Beberapa hari yang lalu, saya dapat giliran challenging untuk me-review blog teman yang juga aktif di komunitas Blogger Anging Mammiri.
Hm, sebenarnya, saya agak risih juga menyebut ini sebagai tantangan. Lha kok? Hanya untuk bertamu ke rumah teman lain mesti “ditantang” dulu. Ada unsur “keterpaksaan” disana. Hahaha…ya sudah. Paling tidak, saya akhirnya menemukan rumah lain yang memang pantas untuk dikunjungi.
Setiap kali saya mengunjungi rumah orang lain, saya selalu mengecek postingan terakhirnya. Pada dasarnya, saya bukan orang yang mudah terkesan dengan tampilan luar. Beberapa pengalaman dengan blog, membuat saya menyadari, satu-satunya hal paling penting dalam mengelola blog: konsistensi.
Saya senang menemukan rumah yang ternyata tak pernah lepas dihuni pemiliknya. Dari tulisan-tulisannya, saya menebak, pemilik Unga Tawwa adalah seorang wanita yang sudah berkeluarga. Karena secara spesifik, tak ada yang menunjukkan profil dari penulis blog. Selain itu, di gravatar description-nya juga dituliskan "emak-emak bahagia". Jelas sudah...
Tapi, jangan salah. Tulisannya masih berasa muda. Apalagi dengan gaya bahasa yang ringan, serasa mendengarkan orang lain sedang bercerita. Nampaknya, penulis juga sering menjadi lahan curhat bagi teman-temannya ya? Seperti salah satu postingannya tentang "cinta".
Tak salah juga, karena memang isinya lebih condong kepada cerita kehidupan si penulis sendiri. Hm…tak jauh beda dengan rumah saya sendiri.
Ada banyak cara agar tak dilupakan zaman. Salah satunya, ya, memang dengan menulis. Kata Bang Pramoedya, "Menulislah! Maka namamu takkan lekang oleh zaman!" Mungkin, hal seperti ini pula yang terpikir oleh Unga hingga mengabadikan beberapa momen kehidupannya dalam sebuah rumah sederhana di dunia maya. Mulai dari aktivitas sehari-hari, permasalahan orang lain, hingga permasalahan sendiri sembari tetap memetik nilai-nilai hidup di dalamnya. Ternyataa kita sama. I like that!
Dari beberapa stalking yang saya lakukan, ternyata penulis sudah mulai ngeblog sejak tahun 2007 silam. Berarti, konsistensinya dalam merawat rumah patut diacungi jempol. Saya selalu suka mengunjungi rumah yang konsisten dirawat oleh pemiliknya sendiri.
Berbeda dengan saya, yang baru mulai ngeblog ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di kota Makassar, 2009 silam. Pun, kala itu saya masih mencari "jati blog". Tentang kekonsistenan merawat "ingatan" di rumah sendiri, baru dimulai kira-kira sejak 3 tahun silam.
Sayangnya, salah satu halaman masih dalam proses waiting. Saya penasaran saja membukanya. Lagipula, saya juga punya ketertarikan dengan hal-hal yang dibuat dengan tangan sendiri alias handmade. Percaya atau tidak, gelang yang saya kenakan adalah handmade. Blognote harian saya juga handmade. Bahkan, biasanya, hadiah untuk orang yang saya sayangi adalah handmade. #ehh. Bolehlah penasaran dengan isi halaman yang katanya sedang under construction itu.
Secara umum, saya suka dengan tulisan-tulisannya. Tentang mengabadikan momen. Tentang membekukan ingatan. Tentang hal-hal yang tak terjawab dalam hidup. Salam kenal!
Ps: Oiya, saya paling suka dengan halaman senam Refresh-nya. Kapan-kapan bolehlah saya terapkan di kala saya lagi sumpek. Hahaha…
Baru-baru ini saya kembali mendengar petikan kalimat dari seorang arsitek pengembang perumahan di kota Makassar sesaat melakukan wawancara dengannya.
Nyaris dua tahun silam, saya pernah bertemu dengannya, di tempat yang sama itu; kediamannya.
Nah, terbayang, bukan? Bahwa rumah adalah tempat kita merasa nyaman. tak merasa terganggu oleh apa pun. Jadi, bukan soal keindahannya saja yang menjadi poin utama. Melainkan apa isinya, dan sejauh mana kita mampu mengelola dan merawat rumah itu.
Karena, keindahan itu relatif. Indah di mata orang lain, belum tentu indah bagi diri sendiri. Bahkan, tingkat keindahan itu akan selalu meningkat seiring kita menemukan milik orang lain yang lebih indah. Lantas, mengapa tidak, kita menemukan keindahan atas kenyamanan kita sendiri?
Hm, sebenarnya, saya agak risih juga menyebut ini sebagai tantangan. Lha kok? Hanya untuk bertamu ke rumah teman lain mesti “ditantang” dulu. Ada unsur “keterpaksaan” disana. Hahaha…ya sudah. Paling tidak, saya akhirnya menemukan rumah lain yang memang pantas untuk dikunjungi.
