Sungguh malang rasanya puasa pertama tanpa keluarga. Apalagi tanpa istri dan anak-anak. *Eh, eh...saya memang belum menikah.
Sebenarnya, saya merindukan bisa menyantap sahur dan berbuka bersama keluarga. Entah bagaimana, mengawali Ramadan bersama keluarga itu rasanya tak terlupakan. Apa pun sajiannya, bagi saya, tak pernah jadi tolok ukur.
Asalkan bisa melihat mamak yang ngomel-ngomel membangunkan anaknya di waktu sahur, melihatnya yang sibuk di dapur sembari merasai aroma hidangan yang masih panas, menunggui di depan tivi bersama bapak dan adik, sesekali bertengkar dan mengganggui adik, hingga harus mengalihkan pembicaraan bapak kalau sudah nyerempet yang berat-berat,
Tahun lalu, saya memulai puasa pertama bersama bapak dan mamak. Meski kami membuka awal Ramadan itu dengan kondisi bapak yang terbaring di rumah sakit, saya diam-diam tetap menikmatinya. Bukan soal makanannya yang hanya berbekal seduhan mie instan. Saya justru sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga. Kehidupan dewasa terlalu banyak menjauhkan saya dari keluarga.
Kini, giliran saya yang harus memendam rindu untuk keluarga. Saya menjalani puasa di tanah kelahiran sendiri. Akan tetapi, rasa-rasanya tetap seperti anak rantau. Suasananya tetap saja berbeda dibanding masa remaja dulu. Ditambah, tuntutan pekerjaan masih menggantung di sekeliling kepala.
Di sisi lain, saya bersyukur untuk keduanya. Mereka kini bisa menikmati rindu dari dekat. Tahun-tahun sebelumnya telah dihabiskan keduanya dengan menitip salam kepada simbah dan keluarga lain lewat sambungan telepon. Mereka tak perlu lagi menyisakan uang sekadar mudik lintas pulau. Rindu keduanya terbayar lunas dengan menjalani puasa di kampung halaman.
"Tidak pulang kampungki?" tanya seorang paman di warkop langganan, yang mengenal saya berasal dari Tanah Duri.
Saya hanya menjawabnya dengan meringis. Menekankan kata tidak dengan sedikit bumbu penjelasan seperti yang sudah-sudah.
Saya mau pulang kemana? Sementara perasaan pulang sejati adalah ketika bisa berkumpul di pelukan keluarga.
Sementara itu, banyak harapan yang membuncah dengan kesempatan Ramadan kali ini. Karena, sejujurnya, puasa tahun lalu tak begitu sempurna bagi saya. Puasa sih tetap sebulan penuh. Pantang bagi lelaki untuk berpuasa setengah hati dan setengah hari. Sayangnya, ibadah-ibadah yang menyertainya itu loh tak bisa dipertanggungjawabkan. Hitungan shalat tarawih saya bahkan bisa dihitung jari. Saya lupa berapa kali tarawih tahun lalu. Seingat saya, barangkali tak cukup mencapai angka sepuluh.
Nah, di daerah yang jauh dari hiruk-pikuk modernitas, saya pikir bakal sanggup melunasinya. Dua malam pertama, saya sukses mengisi tarawih di dua masjid berbeda. *Ceilehh...sombong dikit. Haha... doakan dong supaya bisa bertahan sampai akhir Ramadan. *Amin
Tadarusan juga masih seadanya. Saya seakan merasa bersalah dengan masa lalu. Di masa remaja, saya bahkan bisa menamatkan sampai tiga kali dalam sebulan Ramadan. Waktu menunggui pagi lebih banyak saya habiskan dengan mengeja kitab suci. Sungguh jauh berbeda dengan sekarang, yang hanya bisa dihabiskan dengan tidur selepas sahur. Parahnya, bisa bangun jelang tengah hari. *Ya Tuhan, ampuni saya. Apa pekerjaan terlalu menjajah sejauh ini ya?
Saya benar-benar berharap bisa memperbaiki segalanya bulan ini. Kalau tak bisa total, perlahan saja tak mengapa. Niat dari dasar hati pun sudah bernilai pahala kok. Innamal a'malu binniyat. Intinya, lebih baik ketimbang tahun lalu.
