Kam(p)us
Juli 19, 2017Baca Juga
Saya pernah kerap kali menggerutu kepada anak-anak yang kuliah di kampus swasta. Saya selalu menjadi orang yang pesimis memandang gaya hidup mereka. Saya memandang orang-orang yang kuliah kampus swasta sebagai mahasiswa dari kalangan berada. Wajar, kampus swasta memang mematok biaya kuliah yang cukup mahal.
Menguliahkan anak di kampus mahal tentu menjadi gengsi tersendiri, di luar ketidakmampuan melulusi tes di jalur negeri. Itu karena mereka punya kelebihan uang, yang tentu takkan habis hanya dengan membayari biaya semester dan pembangunan kampus bersangkutan. Intinya, bagi saya, kampus "non-negeri" menjadi tempat kuliah bagi orang-orang yang punya kemampuan finansial tinggi.
Sejalan dengan peran yang mulai berganti, saya menyadari sesuatu. Apa yang menjadi kesimpulan sepihak itu tak sepantasnya digeneralisasikan. Realisasinya tak selalu demikian. Apalagi ketika saya mulai menyelami sendiri konsep perjalanan hidup yang kian berganti.
Adik saya, baru-baru ini, tak melulusi kampus negeri idamannya. Hal tersebut menjadi kegagalan tahun keduanya dalam memasuki jenjang pendidikan tinggi. Ia hanya bisa terisak dari ujung telepon setelah kata-katanya datar sampai di telinga saya, "Ndak lulus ka lagi."
Tak ada yang bisa diperbuat kakaknya dari jauh. Setelah menggerutu dan sedikit (sok) mengguruinya, saya hanya bisa pasrah dan menyuruhnya diam. Hati kecil saya ikut tercerabut jika mendengarnya terisak. Meskipun sebenarnya, ia memang sangat cengeng sejak kecil. Itu juga karena kakaknya yang suka mengganggu, hingga ia selalu berteriak-teriak mengadu pada mamak.
Setiap orang harus sadar dengan kemampuan dirinya. Saya tak mungkin memberondongnya dengan kekesalan hanya karena dirinya tak mampu menjadi diri saya di masa lalu. Ingin marah, rasanya saya bakal menjelma jadi seorang "ayah" yang galak. Sosok yang benar-benar tak saya inginkan jika mempunyai anak di kemudian hari.
Lebaran kemarin menjadi waktu yang cukup baik baginya menumpahkan keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Saya menyarankan untuk mendaftar saja di kampus mana pun yang dia suka. Salah satu kampus di Malang dan Surabaya pun sempat saya masukkan dalam daftar prioritas. Sayangnya, jarak yang cukup jauh tentu bakal mengurangi kebersamaannya dengan bapak dan mamak. Selain itu, tak ada kenalan yang menjadi penunjuk jalan bagi adik perempuan saya itu.
Saya memberikan keleluasaan baginya untuk memilih. Memilih dimana saja. Jurusan apa saja. Tanpa perlu campur tangan pilihan dari saya. Karena, toh, dia sendiri yang bakal menjalani kehidupa barunya sebagai mahasiswa.
"Tapi, biayanya?"
Saya hanya tersenyum saja menanggapinya. Memintanya tak perlu risau. Tiba pada bagian itu, biarlah menjadi urusan saya.
"Saya cuma takut mengecewakan lagi, Kak,"
Entah bagaimana, saya merasakan trauma yang menggelayut dari ujung kepalanya. Kecewa menjadikan manusia lebih berarti. Lebih manusiawi. Tanpa perasaan semacam itu, tak ada proses memperbaiki diri. Dan, saya tak perlu menghakiminya karena tak sesuai harapan atau ekspektasi.
Toh, dua pekan lalu, adik saya akhirnya lulus di kampus kesehatan pilihannya. Swasta. One day service. Suaranya berseri-seri, meskipun masih merisaukan persoalan biaya, seperti bapak yang kerap membahasakannya lewat sambungan telepon.
Ada sesuatu yang berbeda dari perasaan saya di kemudian hari. Karena menggantikan sedikit peran bapak, saya jadi tahu bagaimana perasaan bapak (dan mamak) dalam menyekolahkan anak-anaknya dulu.
Sejak dulu, orang tua hanya berpikir bagaimana cara menyekolahkan anak-anaknya. Mereka tak ingin anak-anaknya putus hanya sampai tingkat SMA.
Bukan soal dimana dia akan mendaratkan pengalamannya. Melainkan, jauh lebih penting tentang apa saja (pengalaman) yang akan didapatkannya selama menjalani proses perkuliahan.
Seperti yang saya alami, tujuan dasar memang kerap dikaitkan dengan jurusan yang dipilih. Akan tetapi, pengalaman dan keterampilan bakal berubah seiring mahasiswa menempatkan diri dalam bersosialisasi. Semakin banyak berteman, semakin banyak menimba pengalaman. Saya menganggap, esensi perkuliahan yang sebenarnya berada pada tataran mencari pengalaman dan jati diri sebelum lulus kuliah.
Sebagian orang tua nampaknya juga memikirkan hal itu. Asalkan anak-anaknya bisa kuliah, biaya tak jadi masalah. Mereka tentu tak ingin menunjukkan kesulitan meteri di hadapan anak-anaknya. Dari sini, saya tak mau lagi mengkotak-kotakkan kampus mana pun.
Orang tua semata-mata berpikir agar anaknya bisa kuliah. Itu saja. Pertimbangan mereka tentu tak ingin melihat anak-anaknya hanya berkeliaran di sekitar rumah atau langsung bekerja tanpa dasar bersosialisasi sebelumnya. Paling tidak, selepas kuliah, mereka punya pemikiran yang lebih berbeda dibanding orang-orang yang tak pernah merasai bangku kuliah. Kita akan menemui berbagai karakter di kehidupan kampus. Jika lebih beruntung, kehidupan kampus bakal membawa mereka pada dunia kerja yang lebih kompetitif, sesuai jati diri sesungguhnya.
Menyekolahkan anak-anaknya, seolah-olah jadi tabungan tersendiri bagi orang tua dimana pun berada. Meskipun ada pula yang menyebutnya sebagai aset, karena telah memperhitungkan landasannya sejak awal. Hitung-hitungan memasukkan anaknya di jurusan tertentu, berhasil diraih hingga pekerjaannya pun selaras dan menghasilkan uang lebih banyak.
Akh, saya pun tak ingin berpikir terlalu picik terkait materi. Bagi saya, kampus itu serupa kamus kehidupan. Apa saja bisa ditemukan disana. Pelajaran dan pengalaman. Bukan hanya soal studi di dalam kampus. Berteman dengan kawan baru juga punya ke(se)nangan tersendiri. Jati diri kita yang sesungguhnya bisa dimulai dari kehidupan di dalam kampus. Tak peduli kampus itu menyandang nama atau harga.
Menguliahkan anak di kampus mahal tentu menjadi gengsi tersendiri, di luar ketidakmampuan melulusi tes di jalur negeri. Itu karena mereka punya kelebihan uang, yang tentu takkan habis hanya dengan membayari biaya semester dan pembangunan kampus bersangkutan. Intinya, bagi saya, kampus "non-negeri" menjadi tempat kuliah bagi orang-orang yang punya kemampuan finansial tinggi.
Sejalan dengan peran yang mulai berganti, saya menyadari sesuatu. Apa yang menjadi kesimpulan sepihak itu tak sepantasnya digeneralisasikan. Realisasinya tak selalu demikian. Apalagi ketika saya mulai menyelami sendiri konsep perjalanan hidup yang kian berganti.
Jalani saja. (Imam Rahmanto) |
Adik saya, baru-baru ini, tak melulusi kampus negeri idamannya. Hal tersebut menjadi kegagalan tahun keduanya dalam memasuki jenjang pendidikan tinggi. Ia hanya bisa terisak dari ujung telepon setelah kata-katanya datar sampai di telinga saya, "Ndak lulus ka lagi."
Tak ada yang bisa diperbuat kakaknya dari jauh. Setelah menggerutu dan sedikit (sok) mengguruinya, saya hanya bisa pasrah dan menyuruhnya diam. Hati kecil saya ikut tercerabut jika mendengarnya terisak. Meskipun sebenarnya, ia memang sangat cengeng sejak kecil. Itu juga karena kakaknya yang suka mengganggu, hingga ia selalu berteriak-teriak mengadu pada mamak.
Setiap orang harus sadar dengan kemampuan dirinya. Saya tak mungkin memberondongnya dengan kekesalan hanya karena dirinya tak mampu menjadi diri saya di masa lalu. Ingin marah, rasanya saya bakal menjelma jadi seorang "ayah" yang galak. Sosok yang benar-benar tak saya inginkan jika mempunyai anak di kemudian hari.
Lebaran kemarin menjadi waktu yang cukup baik baginya menumpahkan keinginan untuk melanjutkan pendidikan. Saya menyarankan untuk mendaftar saja di kampus mana pun yang dia suka. Salah satu kampus di Malang dan Surabaya pun sempat saya masukkan dalam daftar prioritas. Sayangnya, jarak yang cukup jauh tentu bakal mengurangi kebersamaannya dengan bapak dan mamak. Selain itu, tak ada kenalan yang menjadi penunjuk jalan bagi adik perempuan saya itu.
