanfaatkan sisi “pemanis” El sebagai seorang wanita cantik, Ben tersadarkan oleh pertengakarannya dengan El di sebuah wisma setelah mereka berkunjung ke warung Pak Seno. Biasa kan dalam film, tokoh yang akan saling-suka bertengkar hebat dulu, bahkan saling membenci, yang ujung-ujungnya bakal saling naksir. Hal itu ditunjukkan pula dalam film ini, kelak di akhir filmnya.
Selain itu, Ben juga kembali menemukan jalan hidupnya usai dari “pulang kampung”. Dari sana, ia menemukan kembali makna kehidupannya. Menemani bapaknya selama beberapa hari di rumah memberinya kesadaran tentang passion-nya itu. Sebagai sahabat, Jody juga mengunjungi dan mengajaknya kembali.
“Ibarat tubuh, kalau gue adalah otaknya, maka loe adalah hatinya,” pesan Jody.
“Jadi, maksud loe, gue gak punya otak gitu?” canda Ben tiba-tiba, sembari tertawa.
Yang berbeda, di bukunya, Ben justru menemukan kesadaran dirinya benar-benar berasal dari persahabatannya dengan Jody. Di bagian ini saya merasa bagian paling manis. Manis sekali. Bagian yang justru dibelokkan dalam filmnya. Di saat Jody untuk pertama kalinya membuat sendiri kopi dan membaginya dengan Ben.
“Ayolah. Kapan lagi gue yang cuma bisa bikin kopi sachetan bisa bikinin loe kopi kayak gini,” usul Jody.
Ben tersadar dengan kopi yang diminumnya. Sesegera Jody mengangsurkan kartu dari kopi yang telah disesap Ben, yang berbunyi,
"Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya." --Kopi Tiwus, card--
Jody juga tak lupa memberikan setumpuk surat dari penggemar Kedai Filosofi Kopi semenjak pensiunnya Ben dari pekerjaan meracik kopi di kedainya. Nah, bagian ini yang menurut saya cukup mendorong Ben untuk kembali menekuni passion-nya.
"Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku dalam tantangan bodoh yang cuma jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperangkap dalam kesempurnaan palsu, artifisial! serunya gemas, "Aku malu kepada diriku sendiri, kepada semua orang yang sudah kujejali dengan kegomalan Ben's Perfecto." --Filosofi Kopi, kumpulan cerpen--
Penggambaran Pak Seno
Di sini, penggambaran Pak Seno juga agak di luar dari ekspektasi saya. Pak Seno yang diperankan oleh aktor senior Slamet Rahardjo sudah terkesan agak modern dan tak lagi memiliki sisi sederhana nan lugu. Ditambah kacamata penampilan Pak Seno justru terkesan sebagai seorang tua yang memang berpendidikan. Tidak serupa dengan petani-petani biasanya.
Salah satu adegan penutup yang paling saya sukai di dalam cerpen juga dihilangkan. Di saat Pak Seno dengan polosnya bertanya kepada istrinya perihal kertas yang ada di tangannya. Mereka tidak tahu bahwa kertas tersebut adalah cek yang bernilai uang puluhan juta rupiah.
***
Sebenarnya, masih ada banyak pembeda yang mengusung cerita Filosofi Kopi. Terlepas dari iklan produk yang beberapa kali melintas dan agak mengganggu penampakan film. Suara “slurpp” minum kopi para pemeran yang sengaja didramatisir demi mengundang keinginan penonton minum kopi. Jumlah uang taruhan yang berbeda dan terkesan tidak masuk akal. Ending cerita yang dibuat dengan sentuhan berbeda.
Meskipun secara mendasar, ceritanya tetap dibuat sama. Dewi Lestari sebagai penulisnya juga merasa terkesan oleh pengubahan ceritanya. Entahlah, apakah karena tuntutan pasar, zaman, atau kondisi internal penggarapan film itu sendiri.
Bagi penonton yang belum pernah membaca kisahnya di buku secara langsung, tentu saja akan merasa excited dengan film yang berdurasi 117 menit itu. Apalagi dengan tokoh ganteng (bagi cewek) seperti Chico Jericho dan Rio Dewanto. Oiya, Baim Wong juga turut memerankan salah satu tokoh dalam film itu.
Terlepas dari segala perbedaan itu, film adaptasi memang tak pernah bisa sesempurna cerita aslinya. Bagaimanapun juga, imajinasi tiap orang berbeda-beda. Membuat film yang memenuhi keinginan setiap kepala itu sangatlah sulit pastinya, dan membutuhkan budget yang tak sedikit.
Oke, dikarenakan saya seorang pecinta cappuccino, maka saya cukup terhibur dengan film ini. Apalagi dengan gebrakan cerita yang dilakukan sang sutradara. Menarik!
Selamat menikmati kopi paling sempurna! (Sumber: The Jakarta Post) |
--Imam Rahmanto--
P.s. Hm…tapi tolong dong, bagian-bagian keren di cerita aslinya tidak dihilangkan.
3 comments
Personally, saya sendiri cukup puas dengan kerjaan si penulis skenario. Lagipula, kalau produser untuk film adaptasi, sebagaimana pun, semua ada di tangannya.
BalasHapusTidak mungkin juga, cerpen yang ditulis tahun 1996 akan sama ketika difilmkan di tahun 2015. Akan lebih tidak masuk akal kalau tidak kekinian, tapi ini masih soal subjektivitas penontonnya, sih. Ada kelebihan dan kekurangan masing-masin dari keduanya.
Soal "El", itu sukses besar juga, tujuannya kesampaian. Banyak yang "suka" karena ada Julie Estelle :D
HapusTapi, satu poin yang tidak kalah keren. Maliq, Dee, Robi Navicula yang di beberapa scene, turut hadir dalam versi audio. Cool!
Yah, diantara film2 Dee yang difilmkan memang ini yang cukup keren. Tapi saya tetap kecewa dengan beberapa bagian yang dihilangkan. Apalagi bagian Jody ngobrol dan membuatkan Ben Kopi Tiwus. Di film, justru El yang mengambil beberapa peran "menghentak" kesadaran Ben.
HapusAh, kalau sekadar menikmati film, ya dinikmati sih. Tapi tetap ada yang kurang lah.... :)