30# Tak Sabar Lagi
Februari 16, 2015Baca Juga
Aku rindu…
Pada akhirnya, saya akan mencapai "pos pemeriksaan terakhir" sebelum membuka pintu keluar dari dunia kampus. Jelang beberapa hari ke depan, saya akan merasainya. Yah, merasainya sebagai sesuatu yang selama ini diidam-idamkan sekaligus ditakuti setiap mahasiswa seperti kami.
“Kamu mau ujian tutup?”
Seorang dosen seketika bertanya saat melihat saya melintas di koridor jurusan sambil membopong tumpukan skripsi. Sambil cengengesan, saya hanya menjawab singkat, “Iya, Pak. Jumat ini. Hehe…”
“Wah, cepat sekali ya,” lanjutnya lagi agak keheranan. Mungkin, ia agak terkejut, lantaran baru dua bulan yang lalu saya menyelesaikan ujian proposal yang juga ikut dihadirinya. Dosen muda itu hadir sebagai peserta, yang tak ketinggalan melemparkan pertanyaan demi “menguji” saya. Maklum, ia tahu latar belakang saya sebagai seorang pegiat pers kampus.
“Mm…ya begitulah, Pak.” Sementara dalam kepala saya berpikir, “Memangnya itu tergolong cepat ya?”
“Memang. Karena ujian proposalmu baru dua bulan yang lalu. Itu tergolong cepat, dibanding yang lainnya,” jawab seorang teman ketika saya langsung menanyakannya.
Hm…kalau dipikir-pikir, beberapa hal memang berjalan begitu lancarnya. Beberapa rencana yang saya patok cukup ampuh untuk ngebut di pengerjaan skripsi ini. Saya belajar dari teman-teman yang pernah menjalaninya. Banyak bertanya, banyak menyimak solusi. Pekerjaan seorang wartawan memang lebih banyak bertanya. Itu menjadi satu-satunya “senjata” yang pantas kami miliki, bukan?
Kalau saya tak mampu "bekerja" lebih baik dan ekstra, apa pula yang membedakan saya dengan teman-teman mahasiswa original lainnya? Sudah sepatutnya latar belakang saya, yang sempat menyita waktu bertahun-tahun itu, bisa menjadi pembeda dan "kelebihan" dari perjalanan mahasiswa mainstream lainnya.
Dan tentang studi akhir ini, memang sudah menjadi prioritas di atas segalanya. Demi mengakhirkan studi, saya harus rela “menutup” pintu segala kemungkinan pekerjaan yang menghampiri. Saya pernah mengalami, the comfort zone ketika kita sudah mencicipi pekerjaan. Zona nyaman itu justru melenakan, dan menggantikan prioritas studi itu. Yeah, namanya bekerja atas dasar passion itu memang selalu menyenangkan.
Mungkin, hanya satu-dua side-job menjadi pondasi bagi saya menyokong penyelesaian studi ini. Maklum, kata orang, jelang tamat kuliah, banyak pembiayaan yang mesti dipenuhi. Saya serasa berkejaran dengan waktu. Pun, pikiran berlaku demikian. Di satu sisi memikirkan urusan skripsi, di sisi lain memikirkan cara untuk mengongkosinya. Haha... Serius, saya nyaris ngos-ngosan gegara itu.
Saya (atau siapa pun) semestinya mulai memahami prioritas. Kewajiban. Kepantasan. Tuntutan. Tugas. Tanggung jawab. Atau apa pun orang-orang menyebutnya. Segala hal yang tak berhubungan dengan kewajiban, ya mesti dikesampingkan dulu. Just focus on it!
“Ingat, pelatihan minggu ini. Semua reporter wajib datang. Dimulai hari Senin. Jangan terlambat!”
Akh, maaf. Saya harus menyelesaikan tugas akhir dulu sebagai mahasiswa tingkat akhir. Mengenai sanksi atas absennya saya, itu belakangan.
“Jadi, nanti Anda yang akan jadi penulisnya. Kami sudah kontrak dengan media itu. Terbitnya akan dua kali sebulan.”
