Inisiatif

Januari 30, 2015

Baca Juga

Fase penyelesaian studi, bagi mahasiswa, merupakan fase yang agak “dag-dig-dug”. Sesekali, fase itu akan membawa kita dalam penyerahan tanpa sadar. Bagaimana tidak, tahap itu menjadi penentu, apakah kita betul-betul siap berpindah ke “rumah baru” atau belum sama sekali?

Pernah dengar tentang “Hukum Tarik-Menarik”? It’s called The Law of Attraction! Bahwa hukum semesta berlaku sebagaimana kita memperlakukannya. Kalau kita berlaku baik, maka segala yang datang pada juga akan baik. Kalau kita punya tekad dan kemauan yang keras, maka semesta juga akan membukakan jalan bagi kita. Serupa lah dengan “Hukum Aksi-Reaksi” dalam bidang Fisika.

Saya punya seorang teman sekamar, yang hm…nyaris sepanjang hari hanya menghabiskan waktunya tak kemana-mana. Kalau tak tidur, tak makan, ia hanya terpaku di depan laptopnya. Sementara ia sendiri menyadari bahwa usianya di kampus seharusnya sudah di penghujung "yang-seyogyanya-diakhiri".

“Bagaimana proposalmu?”

Pertanyaan yang sebenarnya retoris (bagi saya) itu hanya dijawab seadanya. Saya tak perlu bertanya untuk tahu perkembangan studi akhirnya. Sebagaimana saya sendiri yang masih bergulat dengan studi akhir. Saya tahu dan paham bagaimana rasanya.

Akan tetapi, saya prihatin saja melihatnya tak melakukan apa-apa. Sepanjang yang saya ketahui, ia hanya senang bersosialisasi dengan teman-teman di rumah kost kami. Sedangkan teman-teman di kampusnya, ia berkata, nyaris telah melenggang lulus keluar kampus. Hal itu menjadi alasannya hanya menghabiskan waktu di kost mengerjakan tugas akhir yang itu-itu-saja.

Padahal, sejauh saya mengerjakan tugas akhir, nuansa akademik begitu penting untuk menyokong penyelesaian tugas akhir itu. Dukungan dari teman-teman seperjuangan, penyesuaian lingkungan kampus, olokan dari teman maupun adik-adik kampus, betapa menjadi poin terpenting selain dukungan dan sokongan dana dari orang tua. Itulah mengapa, saya kerap kali menyambangi kampus tanpa alasan apa-apa.

“Apa kau urus di kampus?” tanya beberapa orang teman yang sebenarnya tahu bagaimana perkembangan perjuangan studi akhir saya.

“Hm…tidak ada. Saya cuma mau menemani si A, (atau si B), di kampus. Katanya dia kesepian,” jawab saya ngasal, sembari tergelak hendak mencairkan suasana.

Sejatinya, saya memang selalu ingin berbagi semangat (studi akhir) kepada teman-teman seangkatan lain. Siapa lagi yang peduli kalau bukan kami-kami yang senasib-sepenanggungan-seskripsi?

Tak jarang saya menyarankan kepada teman lainnya, termasuk kepada teman saya itu, untuk sekali jalan-jalan ke kampus. Kalau kepala sudah sesak dengan segala tetek-bengek skripsi, berkeliling kampus bisa memberikan pemasukan yang berbeda.

Tanpa disadari, sebenarnya, ada banyak sumber daya di kampus yang bisa menjadi pelecut semangat mengerjakan skripsi. Tak peduli teman-teman yang selalu mengolok-olok, teman-teman yang merindukan kehadiran kita, atau adik-adik junior yang sesungguhnya diam-diam merindukan dan mendoakan kita. Sekadar diskusi, berbincang, mengobrol, bukanlah sesuatu yang merugikan. Percayalah!  #justbelieveit!

Tanpa pernah disadari, hal-hal semacam itu sebenarnya menunjukkan sejauh mana usaha yang dilakukan atas apa yang ingin dicapai. Maka, seberapa keras kita mencoba, sebesar itu pula semesta akan mengembalikannya pada kita. Tuhan Maha Tahu sejauh mana “ingin” kita.

Di usia 20-an, seharusnya kita menyadari banyak hal. Hidup tak akan berjalan dengan hanya berdiam diri. Selalu ada banyak alasan bagi kita untuk tak melakukan apa-apa. Apalagi sebagai lelaki, bukanlah hal yang membanggakan jikalau hanya berharap banyak dari bantuan orang lain. Usia yang tak lagi remaja, seharusnya mengajarkan bagaimana caranya hidup mandiri.

Lihat saja, ada banyak “pembenaran” yang bisa dilakukan agar kita tidak melakukan apa-apa.

Hujan sedikit, kita sudah “merasa” dihalangi kemana-mana. Tak ada kendaraan, kita “merasa” tak bisa kemana-mana. Kondisi finansial menipis, kita lagi-lagi “merasa” tak bisa hidup dan melakukan apa-apa. Semuanya memang benar. Pembenaran yang “benar” untuk tak berbuat sesuatu.

Sementara itu, hujan hanya menjadi titik-titik air yang membasahi bumi demi meninggikan tanaman yang butuh banyak kehidupan. Mari menumbuhkan jiwa anak kecil ketika hujan tiba. Tak takut pada hujan dan asal terobos saja. Pun kendaraan bukan segalanya. Kalau kita yakin punya banyak teman, segalanya bisa berlaku apa adanya. Begitu pula dengan kondisi finansial yang senantiasa membelit anak kost. Sudah waktunya di usia seperti ini berpikir tentang menghidupi diri (dan juga orang lain).

Hidup mandiri, tidak lagi persoalan kita bisa hidup jauh dari orang tua. Kehidupan yang sama sekali tak dicampuri orang tua dalam keseharian, seharusnya banyak mengajarkan kita cara untuk bangkit dari keterpurukan atau kegagalan. Bagaimana caranya “memaksa” diri agar berbuat lebih baik. Tak lagi mengharap “perintah” dari bapak dan ibu. Kita bukan lagi anak kecil yang mesti disuruh-suruh untuk berbuat sesuatu.

Hidup mandiri itu tidak semata-mata bisa jauh dari orang tua, berdiri sendiri, dan tak mengandalkan orang tua lagi. Karena bagaimana pun, kita takkan pernah bisa memutus hubungan dengan keluarga. Bagi saya, kesadaran menempatkan inisiatif ke arah yang lebih baik atas kehidupan pribadi, baru dikatakan mandiri. Kalau hidup masih butuh disuruh-suruh baru bisa melakukan sesuatu yang berguna, akh, apa bedanya dengan anak kecil?


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments