Anak-anak yang Bertahan

Juli 16, 2017

Baca Juga

sambungan dari Modal Nekat


Saya bukan pertama kalinya menjalani puasa di daerah minoritas, seperti Tana Toraja. Tahun lalu, saya bahkan selama beberapa hari berada di pusat kotanya berpuasa bersama keluarga. Sayangnya, dalam kondisi yang agak berbeda karena bapak sedang dirawat di rumah sakit.

Kesempatan baru justru datang dari penugasan sebagai salah pewarta di daerah. Sesuatu yang tak pernah saya sangka-sangka sebelumnya. Bahkan, saya juga sempat menundanya beberapa kali.

Saya harus menghabiskan hampir sejam lamanya hanya untuk mencari destinasi liputan itu. Saya tak pernah merencanakan apa-apa. Di dalam kepala, hanya ada satu nama daerah, yang saya pun tak tahu dimana lokasinya. Pun, saya mendapatinya dari berselancar di dunia maya. Tak ada gunanya juga bertanya pada Google Map di daerah yang masih menjunjung tinggi saling sapa dan komunikasi tatap mata.

"Tabe, Pak. Dimana dibilang Lembang Marinding disini?" pertanyaan yang sudah saya ajukan beberapa kali.

Bukannya kesasar, saya justru beberapa melampaui daerah tersebut. Lembang itu berada tidak begitu jauh dari jalan poros Enrekang - Makale. Bahkan tak sejauh lokasi Lembang Uluwai, yang sebelumnya menjadi tujuan awal.

"Di Getengan sana, kilometer lima, ada jalan ke atas. Naik ki saja terus," jawaban yang juga nyaris sama dengan embel-embel kilometer lima. Maklum, saya bukan "penguasa" daerah Tana Toraja. 


***

Tujuan pertama saya adalah mencari lokasi masjid yang tepat dan bisa menjadi alternatif darurat untuk bermalam. Seperti kata redaktur, saya mesti merasai bagaimana berpuasa ala muslim minoritas di daerah itu. Hanya saja, soal tinggal di rumah salah satu muslim, saya masih belum memikirkannya.

Cahaya mulai menyusut. Dingin nyaris menusuk kulit. Lembang ini cukup dekat dengan perbatasan Enrekang. Suasananya juga begitu sunyi. Tak ada tanda-tanda Ramadan yang saya dapati diantara para penduduk. Wajar, mayoritas memang memeluk agama Nasrani.

Saya mengikuti seorang perempuan kecil yang menenteng ranselnya. Ia nampaknya hendak menuju masjid untuk mengaji. Terlihat cukup jelas dari jilbab yang ia kenakan. Ditambah, saya juga sudah mendapatkan informasi sebelumnya jika di lembang ini anak-anak rutin mengaji saban sore, menjelang waktu berbuka puasa.

Di masjid, saya menemukan beberapa anak lelaki lainnya. Kata salah satu diantaranya, mereka sedang menunggu sang ustaz. Sayangnya, masjid masih tertutup.

"Jadi, bagaimana mi caranya buka? Mauka salat Ashar ini," tanya saya pada mereka.

Meski terlihat sebagai orang asing, mereka tetap berusaha hendak menolong saya. Seperti anak-anak pada umumnya, mereka hanya saling pandang. Menimbang-nimbang dan tentu banyak bertanya di dalam kepala, "Siapa orang ini?" Beruntung, tanah kelahiran saya masih mewariskan sedikit dialek dan bahasanya yang punya banyak kesamaan dengan bahasa Tana Toraja.

"Dimana kuncinya?"

"Dikunci dari dalam," sahut perempuan kecil tadi.

Salah satu diantaranya pun berinisiatif memanjat jendela masjid. Kami membantunya. Kondisi masjid ini sebenarnya masih dalam tahap pembangunan. Kelak, saya baru akan tahu, pembangunan masjid ini sudah berlangsung belasan tahun. Hanya karena minoritas, mereka kesulitan merampungkannya tepat waktu.

Tak ada plafon indah seperti masjid pada umumnya. Dindingnya pun masih belum dihaluskan dengan kapur. Sisa-sisa pasir masih menumpuk di samping masjid. Jika hujan, halaman masjid lebih banyak menyumbangkan lumpur dan tanah becek. Untuk mengambil air wudhu, saya juga harus menggunakan bekas jeriken yang dilubangi sisi bawahnya. Tak ada keran sekali putar.