Baiklah. Tapi, dalam rentang seminggu ini saya masih belum akan mengajukan “proposal”nya. Lagipula, tak ada deadline pengajuannya kan, Bu?
“Kalau bisa dipermak sebagus-bagusnya. Secepatnya ya. Orang-orang tak sabar membukanya.”
Pasti! Secepatnya, usai tetek-bengek skripsi ini, saya akan mengerjakannya. Anggap saja saya “berhutang” pelayanan. Terima kasih untuk sokongan materinya.
“Kapan pulang kampung? Ingat, kau janji untuk ke sekolah mau bangun ekskul itu.”
Emm…semoga sempat menunaikannya. Apalagi, selepas menyandang gelar nanti, saya harus langsung terjun ke dunia nyata berikutnya; pekerjaan. Tapi, saya benar-benar penasaran ingin membantu dan mengembangkan pers di sekolah. Sejauh ini, perasaan challenged saya telah diaktifkan.
“Cepatlah kau selesai. Kita mau backpacking, kan?”
Hahaha…semoga ada waktu untuk berjalan-jalan. Untuk yang satu itu, sungguh menyenangkan bisa menyegarkan kepala yang terlanjur suntuk.
“Kapan pulang, nak? Kami sudah rindu…”
Rumah memang akan selalu menjadi tempat pulang saya. Tak ada yang lain. Maka biarkan saya menyelesaikan benih kebahagiaan kalian dulu, Pak, Bu. Percayalah, anakmu ini akan selalu menunaikan janjinya untuk kembali.
Maka mendoalah...
Aku merindu…
Kebebasan atas hidup yang siap merengkuhku
Tangan-tangan yang siap dijabat dan digenggam
Wajah-wajah yang siap dicumbu dan dipeluk
Aku (akan) pulang…
Pada rumah yang selalu terbuka
Untukku,
Dan “untuk semua orang”
Pada akhirnya, saya akan mencapai "pos pemeriksaan terakhir" sebelum membuka pintu keluar dari dunia kampus. Jelang beberapa hari ke depan, saya akan merasainya. Yah, merasainya sebagai sesuatu yang selama ini diidam-idamkan sekaligus ditakuti setiap mahasiswa seperti kami.
“Kamu mau ujian tutup?”
Seorang dosen seketika bertanya saat melihat saya melintas di koridor jurusan sambil membopong tumpukan skripsi. Sambil cengengesan, saya hanya menjawab singkat, “Iya, Pak. Jumat ini. Hehe…”
“Wah, cepat sekali ya,” lanjutnya lagi agak keheranan. Mungkin, ia agak terkejut, lantaran baru dua bulan yang lalu saya menyelesaikan ujian proposal yang juga ikut dihadirinya. Dosen muda itu hadir sebagai peserta, yang tak ketinggalan melemparkan pertanyaan demi “menguji” saya. Maklum, ia tahu latar belakang saya sebagai seorang pegiat pers kampus.
“Mm…ya begitulah, Pak.” Sementara dalam kepala saya berpikir, “Memangnya itu tergolong cepat ya?”
“Memang. Karena ujian proposalmu baru dua bulan yang lalu. Itu tergolong cepat, dibanding yang lainnya,” jawab seorang teman ketika saya langsung menanyakannya.
Saat memulai, untuk mengakhiri.. (Foto: ImamR) |
Hm…kalau dipikir-pikir, beberapa hal memang berjalan begitu lancarnya. Beberapa rencana yang saya patok cukup ampuh untuk ngebut di pengerjaan skripsi ini. Saya belajar dari teman-teman yang pernah menjalaninya. Banyak bertanya, banyak menyimak solusi. Pekerjaan seorang wartawan memang lebih banyak bertanya. Itu menjadi satu-satunya “senjata” yang pantas kami miliki, bukan?
Kalau saya tak mampu "bekerja" lebih baik dan ekstra, apa pula yang membedakan saya dengan teman-teman mahasiswa original lainnya? Sudah sepatutnya latar belakang saya, yang sempat menyita waktu bertahun-tahun itu, bisa menjadi pembeda dan "kelebihan" dari perjalanan mahasiswa mainstream lainnya.
