Rasa Bersalah

Juni 25, 2017

Baca Juga

Selamat Idulfitri...

Pertama, mari memaafkan diri sendiri. Berhentilah menanam dendam dan menyemai kebencian. Kehidupan harus terus berjalan dengan lebih banyak ketenangan.

Bermaaf-maafan yang sebenarnya, bagi saya, tak berasal dari ucapan dan jabat tangan orang lain. Jabat tangan itu dimulai dari melapangkan hati. Meluweskan pikiran. Berdamai dengan masa lalu.

Memaafkan adalah hal utama. Bukan sekadar memaafkan orang lain. Yang terpenting, justru kemampuan untuk memaafkan diri sendiri. Sejauh mana kita bisa menerima kesalahan tanpa perlu melupakan detail terburuknya. Melangkahkan kaki tanpa dibayangi rasa bersalah atau takut gagal untuk kedua kalinya. Menuntaskan ketakutan, yang barangkali, membayangi diri seumur hidup.

Setelah itu, baru menyiapkan mental untuk memaafkan orang lain.

Saya sudah terbiasa menyaksikan beberapa teman yang terkungkung akan rasa bersalahnya. Mereka harus berperang batin untuk bisa terus melanjutkan hidup. Tak jarang, pikiran kalut hanya ingin diselesaikannya sendiri tanpa campur tangan teman-teman lain. Di saat ada yang hendak mengulurkan tangan, ia justru menampiknya. Menganggap seluruh masalah adalah miliknya seorang.

Barangkali kita bisa mencontoh masyarakat desa yang selalu menawarkan hidup bahagia jauh dari segala modernitas perkotaan. Bertetangga dengan saling mengirimkan makanan dan senyum saja sudah cukup melegakan. Itu bahkan bisa menghapus beban untuk beberapa hari kke depan.

Mudik tahunan. (Modification from: twitter)

Momen kontemplasi lebaran kali ini saya nikmati di sebuah desa pinggiran sungai Bengawan Solo. Kampung halaman bapak dan mamak. Saya pulang utuh pada pelukan keduanya. Sembari menghirup udara pedesaan yang telah lama dirindukan. Sedikitnya, saya juga sudah mulai lupa beberapa lekuk pedesaan ini meski belum genap empat bulan saya pernah berkunjung sebelumnya.

Pekerjaan rutin berkompromi cukup baik untuk lebaran kali ini. Saya tak perlu mangkir diam-diam dari tugas keseharian di daerah. Ada jeda selama tiga hari bagi media cetak tempat saya bekerja. Surat kabar kami tidak terbit demi menghormati momen cuti bersama itu. Barangkali, para petinggi atau direksi kantor juga cukup memahami ada banyak karyawannya yang sudah lama tak merasai berkumpul bersama keluarga besar di momen sakral semacam itu.

Meski begitu, tetap saja ada tugas-tugas tambahan bagi para pewarta yang berdomisili di kota. Momen hari raya juga tak kenal libur bagi para pejabat di pusat pemerintahan.

“Jadi, kamu libur berapa hari?” pertanyaan dari sanak saudara yang selalu mendarat lebih cepat ketimbang pertanyaan retoris, “kapan nikah?”

Saya hanya menjawab seadanya. Sejujurnya, saya masih belum bisa memastikan bakal berapa lama bersosialisasi bersama kerabat keluarga. Apalagi mereka yang mengenal saya hanya dari cerita-cerita mulut bapak dan mamak. Bagi mereka, saya seperti orang asing yang sudah lupa caranya berbahasa Jawa dengan baik dan benar.

Yah, setidaknya saya punya waktu untuk berkumpul bersama bapak dan mamak. Berbagi cerita tentang kempung halaman yang sudah ditinggalkannya nyaris delapan bulan. Orang-orang  yang merindukannya. Tetangga-tetangga yang tak lepas bertanya kabar penyakit bapak. Suasana perkampungan yang sudah banyak berubah. Nama-nama yang lekat di kepala bapak dan masih terus berkomunikasi via sambungan telepon.

Betul kata meme yang saya jumpai berseliweran di dunia maya di masa-masa mudik kemarin.

“Sak adoh-adohe lungo, tetep eling wong tuo. Wong tuo ora butuh bondo tapi butuh anak’e teko,” [anonim]

Artinya, sejauh-jauhnya merantau, tetap harus ingat orang tua. Orang tua tidak butuh hartamu, tetapi butuh anaknya pulang. Hampir saja dengungan kata-kata ini mengundang air mata saya mbrebes mili.

Bagaimana mahalnya harga perjalanan harus saya enyahkan dari perhitungan. Tak ada logika yang sepadan jika sudah berhadapan dengan kasih saying orang tua. Tuntutan untuk kebutuhan lain tentu bisa menyusul kemudian. Toh, rezeki juga datangnya dari doa kedua orang tua. Sebaris senyum di wajahnya saat melihat anak kesayangan pulang ke rumah sudah menjadi pembuka doa-doa yang lebih mustajab.

Pulang juga tak melulu soal kembali ke tanah leluhur tempat kita dilahirkan. Orang tua juga punya hak untuk disambangi anak-anaknya yang jauh dari rumah. Pulang, bagi orang tua, adalah hak terhadap anak-anaknya. Mereka berhak mendapatkannya.

Saya belajar menerbitkan kembali berbagai macam keajaiban semacam itu. Sebagaimana belajar menghapus rasa bersalah yang pernah bersemayam dalam hati saya, beberapa tahun silam. Saya tak boleh menuntut orang lain untuk meminta maaf jika belum bisa memaafkan diri sendiri.

Tanpa perlu meminta maaf pada kedua orang tua pun, saya sudah selalu dimaafkan. Tak ada orang tua yang benar-benar membenci anaknya, bukan? Sebenar-benarnya kasih sayang adalah dari orang tua kepada anaknya. Seperti kata lagu masa kecil saya, “…Hanya memberi, tak harap kembali…”

“Aku njaluk sepura yo, dimulai ko awakku…”
Jarang-jarang loh bapak dan mamak mau foto kekinian seperti ini. (Foto: self timer)

--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

1 comments