Padahal, kata beberapa penduduk, masjid ini yang paling besar diantara empat masjid Lembang Marinding. Berdasarkan informasi, menampung jemaah terbanyak diantara komunitas muslim disana.

"Brakk!!" suara barang terjatuh di dalam masjid membuat kami terkejut. Suara itu diikuti oleh geraman, raungan kemarahan dari seorang lelaki tua. Berlanjut uber-uberan yang bikin gaduh suasana petang itu.

"Siapa itu? Kenapai?" tanya saya terkejut, tentu dengan pikiran yang semakin bingung.

Anak-anak itu hanya ikut terdiam, sesekali tak ingin melongok ke dalam masjid. Mereka hanya menyebutkan satu nama, yang nampaknya cukup akrab bagi mereka.

Saya jadi tahu, ada seseorang di dalam masjid. Barangkali seperti marbot yang menjaga masjid. Anak-anak mengenalnya sebagai orang yang cukup ditakuti. Anak laki-laki yang tadi menyusup masuk masjid sampai tak bersuara lagi kena omelan darinya. Atau justru ia menangis sesenggukan karena dipukuli dengan rotan di tangannya karena berani memanjat jendela masjid. Entahlah, saya kasihan pula pada mereka.

"Tabe, saya mau numpang sembahyang," ujar saya dengan melongokkan kepala di jendela, berusaha menyela omelan lelaki tua itu.

Anak-anak di sebelah saya hanya terdiam sembari memandangi satu sama lain. Beberapa diantaranya ada yang melarikan diri bersembunyi.

Lelaki tua ituu masih tetap menggerutu saat membukakan pintu masjid dari pintu sebelah. Anak-anak pun mengajak saya lewat samping. Entah apa yang dikatakan lelaki tua itu dalam bahasa Tana Toraja. Saya tak begitu memahaminya karena dilafalkan dengan nada yang cepat dan kesal.

Usai menunaikan Asar, anak-anak tadi berlarian di dalam masjid. Beberapa diantaranya mengambil sapu dan membersihkan lantai. Sebagian lagi saling kejar-kejaran. Seolah-olah tidak terjadi sesuatu sebelumnya. Saya juga  sudah tidak mendapati lelaki tua di dalam masjid, yang tadi kesal karena dibangunkan. Saya jadi merindukan masa kecil saya bersama teman-teman mengaji.

Masih tersisa dua jam untuk berbuka puasa. Sementara anak-anak itu juga belum mengaji. Kata mereka, ustaznya belum datang. Satu dari dua ustaznya juga absen karena orang tuanya meninggal di kampungnya.

Saya berbincang saja dengan anak-anak itu di dalam masjid. Bertanya banyak hal tentang orang berpuasa di lembang. Karena bahasa yang masih agak asing, terbata-bata dan malu-malu saja mereka menjawabnya.

"Jadi, kalian kenal Pak Dahlan?"

Sebagian anak-anak itu memanggilnya dengan nama anak pertamanya. Apalagi, nama itu juga dikenal diantara muslim disana karena pernah menjadi kepala lembang (kepala desa) selama belasan tahun. Dia pula yang punya inisiatif membangunkan masjid untuk orang-orang di daerah minoritas ini.

Sejak awal, saya memang berputar-putar mencari nama itu. Paling tidak, bisa menjadi benang merah pertama saya untuk menyambungkan segala kisah puasa di lembang ini. Saya juga beberapa kali menanyakan nama itu kepada penduduk saat melintasi jalan-jalan lembang. Hanya saja, karena masih belum banyak mengerti jalan, saya hanya berusaha "seolah-olah" mengerti dengan jawaban para penduduk.

"Siapa tahu rumahnya. Antarka kesana," ujar saya lagi.

Anak-anak itu saling menunjuk satu sama lain. Salah satunya, menimbang-nimbang karena menganggap saya sebagai orang asing. Lelaki tak dikenal. Ditambah, kata mereka, rumahnya kini tak lagi berada di lembang. Tak bisa ditempuh sekadar jalan kaki.

"Adaji motorku. Nanti sama-sama lagi pulang kesini. Tidak kuculikji,"

Masih belum ada yang menyetujui. Mereka masih saling lempar pandangan.

"Oke pale. Bagaimana kalau nanti kukasih uang?" saya masih ingat mengantongi uang kembalian Rp5 ribu di saku celana.


Anak-anak Lembang Marinding yang masih berusaha mempertahankan imannya. (Imam Rahmanto)


...bersambung


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

1 comments

  1. It's impressive that you are getting thoughts from this post as well as from our discussion made at this time. capital one card login in

    BalasHapus