Mendadak
April 10, 2015Baca Juga
“Saya sedang muak dengan segalanya,” seorang teman mengeluh.
Katanya, ia sedang dalam keadaan jenuh atas keadaannya. Segalanya berlaku rutin baginya. Tak ada lagi yang dikerjakan sepenuh hati. Semuanya berubah dalam satu helaan napas.
“Mungkin kamu butuh mencoba sesuatu yang baru. Mengerjakan hal-hal yang belum pernah kamu kerjakan, mungkin?” saran saya tanpa melihatnya. Saya sedang asyik menyantap mie kuah yang masih hangat-hangatnya.
“Iya,” balasnya. “Saya kayaknya ingin merasakan yang namanya pacaran deh,” lanjutnya santai.
#Glekk. Saya menelan ludah. Gerakan menyuap saya tiba-tiba berhenti di udara. Saya melihat ke samping. Heran. Sementara teman perempuan saya itu juga sedang asyik menyantap makanannya. Secara pribadi, saya justru tak ingin menyarankan “hal baru” semacam itu.
Saya mengalihkan pandangan lagi. Melanjutkan suapan makanan saya. Agak kikuk dan tertawa kecil. Kemudian bertanya penasaran, “Mm…kenapa tiba-tiba mau pacaran?”
Teman perempuan saya itu hanya menjawab seadanya. Tentang kerumitan di kepala. Tentang orang-orang yang merangkum segalanya. Tentang pengalih perhatian. Sebagaimana orang yang memang belum pernah merasakan namanya pacaran.
Padahal, menurut saya (dan kebanyakan orang lainnya), ia merupakan perempuan dengan paras wajah cantik. Cukup anggun bagi kebanyakan orang lainnya. Sepengetahuan saya, ia juga sudah beberapa kali menolak laki-laki yang datang menghampirinya sekadar menyatakan saya-suka-kamu-maukah-jadi-pacarku. Saya juga punya seorang teman sejurusan yang terang-terangan mengatakan pernah mendekatinya.
“Kan kalau kamu memang mau, dari dulu kan sudah bisa?” tanggap saya santai. Saya masih sibuk melahap makanan yang dibayarkan olehnya.
Lumrah, ia hanya menjawab, belum menemukan orang yang tepat. Ah, yang namanya perempuan memang suka milih-milih.
Sejatinya, bukan hal semacam itu yang dibutuhkannya. Hal-hal baru, bagi saya, mungkin bisa pula sesuatu yang dikerjakan tiba-tiba. Tanpa rencana apa pun. Dadakan.
Sabtu pagi, saya hanya ingin menghabiskan waktu merasai aroma pagi. Berjalan-jalan dari kamar kontrakan (kost) ke redaksi lembaga pers kampus kami. Lokasi yang baru. Jaraknya kini tidak cukup jauh, bisa saya tempuh dengan berjalan kaki. Hanya membutuhkan waktu 10-15 menit. Sekitar 4-5 lagu yang melantun di playlist lagu saya.
Jikalau cuaca tak panas, saya senang berjalan sepanjang lorong menikmati pemandangan kumuhnya. Berpapasan dengan orang-orang yang tak saling menyapa. Melintasi para penjual yang menjajakan dagangannya di pasar kecil. Ya, di jalan yang kerap saya tempuh, ada pasar kecil yang hanya buka hingga jelang sore. Hingga menghindari anak-anak kecil yang berlarian dengan teman sepermainannya.
Karena sedang libur, saya tak membawa “perlengkapan” wajib yang saban hari menemani keseharian saya. Tiba di redaksi, saya hanya ingin mengobrol lepas dengan teman-teman lain. Sekali-kali mengunjungi dunia maya lewat jaringan wifi yang disediakan redaksi.
“Oi, dimana?” sapa seorang teman di telepon. Ana.
Nampaknya ia memang sudah tiba di kota ini. Bersama 3 orang teman perempuan lainnya hendak merencanakan acara ngumpul-ngumpul. Saya bisa menebak dari status-status di BBM mereka. Apalagi seorang teman kami, Asri, baru saja merayakan seremoni kelulusannya.
“Mm…lagi di redaksi,” jawab saya. Dilanjutkan dengan beberapa ajakan untuk keluar dan berkumpul bersama teman-teman lainnya hari itu.
Meski sempat ogah-ogahan, saya mengiyakan saja ajakan mereka. Tanpa perlu membenahi diri (baca: mandi), saya bergegas menemui mereka, yang sudah berkumpul di rumah kost Asri. Lagipula saya juga merasa bersalah tidak menghadiri perayaan kelulusan teman saya itu hari sebelumnya. Untuk menebusnya, kami memutuskan menggelar perayaan #Ben10 sendiri.