Dan tentang studi akhir ini, memang sudah menjadi prioritas di atas segalanya. Demi mengakhirkan studi, saya harus rela “menutup” pintu segala kemungkinan pekerjaan yang menghampiri. Saya pernah mengalami, the comfort zone ketika kita sudah mencicipi pekerjaan. Zona nyaman itu justru melenakan, dan menggantikan prioritas studi itu. Yeah, namanya bekerja atas dasar passion itu memang selalu menyenangkan.
Mungkin, hanya satu-dua side-job menjadi pondasi bagi saya menyokong penyelesaian studi ini. Maklum, kata orang, jelang tamat kuliah, banyak pembiayaan yang mesti dipenuhi. Saya serasa berkejaran dengan waktu. Pun, pikiran berlaku demikian. Di satu sisi memikirkan urusan skripsi, di sisi lain memikirkan cara untuk mengongkosinya. Haha... Serius, saya nyaris ngos-ngosan gegara itu.
Saya (atau siapa pun) semestinya mulai memahami prioritas. Kewajiban. Kepantasan. Tuntutan. Tugas. Tanggung jawab. Atau apa pun orang-orang menyebutnya. Segala hal yang tak berhubungan dengan kewajiban, ya mesti dikesampingkan dulu. Just focus on it!
“Ingat, pelatihan minggu ini. Semua reporter wajib datang. Dimulai hari Senin. Jangan terlambat!”
Akh, maaf. Saya harus menyelesaikan tugas akhir dulu sebagai mahasiswa tingkat akhir. Mengenai sanksi atas absennya saya, itu belakangan.
“Jadi, nanti Anda yang akan jadi penulisnya. Kami sudah kontrak dengan media itu. Terbitnya akan dua kali sebulan.”
Baiklah. Tapi, dalam rentang seminggu ini saya masih belum akan mengajukan “proposal”nya. Lagipula, tak ada deadline pengajuannya kan, Bu?
“Kalau bisa dipermak sebagus-bagusnya. Secepatnya ya. Orang-orang tak sabar membukanya.”
Pasti! Secepatnya, usai tetek-bengek skripsi ini, saya akan mengerjakannya. Anggap saja saya “berhutang” pelayanan. Terima kasih untuk sokongan materinya.
“Kapan pulang kampung? Ingat, kau janji untuk ke sekolah mau bangun ekskul itu.”
Emm…semoga sempat menunaikannya. Apalagi, selepas menyandang gelar nanti, saya harus langsung terjun ke dunia nyata berikutnya; pekerjaan. Tapi, saya benar-benar penasaran ingin membantu dan mengembangkan pers di sekolah. Sejauh ini, perasaan challenged saya telah diaktifkan.
“Cepatlah kau selesai. Kita mau backpacking, kan?”
Hahaha…semoga ada waktu untuk berjalan-jalan. Untuk yang satu itu, sungguh menyenangkan bisa menyegarkan kepala yang terlanjur suntuk.
“Kapan pulang, nak? Kami sudah rindu…”
Rumah memang akan selalu menjadi tempat pulang saya. Tak ada yang lain. Maka biarkan saya menyelesaikan benih kebahagiaan kalian dulu, Pak, Bu. Percayalah, anakmu ini akan selalu menunaikan janjinya untuk kembali.
Maka mendoalah...
***
Aku merindu…
Kebebasan atas hidup yang siap merengkuhku
Tangan-tangan yang siap dijabat dan digenggam
Wajah-wajah yang siap dicumbu dan dipeluk
Aku (akan) pulang…
Pada rumah yang selalu terbuka
Untukku,
Dan “untuk semua orang”
--Imam Rahmanto--
2 comments
Selamat, Kanda Imam, S. Pd (jumat nanti). Selamat pula atas tiap-tiap keberuntungan lain yang beruntun. Traktirannya, selamatannya, syukurannya, ditunggu ya... Hehehe
BalasHapusHahaha...kalau ada rezeki pasti lah itu. :) Saya juga dengan senang hati siap ditraktir, kok. #ehh
Hapus