Berbeda

Mei 09, 2017

Baca Juga


Saya pernah hidup di lingkungan orang yang benar-benar menjunjung tinggi nilai keagamaan. Saat kuliah dulu, saya aktif di salah satu organisasi internal jurusan. Yah, sebenarnya bukan organisasi seperti umumnya, karena strukturnya menjadi bagian dari jurusan itu sendiri. Tugasnya secara khusus memang menjadi "tangan kanan" bagi dosen-dosen mata kuliah tertentu. Tentunya, yang berkaitan dengan komputer.

Hampir setiap minggu, kami bertugas mengajarkan program atau aplikasi komputer pada mata kuliah bersangkutan. Paling banyak terkait pemrograman komputer hingga hitung-hitungan statistik. Sekali-kali menerima tawaran untuk melakukan perbaikan komputer dan jaringan. Istimewanya, menjadi "dosen" dadakan bagi mahasiswa kampus tetangga yang berniat belajar mata kuliah serupa.

Sebagai bawahan dosen, tentu kami patut berbangga. Kami juga memperoleh honorarium dari kerja keras kami di ruang-ruang yang dipenuhi komputer itu. Meski tak seberapa, namun selalu menggiurkan bagi mahasiswa seperti kami yang hanya bisa mengandalkan uang dari kiriman bulanan. 

Selain honorarium, semuanya terjamin. Makan siang. Tempat tidur siang. Tempat bermalam. Tempat belajar. Hubungan akrab ke dosen, yang tentu membuka peluang beasiswa. Kelanjutannya, bisa saja menjadi dosen pengganti. 

Saya cukup menikmati kesibukan sebagai bagian dari "asisten dosen" tersebut. Sayangnya, semakin lama justru membuat saya tak betah. Ada sesuatu yang hilang diantara kehidupan dalam kampus saya itu.

Entahlah. Segala kenyamanan itu justru mengungkung perasaan bebas saya. Dalam lubuk hati, saya justru merasa terpenjara. Sejujurnya, ada hal-hal tertentu yang berusaha disembunyikan dari tawa-tawa kami di dalam sana. Rasa segan dan kesopanan diantara kami seolah menumpuk beban di kepala. Hati saya memberontak.

Yah, mungkn itu hal yang wajar. Kami, yang bergabung dalam lingkungan itu menjunjung tinggi adab dan etika dalam berinteraksi. Demi makan siang pun, kami harus bergantian memakai salah satu ruang pantry dengan anggota wanita. 

Kadaaan berbalik saat saya aktif di organisasi kampus lainnya. Organisasi ini dihuni oleh mahasiswa-mahasiswa dari jurusan berbeda. Bahkan, kami berasal dari fakultas yang berseberangan.

Akan tetapi, saya menemukan sebenar-benarnya "keluarga" dari tempat ini. Saya mendapatkan kebebasan seperti yang diidam-idamkan. Tak ada lagi namanya "membohongi kata hati". 

Tak ada batasan yang harus memaksa saya menyembunyikan jati diri saya. Saya ingin tertawa, ya tertawa saja. Kami ingin mengolok-olok, justru menjadi bahan olok-olokan. Dicaci maki pun jadi hal biasa. Kalau soal air mata, teman-teman kami sudah terbiasa. Pun, di depan teman-teman lain.

Tanpa hal-hal yang menggiurkan, seperti di lingkungan sebelumnya, saya tetap menyukai berada diantara teman-teman yang aktif sebagai tukang ketik berita itu. Saya bebas menjadi apa adanya saya. Tak perlu menyembunyikan bagaimana usilnya tingkah laku saya. Saya menjadi apa yang memang saya inginkan, bukan diinginkan orang lain.

Pernahkah kita melihat meme atau anekdot tentang sebuah persahabatan? Bahwa sahabat sebenarnya justru menertawakan segala tingkah laku kita. Sementara teman, hanya mengomentari sekadarnya sambil mengatasi rasa segannya.

"Semoga cepat sembuh ya," kata teman.

"Cemen. Masa sakit begitu? Pasti kekurangan belaian kasih sayang. Dasar jomblo," kata orang terdekat atau sahabat.

Ketika kita sedang sakit, teman baik hanya mendoakan agar cepat sembuh. Sementara sahabat terbaik justru mengolok-olok dan menjadikannya bahan candaan. Meski begitu, kita akan selalu tahu bahwa dalam lubuk hatinya ia terus saja membisikkan kata-kata "cepatlah sembuh".

(Foto: Imam Rahmanto)
Dalam berbagai lingkungan, saya hanya mencoba jadi apa adanya. Tak perlu menyembunyikan hal-hal yang membuat nurani bergejolak. Ingin menjadi anak-anak, saya tak perlu menyembunyikan kegemaran menonton kartun. Saya juga tetap bebas membeli es tontong yang lewat di depan saya. Pun, saat ingin menjadi idealis, saya tak perlu segan mengangkat berita yang realistis. 

Ini hanya persoalan menjadi apa yang diinginkan nurani. Karena saya selalu percaya, kata hati membisikkan kebenaran sejati. 

Barangkali, membandingkan dua lingkungan itu sama halnya dengan pro-kontra seorang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Tentang pemimpin tegas, yang berbicara blak-blakan dan cenderung agak kasar. Sementara Anies, orang yang lembut dan penyayang. Sungguh baik malah. 

Akan tetapi, dari lubuk hati yang paling dalam, kita paham, siapa yang benar-benar kita butuhkan...


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

4 comments