29# Verbatim
Februari 02, 2015Baca Juga
Verbatim oh verbatim.
Saya baru mengenalnya seminggu belakangan. Sebenarnya, dulu, saya pernah mendengarnya. Hanya saja, sekarang baru menyadari bahwa dalam jenis penelitian kualitatif, melampirkan verbatim adalah hal yang cukup penting.
“Apa itu verbatim?” tanya seorang teman.
Mungkin, orang-orang tak mengenalinya secara nama. Hanya tahu perihal melampirkan draf mentah wawancara yang ditulis kata per kata, berdasarkan wawancara yang sesungguhnya. Orang sering menuliskannya, mengerjakannya, hingga meramunya, namun tak pernah tahu (atau mau cari tahu) apa nama yang sesungguhnya. Akh, perangai orang Indonesia memang begitu: ikut-ikutan, padahal tidak tahu esensinya.
“verbatim /ver•ba•tim/ /vérbatim/ a kata demi kata; menurut apa yg tertuang dl tulisan.”
Pengertian di atas berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Saya cantumkan, biar bahasa saya agak (sok) ilmiah.
Menuliskan ulang percakapan wawancara penelitian sungguh melelahkan. Meskipun tak jauh berbeda dengan menuliskan ulang percakapan dalam wawancara untuk kepentingan liputan berita, namun sungguh menguras waktu. Lucunya, di bagian saya melambatkan kecepatan audio agar bisa diketik secara sempurna. Suara saya, maupun suara narasumber sebagai responden, agak mirip dengan suara tersangka bakso boraks atau berformalin di tivi-tivi yang suaranya disamarkan. Hahaha..
Para jurnalis pemula juga terkadang menulis semi-verbatim sebelum menulis beritanya. Dalam menuliskan liputan atau berita, percakapan yang dituangkan hanya seperlunya saja. Percakapan yang tidak penting tak perlu dituliskan dalam outline mentah tulisan. Sangat berbeda dengan verbatim sebagai lampiran skripsi (ecieee…sudah lantang meneybutnya skripsi), yang harus dituliskan kata demi kata.
Intinya, semua yang terhimpun dalam percakapan harus dituliskan. Tak peduli hanya menuliskan kata “Ohhh…” atau “Ehh…”, bahkan mimik berpikir atau melakukan sesuatu ketika percakapan sementara berlangsung.
Ternyata dalam penelitian kualitatif, verbatim cukup dibutuhkan. Apalagi penelitian yang berkaitan dengan fenomena sosial-kemasyarakatan. Bukan sekadar penelitian yang meluangkan waktu mengajar (lagi) di sekolah loh.
“Memangnya jurusan apa? Kok bisa ambil judul seperti itu?” orang-orang biasanya bertanya tentang judul skripsi saya, yang sebenarnya tak berkaitan langsung dengan kependidikan.
Entahlah. Mungkin, keberuntungan menyertai saya. Dulu, didorong rasa ingin tahu dan kejenuhan melihat jenis-jenis skripsi di jurusan yang “itu-itu saja”, maka saya mencoba peralihan lain. Salah satunya, judul penelitian (skripsi) yang saya ajukan lebih condong ke fenomena sosial, meskipun masih dalam ranah kependidikan.
Dan ingat, fenomena sosial-kemasyarakatn bukan hanya milik mahasiswa ilmu politik dan sosial. Fenomena kependidikan juga menjadi bagian dari sosial-kemasyarakatan kita.
Mahasiswa cenderung di-setting dengan mindset judul penelitian yang selama ini banyak beredar di jurusannya. Apa yang dilakukan oleh banyak orang, maka individu cenderung akan mengekor kesana. Menganggap hal itu satu-satunya yang benar. So poor. Padahal, kalau kita mau melihat keluar, out of the box, ada banyak hal yang bisa dijadikan bahan agar kita “berbeda” dari yang lain. Come on! Be Unique or The First!
Yah, sekadar saran saja bagi teman-teman mahasiswa lainnya. Terkhusus yang sedang menyelami bidang kependidikan. Kalau mencari judul skripsi, kalau bisa mbokya yang “keren-keren” tah. Biar perpustakaan punya ragam judul yang variatif pula. Apa tidak bosan dengan skripsi yang terkesan “itu-itu saja”? Sementara sebenarnya ada banyak bahan penelitian yang bisa diajukan demi memenuhi beban “sekadar lulus” kuliah itu. Look out!
Nah, kini, saya sedang berpacu dengan segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian studi. Mulai dari pengurusan ujian akhir, pemenuhan syarat kelulusan, hingga penulisan hasil penelitian yang menjadi lanjutan Bab IV di skripsi.
Tahu tidak, saya menulis bagian itu dengan cukup luwes. Layaknya ketika saya dulu sedang menulis liputan dan mengolah riset berita. Bedanya cuma di sisi bahasa dan penyajiannya. Kalau berita, isinya dibalut bahasa populer. Kalau skripsi, harus benar-benar berbahasa (sok) ilmiah, kaya data-data mentah, dan sedikit berhitung (banyaknya) halaman. Hahaha…sesekali saya juga menyisipkan opini pribadi. Yeah!
--Imam Rahmanto--
0 comments