Saya memberikan keleluasaan baginya untuk memilih. Memilih dimana saja. Jurusan apa saja. Tanpa perlu campur tangan pilihan dari saya. Karena, toh, dia sendiri yang bakal menjalani kehidupa barunya sebagai mahasiswa.
"Tapi, biayanya?"
Saya hanya tersenyum saja menanggapinya. Memintanya tak perlu risau. Tiba pada bagian itu, biarlah menjadi urusan saya.
"Saya cuma takut mengecewakan lagi, Kak,"
Entah bagaimana, saya merasakan trauma yang menggelayut dari ujung kepalanya. Kecewa menjadikan manusia lebih berarti. Lebih manusiawi. Tanpa perasaan semacam itu, tak ada proses memperbaiki diri. Dan, saya tak perlu menghakiminya karena tak sesuai harapan atau ekspektasi.
Toh, dua pekan lalu, adik saya akhirnya lulus di kampus kesehatan pilihannya. Swasta. One day service. Suaranya berseri-seri, meskipun masih merisaukan persoalan biaya, seperti bapak yang kerap membahasakannya lewat sambungan telepon.
***
Ada sesuatu yang berbeda dari perasaan saya di kemudian hari. Karena menggantikan sedikit peran bapak, saya jadi tahu bagaimana perasaan bapak (dan mamak) dalam menyekolahkan anak-anaknya dulu.
Sejak dulu, orang tua hanya berpikir bagaimana cara menyekolahkan anak-anaknya. Mereka tak ingin anak-anaknya putus hanya sampai tingkat SMA.
Bukan soal dimana dia akan mendaratkan pengalamannya. Melainkan, jauh lebih penting tentang apa saja (pengalaman) yang akan didapatkannya selama menjalani proses perkuliahan.
Seperti yang saya alami, tujuan dasar memang kerap dikaitkan dengan jurusan yang dipilih. Akan tetapi, pengalaman dan keterampilan bakal berubah seiring mahasiswa menempatkan diri dalam bersosialisasi. Semakin banyak berteman, semakin banyak menimba pengalaman. Saya menganggap, esensi perkuliahan yang sebenarnya berada pada tataran mencari pengalaman dan jati diri sebelum lulus kuliah.
Sebagian orang tua nampaknya juga memikirkan hal itu. Asalkan anak-anaknya bisa kuliah, biaya tak jadi masalah. Mereka tentu tak ingin menunjukkan kesulitan meteri di hadapan anak-anaknya. Dari sini, saya tak mau lagi mengkotak-kotakkan kampus mana pun.
Orang tua semata-mata berpikir agar anaknya bisa kuliah. Itu saja. Pertimbangan mereka tentu tak ingin melihat anak-anaknya hanya berkeliaran di sekitar rumah atau langsung bekerja tanpa dasar bersosialisasi sebelumnya. Paling tidak, selepas kuliah, mereka punya pemikiran yang lebih berbeda dibanding orang-orang yang tak pernah merasai bangku kuliah. Kita akan menemui berbagai karakter di kehidupan kampus. Jika lebih beruntung, kehidupan kampus bakal membawa mereka pada dunia kerja yang lebih kompetitif, sesuai jati diri sesungguhnya.
Menyekolahkan anak-anaknya, seolah-olah jadi tabungan tersendiri bagi orang tua dimana pun berada. Meskipun ada pula yang menyebutnya sebagai aset, karena telah memperhitungkan landasannya sejak awal. Hitung-hitungan memasukkan anaknya di jurusan tertentu, berhasil diraih hingga pekerjaannya pun selaras dan menghasilkan uang lebih banyak.
Akh, saya pun tak ingin berpikir terlalu picik terkait materi. Bagi saya, kampus itu serupa kamus kehidupan. Apa saja bisa ditemukan disana. Pelajaran dan pengalaman. Bukan hanya soal studi di dalam kampus. Berteman dengan kawan baru juga punya ke(se)nangan tersendiri. Jati diri kita yang sesungguhnya bisa dimulai dari kehidupan di dalam kampus. Tak peduli kampus itu menyandang nama atau harga.
Jangan tersuruk seperti kucing piaraan nenek saya ini. Haha... (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
2 comments
Selamat jadi "ayah" untuk adiknya, kak. Jadi anak sulung memang tugasnya jadi agak berat, ya... 😅
BalasHapusBangettt....
Hapus