“Tidak ada lagune Eddy Silitonga, Im?”
Beberapa lagu lawas atau tembang kenangan sedang mengalun lembut dari notebook di hadapan saya. Televisi sudah dimatikan sedari tadi. Bapak yang masih terjaga di pembaringan tergoda lagu-lagu yang nampak pernah menjadi teman masa mudanya.
“Lagu-lagunya The Muppet dulu yang paling terkenal seperti Teluk Bayur. Tapi, kan The Muppet itu lagu-lagunya penyanyi yang diubah suara khas kayak anak kecil,” tutur bapak, beberapa menit sebelum meniti nama-nama penyanyi andalannya.
Senyap memang lebih cepat menyergap seisi desa Keting. Sebagian besar penduduk di desa kami lebih cepat memeluk guling ketimbang wara-wiri di bawah lampu jalan. Nuansa silaturahmi antar keluarga besar juga sudah mulai berkurang selepas Idulfitri kemarin.
Tak cukup hiburan di desa kecil pinggiran Bengawan Solo ini. Televisi sekali pun tak cukup menghibur bagi orang-orang tua yang hanya paham berbahasa Jawa. Film lokal “ulangan” yang menampilkan Mak Lampir hanya ditonton seadanya dengan gerakan-gerakan silat terbangnya.
Dibanding menonton tivi, saya memilih untuk berkutat dengan isi notebook. Mengutak-atik foto yang baru saja dikumpulkan dari kunjungan kerabat, sehari lalu.
“Lagunya The Muppet dulu hampir semua orang punya. Masih jaman-jaman kaset tape recorder. Dulu kan di rumah ada tape yang besar itu,” kenang bapak, saat masih berdomisili di Enrekang.
(Sumber: smoothradio.com) |
Saya ingat, bapak punya banyak koleksi lagu-lagu populer di masanya. Kasetnya ditumpuk di pinggir radio tape. Album lagu The Muppet bergambar boneka-boneka lucu dengan dominasi warna kuning. Gambar album itu yang paling lekatdi kepala saya yang masih kanak-kanak.
Di masa itu, bapak suka memutar lagu untuk menjemput lelapnya. Saya yang masih tidur dikeloni bapak dan mamak ikut menjahitnya dalam ingatan. Paling lekat dalam ingatan adalah simfoni lagu Ebiet G Ade. Tak heran jika sampai hari ini saya masih menghafal beberapa lirik lagunya. Apalagi dengan lagu-lagunya yang selalu sarat makna.
"Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan.
Sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan.
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan,
di tanah kering bebatuan,"
[Berita Kepada Kawan, Ebiet G Ade]
Dalam kepala saya, tersusun jejeran artis beken di masa itu. Ada Nike Ardilla, Deddy Dores, Nicky Astria, Desi Ratnasari, Annie Carera, hingga Broery Marantika. Sementara yang masih bertahan hingga kini lagu-lagunya Ebiet. Padahal, saya sendiri tak menikmati masa muda di tahun 80-90-an itu. Masa muda kami justru lebih bersahabat dengan tembang-tembang populer milik Sheila On 7, Dewa, Jamrud, dan Padi.
“Merriam Belina dulu juga nyanyi, tapi sebenarnya dia artis film. Nyanyi sebentar saja,” tutur bapak, seolah menemukan semangatnya kembali.
Saya mulai tertarik jika bapak sudah bercerita tentang kisah-kisah masa lampaunya. Hal itu lebih bagus ketimbang wejangan-wejangan yang terkadang membuat kepala pusing tujuh keliling. Bercerita, seolah menyalurkan masa-masa kecil saya yang tidak dibumbui dongeng pengantar tidur oleh bapak. Berkisah, seolah menggandeng saya untuk mendalami kehidupan silam bapak.
Sesekali, saya memutar nomor lagu yang masih teringat di memori kanak-kanak. Menunggu reaksi bapak. Apalagi, lagu tertentu terkadang menjadi bagian berharga dalam hidup kita. Satu lagu seolah menggambarkan satu setting cerita hidup yang sempat dilalui berbekal lagu. Ibarat film, lagu itu menjadi backsong momen tertentu.
Seorang kawan juga pernah bertanya pada saya, “Kenapa kau tiba-tiba suka dengar tembang kenangan begitu, Mam? Siapa yang bikin kau suka dengar lagu-lagu begituan?”
Kecurigaannya nampak berlebihan. Sebenarnya, ratusan tembang kenangan sudah lama tersimpan dalam hardisk saya. Berdampingan dengan ratusan lagu-lagu pop lainnya. Berganti notebook anyar, saya hanya perlu memindahkannya.
Beberapa nama penyanyi jadul pun baru saya tahu dari playlist - yang saya lupa copy dari siapa - tersebut. Saya baru tahu jelas siapa penyanyi dari lagu yang dulu sering saya dengar sekilas dari tape bapak. Semisal Tommy J Pisa, Tetty Kadi, Betharia Sonata, Panbers, The Mercy, Koes Ploes, dan termasuk Meriam Belina.
Bagi saya, lagu-lagu lawas itu musik yang mendamaikan. Ada banyak lagu-lagu zaman dulu yang berlirik puitis dan sarat makna. Liriknya tak asal buat. Ia seumpama syair yang dibuat oleh para pujangga. Coba simak beberapa lagu dengan seksama. Teramat berbeda dengan zaman sekarang, yang asalkan dapat kata baru langsung jadi lagu.
Jika butuh menenangkan pikiran, saya tak jarang memutar playlist jadul itu. Tak peduli jika berada di kafe atau warkop langganan. Rasanya adem saja bisa melintasi ruang dan waktu dengan menyetel kenop “lagu kenangan”. Orang-orang yang usianya lebih tua kadang kala merasa tersedot ke masa lalu dan mulai melantunkan sedikit liriknya. Dan saya hanya bisa menyambutnya dengan tersenyum tipis.
"Sengaja aku datang ke kotamu,
Lama nian tidak bertemu
Ingin diriku mengulang kembali,
Berjalan-jalan bagai tahun lalu
Sepanjang jalan kenangan kita selalu bergandeng tangan,
Sepanjang jalan kenangan, kau peluk diriku mesra,
Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu
Menambah nikmatnya malam syahdu,"
[Tetty Kadi, Sepanjang Jalan Kenangan]
--Imam Rahmanto--
- Juni 28, 2017
- 2 Comments