31# Diujiankan
Februari 22, 2015Baca Juga
Apa yang terjadi belakangan ini adalah di luar kehendak saya.
Dua hari yang lalu, saya telah selesai menggelar ujian akhir. Seharusnya, beberapa jam setelahnya dilanjutkan dengan yudisium alias penyematan gelar baru. Tentang gelar itu, aya tidak benar-benar menginginkannya, sesungguhnya. Saya hanya ingin keluar dari kampus dengan baik-baik. Itu saja.
Akan tetapi, salah satu penguji nampaknya mengusulkan agar yudisium saya ditunda dulu hingga merampungkan revisi atas skripsi saya. Sungguh malang. Padahal, kebanyakan mahasiswa lainnya, tak perlu menunggu hingga revisi dulu baru bisa di-yudisium-kan. Pada momen kebanyakan, revisi dikerjakan setelah yudisium. Lah, saya? Nampaknya, saya berhasil benar menjadi unik dan “satu-satunya”. Dasar nasib.
“Tak usah berkecil hati,” kata salah seorang pembimbing.
Saya memang tak pernah berkecil hati. Saya sudah terlatih untuk patah hati. #ehh. Kecewa, maksudnya. Dalam beberapa hal, memang di luar kuasa kita sebagai manusia. Hasil itu akan menjadi refleksi sejauh mana usaha abstrak dan material yang telah kita lakukan.
Ujian yang seharusnya berlangsung jam sepuluh pagi, nyatanya harus ditunda gegara kedua pembimbing ujian saya absen. Salah satu pembimbing baru bisa hadir di kampus menjelang Ashar. Terpaksa, daripada ditunda lagi, saya memaksakan diri ujian lewat dari jam empat. Sungguh malang. Sudah, saya katakan, saya terlatih pat…eh…kecewa.
Setidaknya, saya telah selesai dengan ujian meja. Tak perlu mengulang lagi. Hanya tersisa revisi dan yudisium.
Karena mengkhawatirkan revisi ini, saya agak ragu untuk melanjutkan pekerjaan yang sejak seminggu lalu bertengger di kepala. Bahkan teman-teman juga seenaknya sudah melabelkan pekerjaan itu pada saya. Ckck..
Setelah “disidang” oleh redaktur akibat ulah bandel saya sebagai calon reporter, saya memutuskan hengkang dari pekerjaan ini. Saya tak perlu berpikir terlalu panjang. Suasana pekerjaan akibat “kebandelan” saya itu pada kenyataannya sudah menyulut kejengkelan beberapa redaktur senior. Hm…benar kata guru saya dulu. Kalau mau jadi orang terkenal, cukup jadi salah satunya; terpintar atau terbandel.
“Sebenarnya hal semacam itu bisa ditaktisi lah. Apalagi kan kau juga sudah selesai ujian meja,” tawar salah seorang redaktur.
Akh, pada banyak perjalanan ini, saya telah belajar untuk memasang prioritas. Beberapa hal yang bertumbukan berpengaruh pula pada perjalanan akademik saya. Setidaknya, saya hanya ingin melangkah keluar dulu dari kampus, secara baik-baik. Selepas itu, barulah saya boleh memasang banyak target lagi.
Seandainya saja saya bisa menggunakan jurus Kage Bunshin-nya Naruto ya, mungkin semuanya bakal lebih mudah. Ada banyak hal di luar sana yang ingin saya lakukan. Sejauh ini, nampaknya hanya pikiran saja yang bisa dilipatgandakan.
Nah, selanjutnya, mari mengerjakan beberapa hal yang tertunda. Firstly, tarting to smile…
Ps: lagu dari One Republic, Counting Star, sedang mengalun dari notebook teman saya. Selain karena, sepagi ini, sembari saya menunggu balasan pesan dari seseorang.
Dua hari yang lalu, saya telah selesai menggelar ujian akhir. Seharusnya, beberapa jam setelahnya dilanjutkan dengan yudisium alias penyematan gelar baru. Tentang gelar itu, aya tidak benar-benar menginginkannya, sesungguhnya. Saya hanya ingin keluar dari kampus dengan baik-baik. Itu saja.
Akan tetapi, salah satu penguji nampaknya mengusulkan agar yudisium saya ditunda dulu hingga merampungkan revisi atas skripsi saya. Sungguh malang. Padahal, kebanyakan mahasiswa lainnya, tak perlu menunggu hingga revisi dulu baru bisa di-yudisium-kan. Pada momen kebanyakan, revisi dikerjakan setelah yudisium. Lah, saya? Nampaknya, saya berhasil benar menjadi unik dan “satu-satunya”. Dasar nasib.
“Tak usah berkecil hati,” kata salah seorang pembimbing.
Saya memang tak pernah berkecil hati. Saya sudah terlatih untuk patah hati. #ehh. Kecewa, maksudnya. Dalam beberapa hal, memang di luar kuasa kita sebagai manusia. Hasil itu akan menjadi refleksi sejauh mana usaha abstrak dan material yang telah kita lakukan.
Ujian yang seharusnya berlangsung jam sepuluh pagi, nyatanya harus ditunda gegara kedua pembimbing ujian saya absen. Salah satu pembimbing baru bisa hadir di kampus menjelang Ashar. Terpaksa, daripada ditunda lagi, saya memaksakan diri ujian lewat dari jam empat. Sungguh malang. Sudah, saya katakan, saya terlatih pat…eh…kecewa.
Setidaknya, saya telah selesai dengan ujian meja. Tak perlu mengulang lagi. Hanya tersisa revisi dan yudisium.
Karena mengkhawatirkan revisi ini, saya agak ragu untuk melanjutkan pekerjaan yang sejak seminggu lalu bertengger di kepala. Bahkan teman-teman juga seenaknya sudah melabelkan pekerjaan itu pada saya. Ckck..
Setelah “disidang” oleh redaktur akibat ulah bandel saya sebagai calon reporter, saya memutuskan hengkang dari pekerjaan ini. Saya tak perlu berpikir terlalu panjang. Suasana pekerjaan akibat “kebandelan” saya itu pada kenyataannya sudah menyulut kejengkelan beberapa redaktur senior. Hm…benar kata guru saya dulu. Kalau mau jadi orang terkenal, cukup jadi salah satunya; terpintar atau terbandel.
“Sebenarnya hal semacam itu bisa ditaktisi lah. Apalagi kan kau juga sudah selesai ujian meja,” tawar salah seorang redaktur.
Akh, pada banyak perjalanan ini, saya telah belajar untuk memasang prioritas. Beberapa hal yang bertumbukan berpengaruh pula pada perjalanan akademik saya. Setidaknya, saya hanya ingin melangkah keluar dulu dari kampus, secara baik-baik. Selepas itu, barulah saya boleh memasang banyak target lagi.
Seandainya saja saya bisa menggunakan jurus Kage Bunshin-nya Naruto ya, mungkin semuanya bakal lebih mudah. Ada banyak hal di luar sana yang ingin saya lakukan. Sejauh ini, nampaknya hanya pikiran saja yang bisa dilipatgandakan.
Nah, selanjutnya, mari mengerjakan beberapa hal yang tertunda. Firstly, tarting to smile…
Ps: lagu dari One Republic, Counting Star, sedang mengalun dari notebook teman saya. Selain karena, sepagi ini, sembari saya menunggu balasan pesan dari seseorang.
--Imam Rahmanto--
0 comments