Butuh beberapa jam sebelum kami memutuskan hendak makan-makan dimana. Sembari menunggu yang lainnya. Untuk saat itu, kami hanya bertujuh. Dua orang lainnya, Iyan dan Ilham, sudah tak menjejakkan kaki di Indonesia. Iyan, sedang backpacking menjelajah Asia. Ilham, sedang menyelesaikan studinya di Australia. Sementara seorang lainnya, Ical, sedang menuntaskan penelitian skripsi di kampung halamannya.
Kalau sudah kumpul-kumpul seperti itu, waktu serasa tak ingin dilepaskan. Kami ingin merasakan momen keseruan lainnya. Hanya saja, kami bukan lagi anak-anak muda yang hanya menghabiskan waktunya dengan kuliah dan berorganisasi mengasah keterampilan. Setiap waktu kami harus sadar, ada banyak hal yang harus dilakukan demi menopang hidup yang tak mungkin lagi bergantung pada orang tua.
“Ayo karaokean,” usul salah seorang dari kami. Lantas disetujui teman-teman lainnya.
Saya sebenarnya bukan orang yang benar-benar menyukai salah satu cara-menghilangkan-kebosanan itu. Bukan karena suara saya memang tak ada cocoknya bernyanyi. Melainkan beberapa gaya hidup “kelas atas” seperti itu agak kurang cocok untuk saya. Hal-hal sederhana, saya lebih menyukainya.
Karena tak ingin merusak suasana, saya ikut saja dengan teman-teman lainnya. Lumayan lah untuk melepas kerinduan dengan teman-teman lama.
“Serius? Tapi saya belum mandi dari tadi pagi. Gara-gara Jane buru-buru ngajaknya,” ujar salah seorang diantara kami, Amy.
“Saya juga belum, Amy,” tekan saya agak kesal.
Teman perempuan kami yang satu ini tergolong perempuan yang tingkat paranoid-nya sangat tinggi. Perempuan yang mudah panikan. Tak peduli ia salah satu angkatan paling tua diantara kami. Bahkan, hanya karena ia belum mandi, ia sempat menahan diri masuk dalam adegan foto-bareng kami.
Teman yang lain juga menekankan hal serupa. Nyaris tak ada diantara kami yang menyiapkan diri sekadar mandi hari itu. Bahkan seorang teman, Cinno, baru saja menuntaskan permainan futsal-nya ketika menerima panggilan dadakan dari Ana.
Panggilan tiba-tiba. Ditraktir. Hari libur. Tak ada kerjaan. Teman-teman se-gila sepenanggungan. Bukan ketemu odo’-odo’*. Maka tak ada alasan yang memberatkan bagi kami untuk bergegas menunaikan pertemuan itu.
“Aduh, Amy. Kayak kita mau kemana saja. Kita-kita ji juga deh,” protes teman yang lainnya.
Sebelum meninggalkan tempat makan, kami menghadiahi Ana sedikit surprise. Ulang tahun perempuan stylish, yang kini berprofesi sebagai pegawai bank di kampung halamannya ini, sudah lewat beberapa minggu. Namun, sudah menjadi ritual diantara #Ben10, memberikan surprise tidak tepat di hari ulang tahunnya. Karena tepat di hari ulang tahun itu sudah mainstream. Bahkan, jika memungkinkan, teman-teman terkadang membundel dua hingga tiga bornday dalam satu waktu. Ckckck…
Usai itu, Dhiny, harus memisahkan diri lantaran rapat evaluasi yang digelar kantor redaksinya sore itu. Ah ya, perempuan cengeng itu sudah sebulan lebih menasbihkan diri sebagai seorang wartawati salah satu media baru di kota kami. Tentu saja, meski sangat mengidamkannya, ia tak bisa berlama-lama bersama kami.
Saya mengantarkannya. Saya cukup tahu kantor media baru itu karena pernah hampir bergabung di dalamnya.
Selepasnya, saya mampir ke lokasi karaokean yang sudah dibooking teman. Berkumpul dan tertawa-tawa hingga time elapsed di layar menunjukkan angka 00:00. Sampai kami juga harus tersadarkan kembali bahwa: masih ada yang harus dikerjakan masing-masing.
