Kekeliruan Kecil Semesta

Juni 16, 2017

Baca Juga

Mamak yang paling bergaya, bukan karena gaul. Cuma ndak tahu saja mau gaya seperti apa di atas panggung. (dok. pribadi)

Bapak pernah berujar, kelahiran saya di dunia ini menjadi fondasi pertama dirinya dan mamak untuk tetap berada di Tanah Duri. Tak ada lagi berpindah-pindah tempat dalam perjalanan kehidupan mereka. Padahal, kepergian bapak dan mamak dari kampung halamannya telah melalui lintas dimensi dan suku di tanah Sulawesi. 

Benar kata orang, kelahiran anak pertama bisa mengubah kehidupan kedua orang tuanya.

Saya membayangkan, raut wajah bapak yang sumringah saat menggendong anak pertamanya. Haru bercampur bahagia tumpang tindih memenuhi rongga dadanya. Ia ingin menangis. Matanya berkaca-kaca menyambut lengkingan tangis anak lelakinya.

Tanpa pikir panjang, bapak menamai anaknya dengan lafal paling indah. Di balik guratan abjadnya tentu menyimpan harapan terbesar dari lubuk sanubarinya.  

Kata bapak, nama saya sekarang sebenarnya bukan nama pemberiannya dahulu. Ia selalu saja mengutuk keteledoran para aparat desa yang tak paham membedakan pelafalan huruf dalam bahasa Jawa. Ujung-ujungnya, saya harus menyandang nama yang "salah" itu hingga kini.

"Seharusnya namamu Imam Rohmanto, bukan pakai Rahmanto," tekannya sembari bersungut-sungut. Beruntung ia tak menyematkan namanya sendiri di belakang nama anaknya.

Orang Jawa memang puya kebiasaan melafalkan huruf vokal "a" dengan bunyi "o". Itu sudah menjadi ciri khasnya dari sudut pandang masyarakat Sulawesi. Tak heran jika kesalahan itu benar-benar tak disengaja oleh aparatur desa hingga tingkat bangku sekolahan saya. 

Saya yang meneruskan kisah kesalahan nama itu terkadang hanya disambut tawa oleh teman-teman di Sekolah Dasar. Meski beda satu huruf, tak jarang jadi olok-olokan ala bocah ingusan.

"Imam roh halus. Roh halus," ledek teman-teman yang jahil. Saya hanya menyambutnya dengan cengar-cengir. 

Mana bisa saya menghajar mereka hanya karena beda satu huruf?? Lagipula, guru agama di SD pernah mengingatkan kami dengan nama-nama penuh makna.

"Rahmanto atau Rohmanto, tulisannya sama saja kok dalam bahasa Arab. Artinya, pemimpin yang dirahmati," terang guru agama itu. Mata saya dibuat berbinar-binar oleh penjelasannya. Seolah-olah membayangkan, saya sedang berada di medan perang memimpin pasukan di garis terdepan. Kebanyakan baca kisah-kisah Nabi nih...

Tanggal kelahiran saya pun ternyata ikut-ikutan menanggung kekeliruan. Ibu pernah berkata, "Tanggal lahirmu 10 Februari, kok," sambil menggaruk-garuk kepala, seolah lupa akan sesuatu. 

Beberapa tahun selama menjalani bangku sekolah, saya memakai tanggal itu untuk memaknai sifat dari ramalan zodiak di majalah-majalah anak muda. Di rapor pun tertulis tanggal yang sakral itu. Saya selalu mengakui diri sebagai makhluk Aquarius di hadapan teman-teman pecinta ramalan 

Anggapan itu baru runtuh ketika mamak menunjukkan akta dan Kartu Keluarga (KK) yang isinya justru tersemat tanggal 15 Juni. Biasa, anaknya butuh dokumen keluarga untuk mengurus kartu tanda kependudukan. Sekaligus pertanda dirinya sudah nyaris menuju kehidupan dewasa.

"Bukannya saya lahir di Februari ya? Ini kok beda?" gumam saya dalam hati.  

Pertanyaan itu saya simpan bertahun-tahun lamanya. Mamak bukan tipe perempuan cerdas yang mampu menjelaskan segala hal pada anaknya dengan gamblang. Ia juga lebih mudah lupa untuk sesuatu yang spesifik semacam itu. Akan tetapi, meski mamak hanya lulusan SD, ia merupakan perempuan paling-paling-paling setia yang pernah saya jumpai.


Zaman dulu mana ada facebook yang saban hari selalu setia mengingatkan kita tentang segala hal. Tanggal lahir. Kegiatan teman terdekat. Film-film baru. Tren baru. Imbasnya, kita jadi malas mengingat hal-hal penting di dunia nyata. Facebook sudah menyimpan semuanya, bagi orang-orang yang disebut netijen.

Mulanya, gegara bapak terlambat mendaftarkan akta kelahiran anaknya, saya mesti menyandang tanggal lahir di pertengahan bulan ini. Katanya, biar tak dikenai denda karena terlambat sampai empat bulan mengurus dokumen lahir anak pertamanya. 

Hidup kok serasa banyak kekeliruannya ya?

Hingga kini, saya masih menyandang semuanya. Saya cukup menempatkannya untuk urusan dokumen atau secara personal. Ribet kalau ingin mengutak-atik sesuatu yang sudah berasal dari masa lalu itu. 

Meski begitu, di balik berbagai kekeliruan itu, saya yakin, bapak dan mamak tak pernah merasa bersalah melahirkan saya. Tak peduli saya yang pernah membangkang pada keduanya. Lari dari kehidupan keduanya. Mengecewakan harapan-harapan lahir batin mereka. Hingga mengundang air mata membanjiri pipi atas kebodohan di masa lalu. Saya jadi rindu pada mereka.

“It matters not what someone is born, but what they grow to be.” [J.K Rowling]

Sungguh, kekeliruan-kekeliruan itu hanya menjadi bahan tertawaan saya dalam hidup. Barangkali, saya bisa menceritakannya pada orang lain kelak. Saya bisa membuat orang lain merasa bersalah, ketika sudah membawakan kue, lilin, atau mengerjai saya sekalipun sambil mengucapkan selamat ulang tahun. "Maaf, sebenarnya saya terlahir dari rasi bintang Aquarius, bukan Gemini." 

Namanya juga anak-anak. (album keluarga)

Terlepas dari itu, terima kasih untuk siapa saja yang sudah mengirimkan doanya, sehari yang lalu...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments