Mengalir
Mei 26, 2017Baca Juga
"Hei, lagi dimana?" tanya sebuah suara dari seberang telepon.
Belum tengah hari, salah seorang kawan menyambungkan telepon. Seperti biasa, saya hanya bisa menebak-nebak urusannya, yang tentu berkaitan liputan. Saya mengenalnya sebagai salah satu pegiat literasi dan wisata. Nasib para jurnalis.
"Yah, lagi di Enrekang, seperti biasa," jawaban yang agak ngeles dari keadaan sebenarnya bahwa saya baru dibangunkan oleh dering telepon barusan.
"Ada ajakan Pak Kadis ke Maroangin. Ayo kesana survei sungai buat wisata," jelasnya lagi.
"Tenang, kita naik mobil saja sama-sama," tambahnya lagi menebak-nebak kebiasaan saya yang lebih suka berkendara motor. Tetapi untuk urusan arah daerah selatan, saya lebih condong menumpang roda empat.
Masyarakat menamainya sebagai Laburang Gallang. Mitosnya, pernah suatu ketika orang tenggelam di sungai tersebut dan hanya menyisakan gelangnya. Oleh karena itu, dinamai menjadi embel-embel Gallang, yang dalam bahasa daerah setempat artinya gelang.
Sebenarnya, dibandingkan destinasi lain, tak ada yang begitu istimewa disana. Hanya saja, bagi saya, menyusur sungai semacam itu seolah melempar saya di masa ingusan dulu.
"Bagaimana? Apa kita susuri dulu sungainya dari sini jalan kaki? Atau naik mobil saja ke hulu, baru pulangnya nanti jalan kaki?" tawaran untuk menyaksikan kondisi sungai perawan itu.
Sungainya yang unik semakin membuat kami sumringah untuk berjalan-jalan. Bebatuannya seolah dicor atau aspal sehingga tak terpisah satu sama lain. Beberapa diantaranya bahkan membentuk pola tertentu. Kami sampai dibuat bertanya-tanya, "Ini zaman dahulu ratusan tahun sudah dipakaikan aspal, tetapi proyeknya mandek, kayaknya."
Saya bukan orang yang mahir berenang. Untuk terapung sekalipun, saya tak menguasainya. Akan tetapi, sungai seolah menjadi salah satu bagian masa kecil saya. Sebagian permainan masa kecil tak jarang kami lakukan di sungai.
Zaman sekolah dulu, teman-teman lebih karib berenang di sungai. Ada sungai yang tak jauh dari tempat kami bersekolah. Mereka tentu tak lupa mengajak saya di jam-jam belajar. Sayangnya, dasar anak kalem dan penurut, saya hanya bisa menolak. Kata saya, "Nanti dimarahi bapak guru."
Kata-kata itu terbukti ketika seluruh teman kelas saya, yang laki-laki, dihukum berdiri di depan kelas. Cuma saya dan seorang teman yang bebas hukuman dari guru agama itu. Tapi, tahukah, saya baru menyesal hari ini. Kenapa saya juga tidak ikut menikmati masa-masa bandel itu?
Sungai pula yang menghubungkan bapak dengan hobinya di masa lalu. Ia dan kawannya kerap menikmati berburu belut atau ikan di sungai. Peralatan memancingnya (listrik) cukup sederhana, hanya dengan aki dan sambungan-sambungan kawat dan kabel. Sebagai lulusan sekolah kejuruan, ia sudah paham betul bagaimana rangkaian listrik bekerja. Saya mewarisi sedikit ilmunya saat menginjak usia SMP. Sekarang sudah lupa.
Tak heran jika saya cukup menikmati menyusuri aliran sungai Laburang Gallang tersebut. Kaki saya seolah melompat-lompat sendiri diantara bebatuan. Sialnya, saya hanya bisa berharap dan merutuk seandainya memakai sendal sebelum beranjak ke Maroangin. Sepatu terpaksa ditenteng kemanapun saya melangkah.
Yah, paling tidak saya mendapatkan sedikit hiburan di tengah-tengah padatnya liputan. Saya sengaja memadatkan liputan bulam ini demi menggenapi target. Imbasnya, banyak hal yang terlewat belakangan ini. Khususnya untuk dikisahkan.