Ana yang sedang berlibur demi meluangkan waktu untuk #Ben10 juga sempat mengajak bermain Ice Skating. Ya, saya selalu rindu mempelajari salah satu permainan di atas es itu. Hanya saja, kami harus menundanya lain waktu. Saya tak punya kendaraan-pinjaman untuk malam itu. Malam di saat gerhana bulan mulai menampakkan dirinya. Blood-moon.
Gerhana itu tak bisa kami nikmati seutuhnya. Di redaksi kami yang lama, kami biasa memanjati atap untuk menyaksikan kejadian langka seperti itu. Kini, tak ada lagi atap atau loteng yang bisa dipanjati di redaksi baru. Pun, tak ada ruang bagi kami untuk menatap langit berbintang sepanjang malam.
Cukup menyenangkan bisa berkumpul bersama teman-teman yang kini mulai menyibukkan diri pada aktivitas masing-masing. Kami tidak punya banyak kesempatan lagi seperti dulu, sekadar ngobrol dan saling menyalahkan satu sama lain. Saling mencela satu sama lain. Atau menyemangati perihal tugas-tugas kelembagaan yang menumpuk di kepala.
Meski dadakan, pertemuan hari itu cukup melegakan. Mereka sedang “menculik” saya. Saya sedikitnya bisa melupakan beberapa hal yang menjadi rutinitas. Kami bisa berbagi ide, pengalaman, hingga ingatan yang sudah sedikit usang. Saya menikmatinya. Mungkin sama halnya ketika kami berlibur sehari ke Pulau Lanjukang dulu.
Saya membayangkan, suatu hari nanti, di saat saya sedang jenuh mengerjakan sesuatu, seseorang datang “menculik” dan membawa saya menjelajah ke suatu tempat. Sejam, sehari, dua hari, bahkan seminggu, memaksa untuk melupakan segala kerumitan di kepala.
Yeah. Tak bisa dipungkiri, pertemuan yang tak direncanakan kadang kala membuat kita berpikir hal-hal baru jauh lebih baik. Berpikir lebih jernih. Hidup bukan hanya sekadar menjalani rutinitas yang monoton. Cobalah lebih banyak hal-hal baru di luar kebiasaan. Mendadak. Dan kamu akan menemukan, ada lebih banyak hal yang patut disyukuri ketimbang menggalaukan orang lain.
Jika isi kepalamu nyaris meledak, tak ada tempat berpaling, maka beranjaklah dari tempatmu. Keluarlah. Larilah. Mungkin kamu butuh teman-teman untuk “menggila” di luar sana. :)
Katanya, ia sedang dalam keadaan jenuh atas keadaannya. Segalanya berlaku rutin baginya. Tak ada lagi yang dikerjakan sepenuh hati. Semuanya berubah dalam satu helaan napas.
“Mungkin kamu butuh mencoba sesuatu yang baru. Mengerjakan hal-hal yang belum pernah kamu kerjakan, mungkin?” saran saya tanpa melihatnya. Saya sedang asyik menyantap mie kuah yang masih hangat-hangatnya.
“Iya,” balasnya. “Saya kayaknya ingin merasakan yang namanya pacaran deh,” lanjutnya santai.
#Glekk. Saya menelan ludah. Gerakan menyuap saya tiba-tiba berhenti di udara. Saya melihat ke samping. Heran. Sementara teman perempuan saya itu juga sedang asyik menyantap makanannya. Secara pribadi, saya justru tak ingin menyarankan “hal baru” semacam itu.
Saya mengalihkan pandangan lagi. Melanjutkan suapan makanan saya. Agak kikuk dan tertawa kecil. Kemudian bertanya penasaran, “Mm…kenapa tiba-tiba mau pacaran?”
Teman perempuan saya itu hanya menjawab seadanya. Tentang kerumitan di kepala. Tentang orang-orang yang merangkum segalanya. Tentang pengalih perhatian. Sebagaimana orang yang memang belum pernah merasakan namanya pacaran.
Padahal, menurut saya (dan kebanyakan orang lainnya), ia merupakan perempuan dengan paras wajah cantik. Cukup anggun bagi kebanyakan orang lainnya. Sepengetahuan saya, ia juga sudah beberapa kali menolak laki-laki yang datang menghampirinya sekadar menyatakan saya-suka-kamu-maukah-jadi-pacarku. Saya juga punya seorang teman sejurusan yang terang-terangan mengatakan pernah mendekatinya.
“Kan kalau kamu memang mau, dari dulu kan sudah bisa?” tanggap saya santai. Saya masih sibuk melahap makanan yang dibayarkan olehnya.
Lumrah, ia hanya menjawab, belum menemukan orang yang tepat. Ah, yang namanya perempuan memang suka milih-milih.