***
Setiap kali saya mengunjungi rumah orang lain, saya selalu mengecek postingan terakhirnya. Pada dasarnya, saya bukan orang yang mudah terkesan dengan tampilan luar. Beberapa pengalaman dengan blog, membuat saya menyadari, satu-satunya hal paling penting dalam mengelola blog: konsistensi.
Saya senang menemukan rumah yang ternyata tak pernah lepas dihuni pemiliknya. Dari tulisan-tulisannya, saya menebak, pemilik Unga Tawwa adalah seorang wanita yang sudah berkeluarga. Karena secara spesifik, tak ada yang menunjukkan profil dari penulis blog. Selain itu, di gravatar description-nya juga dituliskan "emak-emak bahagia". Jelas sudah...
Tapi, jangan salah. Tulisannya masih berasa muda. Apalagi dengan gaya bahasa yang ringan, serasa mendengarkan orang lain sedang bercerita. Nampaknya, penulis juga sering menjadi lahan curhat bagi teman-temannya ya? Seperti salah satu postingannya tentang "cinta".
Tak salah juga, karena memang isinya lebih condong kepada cerita kehidupan si penulis sendiri. Hm…tak jauh beda dengan rumah saya sendiri.
Ada banyak cara agar tak dilupakan zaman. Salah satunya, ya, memang dengan menulis. Kata Bang Pramoedya, "Menulislah! Maka namamu takkan lekang oleh zaman!" Mungkin, hal seperti ini pula yang terpikir oleh Unga hingga mengabadikan beberapa momen kehidupannya dalam sebuah rumah sederhana di dunia maya. Mulai dari aktivitas sehari-hari, permasalahan orang lain, hingga permasalahan sendiri sembari tetap memetik nilai-nilai hidup di dalamnya. Ternyataa kita sama. I like that!
Dari beberapa stalking yang saya lakukan, ternyata penulis sudah mulai ngeblog sejak tahun 2007 silam. Berarti, konsistensinya dalam merawat rumah patut diacungi jempol. Saya selalu suka mengunjungi rumah yang konsisten dirawat oleh pemiliknya sendiri.
Berbeda dengan saya, yang baru mulai ngeblog ketika pertama kalinya menginjakkan kaki di kota Makassar, 2009 silam. Pun, kala itu saya masih mencari "jati blog". Tentang kekonsistenan merawat "ingatan" di rumah sendiri, baru dimulai kira-kira sejak 3 tahun silam.
Sayangnya, salah satu halaman masih dalam proses waiting. Saya penasaran saja membukanya. Lagipula, saya juga punya ketertarikan dengan hal-hal yang dibuat dengan tangan sendiri alias handmade. Percaya atau tidak, gelang yang saya kenakan adalah handmade. Blognote harian saya juga handmade. Bahkan, biasanya, hadiah untuk orang yang saya sayangi adalah handmade. #ehh. Bolehlah penasaran dengan isi halaman yang katanya sedang under construction itu.
"Seperti dandelion.. ia hanya tumbuh di rerumputan, terlupakan, namun dapat terbang bersama angin setinggi awan"Saya tak sengaja menemukan tulisan itu di salah satu postingan, usai mengubek-ubek daftar postingan bertahun-tahunnya. Melihat potongan judulnya, terlintas ingatan pada seseorang yang pernah menamai rumahnya dengan Dandelion... Hm...how is life?
Secara umum, saya suka dengan tulisan-tulisannya. Tentang mengabadikan momen. Tentang membekukan ingatan. Tentang hal-hal yang tak terjawab dalam hidup. Salam kenal!
Ps: Oiya, saya paling suka dengan halaman senam Refresh-nya. Kapan-kapan bolehlah saya terapkan di kala saya lagi sumpek. Hahaha…
***
Baru-baru ini saya kembali mendengar petikan kalimat dari seorang arsitek pengembang perumahan di kota Makassar sesaat melakukan wawancara dengannya.
“Rumah itu bukan soal ‘apa-kata-orang’. Tapi, rumah itu adalah tempat yang kita rasai dengan kenyamanan ketika berada disana. Karena rumah, adalah tempat kita kembali,” katanya.
Nyaris dua tahun silam, saya pernah bertemu dengannya, di tempat yang sama itu; kediamannya.
Nah, terbayang, bukan? Bahwa rumah adalah tempat kita merasa nyaman. tak merasa terganggu oleh apa pun. Jadi, bukan soal keindahannya saja yang menjadi poin utama. Melainkan apa isinya, dan sejauh mana kita mampu mengelola dan merawat rumah itu.
Karena, keindahan itu relatif. Indah di mata orang lain, belum tentu indah bagi diri sendiri. Bahkan, tingkat keindahan itu akan selalu meningkat seiring kita menemukan milik orang lain yang lebih indah. Lantas, mengapa tidak, kita menemukan keindahan atas kenyamanan kita sendiri?
--Imam Rahmanto--
- Februari 28, 2015
- 0 Comments