Sebenarnya, saya merindukan bisa menyantap sahur dan berbuka bersama keluarga. Entah bagaimana, mengawali Ramadan bersama keluarga itu rasanya tak terlupakan. Apa pun sajiannya, bagi saya, tak pernah jadi tolok ukur.
Asalkan bisa melihat mamak yang ngomel-ngomel membangunkan anaknya di waktu sahur, melihatnya yang sibuk di dapur sembari merasai aroma hidangan yang masih panas, menunggui di depan tivi bersama bapak dan adik, sesekali bertengkar dan mengganggui adik, hingga harus mengalihkan pembicaraan bapak kalau sudah nyerempet yang berat-berat,
Tahun lalu, saya memulai puasa pertama bersama bapak dan mamak. Meski kami membuka awal Ramadan itu dengan kondisi bapak yang terbaring di rumah sakit, saya diam-diam tetap menikmatinya. Bukan soal makanannya yang hanya berbekal seduhan mie instan. Saya justru sangat bersyukur bisa diberikan kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga. Kehidupan dewasa terlalu banyak menjauhkan saya dari keluarga.
Kini, giliran saya yang harus memendam rindu untuk keluarga. Saya menjalani puasa di tanah kelahiran sendiri. Akan tetapi, rasa-rasanya tetap seperti anak rantau. Suasananya tetap saja berbeda dibanding masa remaja dulu. Ditambah, tuntutan pekerjaan masih menggantung di sekeliling kepala.
Di sisi lain, saya bersyukur untuk keduanya. Mereka kini bisa menikmati rindu dari dekat. Tahun-tahun sebelumnya telah dihabiskan keduanya dengan menitip salam kepada simbah dan keluarga lain lewat sambungan telepon. Mereka tak perlu lagi menyisakan uang sekadar mudik lintas pulau. Rindu keduanya terbayar lunas dengan menjalani puasa di kampung halaman.
"Tidak pulang kampungki?" tanya seorang paman di warkop langganan, yang mengenal saya berasal dari Tanah Duri.
Saya hanya menjawabnya dengan meringis. Menekankan kata tidak dengan sedikit bumbu penjelasan seperti yang sudah-sudah.
Saya mau pulang kemana? Sementara perasaan pulang sejati adalah ketika bisa berkumpul di pelukan keluarga.
Sementara itu, banyak harapan yang membuncah dengan kesempatan Ramadan kali ini. Karena, sejujurnya, puasa tahun lalu tak begitu sempurna bagi saya. Puasa sih tetap sebulan penuh. Pantang bagi lelaki untuk berpuasa setengah hati dan setengah hari. Sayangnya, ibadah-ibadah yang menyertainya itu loh tak bisa dipertanggungjawabkan. Hitungan shalat tarawih saya bahkan bisa dihitung jari. Saya lupa berapa kali tarawih tahun lalu. Seingat saya, barangkali tak cukup mencapai angka sepuluh.
Nah, di daerah yang jauh dari hiruk-pikuk modernitas, saya pikir bakal sanggup melunasinya. Dua malam pertama, saya sukses mengisi tarawih di dua masjid berbeda. *Ceilehh...sombong dikit. Haha... doakan dong supaya bisa bertahan sampai akhir Ramadan. *Amin
Tadarusan juga masih seadanya. Saya seakan merasa bersalah dengan masa lalu. Di masa remaja, saya bahkan bisa menamatkan sampai tiga kali dalam sebulan Ramadan. Waktu menunggui pagi lebih banyak saya habiskan dengan mengeja kitab suci. Sungguh jauh berbeda dengan sekarang, yang hanya bisa dihabiskan dengan tidur selepas sahur. Parahnya, bisa bangun jelang tengah hari. *Ya Tuhan, ampuni saya. Apa pekerjaan terlalu menjajah sejauh ini ya?
Saya benar-benar berharap bisa memperbaiki segalanya bulan ini. Kalau tak bisa total, perlahan saja tak mengapa. Niat dari dasar hati pun sudah bernilai pahala kok. Innamal a'malu binniyat. Intinya, lebih baik ketimbang tahun lalu.
(Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
- Mei 27, 2017
- 0 Comments