Sejatinya, bukan hal semacam itu yang dibutuhkannya. Hal-hal baru, bagi saya, mungkin bisa pula sesuatu yang dikerjakan tiba-tiba. Tanpa rencana apa pun. Dadakan.
***
Sabtu pagi, saya hanya ingin menghabiskan waktu merasai aroma pagi. Berjalan-jalan dari kamar kontrakan (kost) ke redaksi lembaga pers kampus kami. Lokasi yang baru. Jaraknya kini tidak cukup jauh, bisa saya tempuh dengan berjalan kaki. Hanya membutuhkan waktu 10-15 menit. Sekitar 4-5 lagu yang melantun di playlist lagu saya.
Jikalau cuaca tak panas, saya senang berjalan sepanjang lorong menikmati pemandangan kumuhnya. Berpapasan dengan orang-orang yang tak saling menyapa. Melintasi para penjual yang menjajakan dagangannya di pasar kecil. Ya, di jalan yang kerap saya tempuh, ada pasar kecil yang hanya buka hingga jelang sore. Hingga menghindari anak-anak kecil yang berlarian dengan teman sepermainannya.
Karena sedang libur, saya tak membawa “perlengkapan” wajib yang saban hari menemani keseharian saya. Tiba di redaksi, saya hanya ingin mengobrol lepas dengan teman-teman lain. Sekali-kali mengunjungi dunia maya lewat jaringan wifi yang disediakan redaksi.
“Oi, dimana?” sapa seorang teman di telepon. Ana.
Nampaknya ia memang sudah tiba di kota ini. Bersama 3 orang teman perempuan lainnya hendak merencanakan acara ngumpul-ngumpul. Saya bisa menebak dari status-status di BBM mereka. Apalagi seorang teman kami, Asri, baru saja merayakan seremoni kelulusannya.
“Mm…lagi di redaksi,” jawab saya. Dilanjutkan dengan beberapa ajakan untuk keluar dan berkumpul bersama teman-teman lainnya hari itu.
Meski sempat ogah-ogahan, saya mengiyakan saja ajakan mereka. Tanpa perlu membenahi diri (baca: mandi), saya bergegas menemui mereka, yang sudah berkumpul di rumah kost Asri. Lagipula saya juga merasa bersalah tidak menghadiri perayaan kelulusan teman saya itu hari sebelumnya. Untuk menebusnya, kami memutuskan menggelar perayaan #Ben10 sendiri.
Butuh beberapa jam sebelum kami memutuskan hendak makan-makan dimana. Sembari menunggu yang lainnya. Untuk saat itu, kami hanya bertujuh. Dua orang lainnya, Iyan dan Ilham, sudah tak menjejakkan kaki di Indonesia. Iyan, sedang backpacking menjelajah Asia. Ilham, sedang menyelesaikan studinya di Australia. Sementara seorang lainnya, Ical, sedang menuntaskan penelitian skripsi di kampung halamannya.
Kalau sudah kumpul-kumpul seperti itu, waktu serasa tak ingin dilepaskan. Kami ingin merasakan momen keseruan lainnya. Hanya saja, kami bukan lagi anak-anak muda yang hanya menghabiskan waktunya dengan kuliah dan berorganisasi mengasah keterampilan. Setiap waktu kami harus sadar, ada banyak hal yang harus dilakukan demi menopang hidup yang tak mungkin lagi bergantung pada orang tua.
“Ayo karaokean,” usul salah seorang dari kami. Lantas disetujui teman-teman lainnya.
Saya sebenarnya bukan orang yang benar-benar menyukai salah satu cara-menghilangkan-kebosanan itu. Bukan karena suara saya memang tak ada cocoknya bernyanyi. Melainkan beberapa gaya hidup “kelas atas” seperti itu agak kurang cocok untuk saya. Hal-hal sederhana, saya lebih menyukainya.
Karena tak ingin merusak suasana, saya ikut saja dengan teman-teman lainnya. Lumayan lah untuk melepas kerinduan dengan teman-teman lama.
“Serius? Tapi saya belum mandi dari tadi pagi. Gara-gara Jane buru-buru ngajaknya,” ujar salah seorang diantara kami, Amy.
“Saya juga belum, Amy,” tekan saya agak kesal.
Teman perempuan kami yang satu ini tergolong perempuan yang tingkat paranoid-nya sangat tinggi. Perempuan yang mudah panikan. Tak peduli ia salah satu angkatan paling tua diantara kami. Bahkan, hanya karena ia belum mandi, ia sempat menahan diri masuk dalam adegan foto-bareng kami.
Teman yang lain juga menekankan hal serupa. Nyaris tak ada diantara kami yang menyiapkan diri sekadar mandi hari itu. Bahkan seorang teman, Cinno, baru saja menuntaskan permainan futsal-nya ketika menerima panggilan dadakan dari Ana.
Panggilan tiba-tiba. Ditraktir. Hari libur. Tak ada kerjaan. Teman-teman se-gila sepenanggungan. Bukan ketemu odo’-odo’*. Maka tak ada alasan yang memberatkan bagi kami untuk bergegas menunaikan pertemuan itu.
“Aduh, Amy. Kayak kita mau kemana saja. Kita-kita ji juga deh,” protes teman yang lainnya.
Sebelum meninggalkan tempat makan, kami menghadiahi Ana sedikit surprise. Ulang tahun perempuan stylish, yang kini berprofesi sebagai pegawai bank di kampung halamannya ini, sudah lewat beberapa minggu. Namun, sudah menjadi ritual diantara #Ben10, memberikan surprise tidak tepat di hari ulang tahunnya. Karena tepat di hari ulang tahun itu sudah mainstream. Bahkan, jika memungkinkan, teman-teman terkadang membundel dua hingga tiga bornday dalam satu waktu. Ckckck…
MAKasihh kalian my best friend ben10, wlopun telat tp za senang bgt surprisex:)
Posted by AnHa Rukmana Mansyur on Saturday, April 4, 2015
Usai itu, Dhiny, harus memisahkan diri lantaran rapat evaluasi yang digelar kantor redaksinya sore itu. Ah ya, perempuan cengeng itu sudah sebulan lebih menasbihkan diri sebagai seorang wartawati salah satu media baru di kota kami. Tentu saja, meski sangat mengidamkannya, ia tak bisa berlama-lama bersama kami.
Saya mengantarkannya. Saya cukup tahu kantor media baru itu karena pernah hampir bergabung di dalamnya.
Selepasnya, saya mampir ke lokasi karaokean yang sudah dibooking teman. Berkumpul dan tertawa-tawa hingga time elapsed di layar menunjukkan angka 00:00. Sampai kami juga harus tersadarkan kembali bahwa: masih ada yang harus dikerjakan masing-masing.
Ana yang sedang berlibur demi meluangkan waktu untuk #Ben10 juga sempat mengajak bermain Ice Skating. Ya, saya selalu rindu mempelajari salah satu permainan di atas es itu. Hanya saja, kami harus menundanya lain waktu. Saya tak punya kendaraan-pinjaman untuk malam itu. Malam di saat gerhana bulan mulai menampakkan dirinya. Blood-moon.
Gerhana itu tak bisa kami nikmati seutuhnya. Di redaksi kami yang lama, kami biasa memanjati atap untuk menyaksikan kejadian langka seperti itu. Kini, tak ada lagi atap atau loteng yang bisa dipanjati di redaksi baru. Pun, tak ada ruang bagi kami untuk menatap langit berbintang sepanjang malam.
Semoga kelak kesampaian. (Foto yang dikirim- kan Iyan dari Negeri Tirai Bambu) |
Meski dadakan, pertemuan hari itu cukup melegakan. Mereka sedang “menculik” saya. Saya sedikitnya bisa melupakan beberapa hal yang menjadi rutinitas. Kami bisa berbagi ide, pengalaman, hingga ingatan yang sudah sedikit usang. Saya menikmatinya. Mungkin sama halnya ketika kami berlibur sehari ke Pulau Lanjukang dulu.
Saya membayangkan, suatu hari nanti, di saat saya sedang jenuh mengerjakan sesuatu, seseorang datang “menculik” dan membawa saya menjelajah ke suatu tempat. Sejam, sehari, dua hari, bahkan seminggu, memaksa untuk melupakan segala kerumitan di kepala.
Yeah. Tak bisa dipungkiri, pertemuan yang tak direncanakan kadang kala membuat kita berpikir hal-hal baru jauh lebih baik. Berpikir lebih jernih. Hidup bukan hanya sekadar menjalani rutinitas yang monoton. Cobalah lebih banyak hal-hal baru di luar kebiasaan. Mendadak. Dan kamu akan menemukan, ada lebih banyak hal yang patut disyukuri ketimbang menggalaukan orang lain.
Jika isi kepalamu nyaris meledak, tak ada tempat berpaling, maka beranjaklah dari tempatmu. Keluarlah. Larilah. Mungkin kamu butuh teman-teman untuk “menggila” di luar sana. :)
--Imam Rahmanto--
0 comments