Lama juga saya tak me-review film-film kesukaan. Semenjak notebook satu-satunya harus berakhir di tempat penampungan barang-barang bekas di gudang. Tersisa hardisk yang kemudian saya amankan dan tetap berisi berbagai jenis film dan dokumen-dokumen pentings saya. Termasuk skripsi.
Belakangan, saya mulai sibuk mengunduh beberapa film. Saya tentunya memang butuh menyesuaikan mata dengan tontonan audio-visual. Biar lebih variatif dan mengatasi kebosanan berjilid-jilid buku yang belum bisa tamat. Target baca setahun saja belum kelar setengahnya.
Selain itu, tontonan film juga menjadi hiburan tersendiri bagi saya yang punya kamr berseberangan dengan kompleks pemakaman. Jika saya membiarkan kamar tanpa suara hiburan, nuansa horor tentu jadi teman menjelang tidur.
Sebenarnya, ada banyak playlistf film yang kini tersimpan dalam memori notebook saya. Itu pun telah saya tonton selama beberapa minggu terakhir. Mulai dari film animasi, hingga film karya anak negeri.
Aisyah Biarkan Kami Bersaudara, Almost Famous, Meri Pyaari Bindu, Noor, Flying Colours, Cars 3, Into The Wild, Dear Zindagi, Jump Street 1 dan 2, Skiptrace, Kedi, Spiderman Homecoming, Storks, Hangover, Secret Life of Pets, The Words, Der Zindagi.
Serius, daftar itu belum termasuk film-film yang sudah saya tonton dan hapus. Sementara yang masih terdata sebagai daftar antrean misalnya Istirahatlah Kata-kata, The Ottoman Liutenant, dan Into The Wild.
Entah angin apa yang menggerakkan saya lebih tertarik untuk mengulas film Middle School: The Worst Years of My Life. Sementara dari beberapa daftar di atas, ada sebagian film yang cukup inspiratif dan punya nilai motivasi lebih tinggi.
***
(Sumber; Lionsgate Picture) |
Film yang diangkat dari buku serial best selling ini berputar pada kehidupan sekolah remaja lelaki yang bernama Rafe Khatchadorian. Kehidupannya berantakan karena terlalu sering berpindah-pindah sekolah. Bukan karena ia seorang berandalan. Hanya saja, ia punya masalah serius terhadap kedisiplinan karena lebih suka menghabiskan waktu dengan menggambar.
Masa remajanya pun dipertaruhkan di sekolah terakhirnya di Petterson. Sekolah yang menerapkan aturan kedisiplinan teramat ketat. Bahkan berkeliaran di lorong sekolah pun menjadi larangan dalam buku kecil aturan dan larangan sekolah.
Kebiasaannya menggambar berujung pada kemarahan kepala sekolah. Bukunya yang penuh dengan gambar keren dimusnahkan oleh kepala sekolah. Tak ayal, Rafe kecewa dan menyimpan dendamnya pada kepala sekolahnya. Saya suka dengan kebiasaan Rafe membawa-bawa buku atau notes sebagai wadah menuangkan kreativitasnya.
Bersama temannya, Leonardo, ia membalas dengan cara lebih kreatif dan berjiwa seni. Bukan hanya kepada kepala sekolahnya. Melainkan dengan melanggar aturan-aturan sekolahnya tanpa ketahuan. Berjalanlah operasi Rule Aren't For Everyone (RAFE), yang justru mengundang lebih banyak simpati anak-anak lainnya.
Sepintas, kisah Rafe tak jauh berbeda dengan film-film kelas remaja pada umumnya. Akan tetapi, saya tak bisa menghentikan tontonan dengan berbagai unsur seni di dalamnya. Termasuk di adegan pembuka yang memunculkan kartun atau animasi gambar-gambar Rafe, seolah hidup. Sang sutradara, Steve Carr mencampurkan unsur animasi ke dalam filmnya. Padahal, kartun-kartun itu hanyalah imajinasi dari Rafe sendiri.
Cukup menghibur juga melihat imajinasi seorang remaja seperti Rafe. Uniknya, ketika ia diminta maju ke depan kelas menggambarkan rantai makanan. Ia benar-benar menjiwai gambarnya dan mencoret-coret papan tulis dengan rantai makanan versinya. Bagi siapa saja yang pernah belajar di sekolah terkait pokok bahasan itu, pasti bakal tersadar bahwa ternyata ada banyak jenis rantai makanan selain sekadar hafalan: padi - tikus - ular - elang - pengurai atau rumput - belalang - katak - ular - elang - pengurai.
Saya juga suka dengan konsep pendidikan yang berusaha berusaha diluruskan oleh film ini. Aturan ketat yang hanya membuat anak-anak terkekang justru memendam keterampilan masing-masing orang. Sekolah ini mirip konsep sekolah formal pada umumnya. Aturan ketat. Kurikulum mementingkan otak kiri. Prioritas prestasi sekolah. Tak ada tolerir terhadap keterampilan lainnya.
Sementara dunia kerja yang sesungguhnya tidak butuh orang yang pintar berhitung atau menghafal. Kehidupan nyata lebih menyukai mereka yang gigih bersaing dan punya keterampilan berbeda. Terkadang, mereka yang berpikir "gila" jauh lebih berhasil ketimbang yang biasa-biasa saja mengikuti arus.
Rafe tanpa sengaja membebaskan kawan-kawannya dari tekanan sekolah semacam itu. Meski ujung-ujungnya ia ketahuan sebagai pelaku pemberontakan aturan sekolahnya. Teman sekelasnya justru mendukung dan berupaya menjadi sekutu dalam menjatuhkan otoritas kepala sekolahnya.
Akh ya, menurut saya, bagian terbaiknya bukan ada pembangkangan Rafe itu. Saya justru merasakan twist film ini pada bagian pengungkapan teman Rafe, Leo. Meski bertema komedi, bagian paling mengharukan justru datang dari twist tersebut. Siapa Leo yang selama ini menemani Rafe untuk mengerjai sekolahnya? Leo yang juga menghadiahkan buku baru bagi Rafe setelah bukunya dimusnahkan kepala sekolah. Ternyata Leo selama ini.........
Sudahlah. Kalau saya menceritakan semuanya, tentu takkan menyenangkan lagi menonton film bernuansa remaja ini. Film bertema ringan ini cocok menjadi pengisi waktu luang. Sekali-kali, menonton film ringan seperti ini sungguh bisa membebaskan beban di kepala.
"If you want to make a difference, think outside the box," --Rafe's mom.
--Imam Rahmanto--
- Juli 30, 2017
- 0 Comments