Kulminasi Rasa
Juli 23, 2017Baca Juga
(Foto: Imam Rahmanto) |
Seorang teman memulai kisah hidupnya yang baru. Bulir-bulir bahagia bermekaran dari raut wajahnya. Akad sudah diucapkan. Janji sehidup-semati sudah ia tanam dalam hati. Senyum bahagia bertukar untuk keluarganya. Begitu pula untuk lelakinya.
Saya menyambangi momen bahagia teman perempuan itu beberapa hari lalu. Memenuhi undangannya, sebagai salah satu teman karib. Lebih dari itu, kami sudah seumpama saudara. Tak lagi dipisahkan kecanggungan apa pun. Barangkali karena pernah disatukan organisasi yang sama di masa putih abu-abu dulu.
Sayangnya, saya hanya bisa menjumpainya setelah ia beranjak dari pelaminan. Pesta sudah bubar. Dirinya juga sementara berkemas karena masih harus melanjutkan ke acara mempelai pria.
"Tunggu ka nah? Nanti magrib lagi kalian kesana, jangan pulang. Pokoknya jangan pulang. Kita belum foto-foto," ancamnya sebelum bergegas keluar rumah. Sementara saya masih tinggal berbincang dengan anggota keluarganya. Meskipun pada akhirnya saya tidak bisa memenuhi permintaannya itu. Tak ada foto-foto narsis.
Saya bersyukur, ia akhirnya bisa menjauhkan perasaannya yang sempat menggumpal pada seorang kawan kami. Bahkan, saya turut merasa bersalah pada bagian itu. Lantaran, perasaannya yang sempat terpendam itu karena keisengan saya yang sering meledeknya. Menjodoh-jodohkannya.
Seiring waktu, ia menumbuhkan sendiri benih perasaan itu. Dua hingga tiga tahun menyimpan keinginannya sendiri. Hanya saja, saya pun tahu, kawan lelaki saya tidak berlaku demikian. Ia cukup tahu bahwa saya sekadar menebar lelucon semata. Ia pun tak ingin terlalu jauh melangkah untuk mengembangkan harapan bagi sahabat kami itu.
Tak ingin terlalu lama menanti sesuatu yang tak jelas baginya, sahabat perempuan saya pun membuka lebar hatinya untuk lelaki yang datang baik-baik ke rumahnya. Lelaki itu bukan orang baru baginya, karena bertetangga dalam satu desa. Pun, barangkali mereka memang sudah lama akrab.
"Lagipula memang dia ndak pernah bilang mau ditunggu atau tidak. Seandainya dia pernah bilang, pasti ditunggui ji, biar berapa lama," katanya, yang hanya bisa saya tirukan lewat cerita Bunda, tempo hari. Dirinya, kata Bunda, pernah menumpahkan cerita berbalut air mata. Entah haru atau ragu.
Sungguh, jodoh atau pasangan hidupnya sekarang tak pernah bisa ditebak. Ia juga sudah paham untuk tidak berlarut-larut menantikan sesuatu yang tak jelas patoknya. Tentu saja, itu lebih melegakan.
Jauh, beberapa tahun silam, kakak sepupu saya juga pernah disusupi dilema. Lelaki sulung itu dilanda kebingungan karena dijodohkan oleh orang tuanya dengan gadis dari kampung halaman di jawa. Nampaknya, Paklik (paman saya) berhubungan sangat baik dengan orang tua si gadis jawa. Meskipun kehidupan mereka telah lama berjaya di Makassar.
Sepupu saya itu sudah punya tambatan hati di Makassar. Entah sudah berapa lama ia menjalin hubungan. Ia tentu agak berat melepaskannya. Apalagi, ia harus memilih opsi yang diajukan oleh Paklik. Memilih perjodohan dengan bonus mobil dan modal untuk usahanya, atau mempertahankan kekasihnya dengan ancaman tak bakal mendapatkan sepeser pun modal dari Paklik.
Idealnya kisah cinta melankolis, sepupu saya bisa saja memilih tetap menggandeng tangan kekasihnya ke pelaminan. Suka duka bakal dilaluinya bersama-sama dalam membangun bahtera rumah tangga. Mereka bisa membesarkan anak-anaknya dengan membusungkan dada. Anak-anaknya akan belajar kehidupan dengan cara yang lebih dramatis.
Akan tetapi, di kehidupan nyata, ia terpaksa menyerah kepada pilihan pertama. Menerima perjodohan ayahnya dengan perempuan yang masih serumpun dengan kami. Perlahan membangun keikhlasan untuk menanggalkan kenangan indah bersama sang kekasih. Toh, kehidupannya terus berjalan dan kini dianugerahi seorang anak laki-laki.
"Perihal jodoh, memang tak ada yang bisa menduga-duga," kata Bunda, sebagaimana lazimnya pepatah usang yang kerap dilupakan banyak orang. Selalu pula berulang "masuk telinga kiri, keluar telinga kanan."
***
Entah seperti apa, namun saya berpikir, perempuan juga punya batas kesabarannya dalam menunggu. Tak ada perempuan yang benar-benar setia menunggu. Apalagi terhadap janji-janji yang tak jelas pangkal dan muaranya. Ditambah lagi, terhadap janji yang tak pernah diucapkan.
Pun, laki-laki. Tak semuanya benar-benar kuat mencari. Seiring usia yang bertambah, pikiran logis juga kian berubah. Beberapa diantara kami justru tak ingin lagi sekadar main-main dalam mencari pasangan hidup. Saya berani bertaruh, tak ada yang menganggap main-main urusan pendamping hidup.
Mencari pasangan hidup memang sangat berbeda untuk saat ini. Memilih satu saja, seumpama melekatkan berbagai pertimbangan masa depan, baik dari diri sendiri maupun bagi keluarga kedua belah pihak.
Tak hanya (selalu) urusan panaik (atau mahar) yang menjadi kendala. Proyeksi masa depan kedua belah pihak ikut menjadi pertimbangan-pertimbangan yang pelik. "Apa dia bisa dekat dengan keluarga? Keluarganya dari kalangan berbeda, apa bisa cocok dengan saya? Apa dia tidak akan bosan dengan kehidupan kami?
Wajar jika perasaan tak lagi menjadi pertimbangan utama. Karena perkara hidup (masa depan) tak hanya melambungkan tentang perasaan.
Namanya cinta, kata orang tua, lama-lama bisa dipupuk. Awalnya karena paksaan, lama-lama jadi kerasan. Orang tua kami teramat suka menyumpahinya dengan peribahasa witing tresno jalaran soko kulino. Cinta tumbuh karena terbiasa. Dalam hal ini, kebiasaan (selalu sama-sama) setelah disatukan oleh akad dan satu atap.
Tak heran jika banyak teman perempuan kami berakhir dengan menerima lamaran lelaki yang bukan kekasihnya. Ini soal masa depan, bung! Jika tak ada komitmen yang jelas dalam penantian asmaranya, mereka tentu lebih memilih untuk kejelasan hidupnya.
Sebenarnya, ada begitu banyak perempuan yang teramat kuat mencintai satu orang. Menungguinya. Meski begitu, dalam sisi kehidupan lainnya, ia takkan memaksakan satu orang itu untuk menjadi pendamping hidupnya kelak. Karena kedewasaan membuat kita lebih banyak berpikir. Bahwa, ada orang yang hanya bisa kita simpan dalam hati selamanya, tetapi tidak untuk sehidup semati bersamanya.
--Imam Rahmanto--
0 comments