Bertambahlah Selamat
Mei 05, 2017Baca Juga
Saya tak tahan lagi. Saya cemburu. Benar-benar cemburu.*
Bagaimana tak cemburu? Di linimasa media sosial saya, berseliweran kebahagiaan menyambut hari lahir ke-41 lembaga jurnalistik terhebat kampus kami, LPM Profesi. Sementara saya masih berada sejauh 265 kilometer, di tempat ini. Saya dibuat trenyuh, tersenyum-senyum sendiri, sambil membayangkan ikut berada dalam keceriaan bakar-bakar ikan di redaksi.
Acara makan-makan itu sebenarnya sudah jadi rutinitas kami saban tahun. Tak pernah berubah.
Saya senang melihat kebersamaan mereka yang selalu menerbitkan senyum. Betapa itu mengingatkan masa-masa kami yang pernah setegar batu karang itu. Yah, tegar. Karena senyum-senyum di hadapan kamera sepeti mereka terkadang dibangun dari kerasnya tempaan organisasi. Yah, anggap saja sebagai senyum untuk meredakan rasa sakit. Rasa sakit dicaci hingga dibenci. Saya selalu percaya, cara berorganisasi di LPM Profesi itu sungguh kejam. Teramat kejam. Lebih kejam dari sekadar kata-kata penolakan, "Kamu terlalu baik buat aku."
Acara makan-makan itu sebenarnya sudah jadi rutinitas kami saban tahun. Tak pernah berubah.
Yang kini berubah, ya tentu usia dan perjalanannya. Wajah-wajah yang menopang tiang organisasi itu juga selalu berganti tiap tahunnya. Usia lembaga semakin tua, wajah-wajah pengelolanya yang semakin muda. Atau saya saja yang merasa bertambah lebih tua ya?
Credit foto: mereka |
Meski begitu, saya kagum lantaran mereka - generasi-generasi muda - menolak untuk tumbang. Diantara personel yang menyerah, selalu ada teman-teman yang rela mengulurkan tangan mengajak untuk kembali. Persoalan "CLBK" dengan Profesi memang tak pernah mudah. Pun, kami sudah pernah merasakannya. Berat menarik mereka yang sudah lelah dan memutuskan ingin pergi. Akan tetapi, lebih berat lagi berjalan sendirian tanpa kehadiran mereka bersama-sama hingga penghujung jalan.
"Memilih adalah hal yang sulit. Tetapi, jauh lebih sulit mempertahankan apa yang sudah kita pilih itu,"
Sejujurnya, saya menghargai setiap proses yang "adik-adik" jalani. Seandainya bisa berterima kasih, saya juga ingin berterima kasih kepada anak-anak-jelang-dewasa itu. Toh, karena mereka yang tetap berdiri, menggandeng tangan satu sama lain, tertawa, maka lembaga itu masih bisa terdengar kabarnya hingga beratus-ratus kilometer jauhnya, seperti disini.
Bagi saya, bukan hanya "adik-adik" saja yang mesti berterima kasih kepada "kakak-kakaknya" yang telah bersusah payah memulai dan membangun lembaga itu. Para generasi lampau, seperti kami pun, patut berterima kasih karena jasa mereka yang masih tetap setia membanggakan Profesi jauh melebihi jurusannya sendiri. Mereka masih merawatnya untuk kami. Seburuk-buruknya kepengelolaan berjalan, rodanya toh tentu masih saja berputar. Tak peduli harus tersuruk, tertatih-tatih hingga berdarah-darah.
Salah. Sebenarnya tak ada darah yang dikorbankan dalam lembaga tercinta kami. Hanya air mata, yang kerap membanjiri pipi tanpa permisi.
Beberapa waktu lalu, seorang teman sempat menyesali kehidupannya di kampus dulu. Saya baru mengenalnya sebulan belakangan sebagai sesama alumni kampus UNM.
"Saya baru menyesal tidak ikut organisasi dulu di kampus. Kerjaan saya cuma pergi nongkrong sama teman-teman. Kalau tidak, nonton drama di dalam kamar sepanjang hari," ungkap perempuan manis itu.
Ia lulus hanya dalam jangka empat tahun. Lebih cepat dua tahun dibanding saya. Padahal, ia pun sebenarnya dua tahun lebih muda dibanding saya. Sayangnya, ia terombang-ambing dalam dunia kerja selepas kuliah. Saya pun mengenalnya pertama kali saat ia baru diajukan sebagai honorer di kantor pemerintahan di tempat bertugas saya kini. Itu setelah ia menganggur lebih setahun lamanya.
Ia menyadari bahwa kebutuhan selepas kuliah memang tidak hanya ijazah dan nilai akademik yang cemerlang. Dunia kerja tak butuh sekadar teori yang tercantum dengan hasil angka. Hanya saja, ia juga luput bahwa organisasi tak semudah dan senyaman yang (barangkali) dibayangkannya.
Tahukah kamu? Ada waktu yang mesti dikorbankan, sementara tenaga terkuras setiap waktu. Ada bapak dan ibu yang mesti kehilangan kabar. Lebih banyak teman yang mesti diabaikan. Sebagian kuliah yang mesti diulang-ulang. Ada kata-kata kasar yang mulai dibiasakan. Waktu tidur yang mesti dipukul mundur.. Hingga pacar yang (seharusnya) diputuskan. *ehh
Berat, bukan? Yah, berat, seperti rindu...
Meski begitu, selalu saja ada celah untuk tertawa di setiap bagian kehidupan itu. Sekali waktu, cobalah tengok film Dhanak. Ia berkisah tentang bocah buta, yang tak pernah menyesali gelap di matanya. Ia justru selalu menularkan tawa dari kepolosan dan sifat cerewetnya.
Seberat-beratnya tempaan organisasi, begitu pula cara untuk membuat orang-orangnya semakin dewasa. Tertawakan saja bersama teman-teman terbaik. Mereka yang tersisa adalah yang paling bisa diandalkan. Kalau sulit, coba tarik segaris lengkung sederhana dari sudut bibirmu.
Seperti usianya yang semakin matang, sudah seharusnya LPM Profesi semakin dewasa. Kami doakan, mereka yang pernah berlayar bersamanya bisa mengerti cara mengendalikan roda kemudi untuk kehidupannya kelak. Karena dari Profesi-lah kami bermula. Tanpa Profesi, hidup kami takkan pernah lengkap...
Salam rindu, yang terberat.
Salam rindu, yang terberat.
Credit foto: me. |
--Imam Rahmanto--
-----
*PS: Hati saya ikut terlecut untuk menuliskan hal-hal seperti ini.
*PS: Hati saya ikut terlecut untuk menuliskan hal-hal seperti ini.
0 comments