"Kami pun justru ingin kembali jadi reporter, supaya bisa jalan-jalan. Daripada harus keluar-masuk kantor tiap hari," pesan seorang redaktur.
Saya bahkan belum menuntaskan misi mendaki puncak The 7 Summits of Indonesia. Salah seorang teman masih mencicil jadwalnya agar bisa mendampingi dalam perjalanan yang hendak dipawanginya itu. Sementara teman lainnya masih harus berurusan dengan berbagai macam kesibukan sebagai pemilik usah percetakan sekaligus pegiat wisata.
Ditambah, cuaca juga selalu tak bisa ditebak arahnya. Akhir-akhir ini, kota kami mulai jadi langganan hujan. Beberapa jam yang lalu saya tak bisa angkat kaki dari warung kopi langganan karena hujan tetiba mengguyur. Tetapi, saya cukup menikmatinya.
Seminggu belakangan, saya tidak beranjak kemana-mana. Pun, saya tak bisa menghadiri acara peringatan ulang tahun LPM Profesi di Makassar. Salah satu dari sekian alasan, saya didapuk membawakan materi dalam Kemah Pustaka di kota ini. Keesokan harinya, kami (para jurnalis) harus menghadiri pelantikan besar-besaran salah satu ketua partai politik (parpol) di daerah ini.
Oh ya, Selamat menjalankan ibadah puasa...
Belum tengah hari, salah seorang kawan menyambungkan telepon. Seperti biasa, saya hanya bisa menebak-nebak urusannya, yang tentu berkaitan liputan. Saya mengenalnya sebagai salah satu pegiat literasi dan wisata. Nasib para jurnalis.
"Yah, lagi di Enrekang, seperti biasa," jawaban yang agak ngeles dari keadaan sebenarnya bahwa saya baru dibangunkan oleh dering telepon barusan.
"Ada ajakan Pak Kadis ke Maroangin. Ayo kesana survei sungai buat wisata," jelasnya lagi.
"Tenang, kita naik mobil saja sama-sama," tambahnya lagi menebak-nebak kebiasaan saya yang lebih suka berkendara motor. Tetapi untuk urusan arah daerah selatan, saya lebih condong menumpang roda empat.
***
Melihat hijau diantara belantara dan bebatuan sebenarnya sudah bisa membuat mata saya melotot senang. Apalagi dengan rencana kawan saya menjajal area water tubing di sebuah sungai Maroangin. Sayangnya, ia tidak menjelaskan secara terperinci rencananya untuk berbasah-basah a.k.a mandi diantara aliran kalem sungai itu. Jadinya, saya hanya bisa menampung keinginan untuk terjun diantara ban-ban dan pelampung.Masyarakat menamainya sebagai Laburang Gallang. Mitosnya, pernah suatu ketika orang tenggelam di sungai tersebut dan hanya menyisakan gelangnya. Oleh karena itu, dinamai menjadi embel-embel Gallang, yang dalam bahasa daerah setempat artinya gelang.
Sebenarnya, dibandingkan destinasi lain, tak ada yang begitu istimewa disana. Hanya saja, bagi saya, menyusur sungai semacam itu seolah melempar saya di masa ingusan dulu.
"Bagaimana? Apa kita susuri dulu sungainya dari sini jalan kaki? Atau naik mobil saja ke hulu, baru pulangnya nanti jalan kaki?" tawaran untuk menyaksikan kondisi sungai perawan itu.
Sungainya yang unik semakin membuat kami sumringah untuk berjalan-jalan. Bebatuannya seolah dicor atau aspal sehingga tak terpisah satu sama lain. Beberapa diantaranya bahkan membentuk pola tertentu. Kami sampai dibuat bertanya-tanya, "Ini zaman dahulu ratusan tahun sudah dipakaikan aspal, tetapi proyeknya mandek, kayaknya."
Keesokan harinya, teman sesama jurnalis ini harus memijat-mijat kakinya. (Imam Rahmanto) |
Saya bukan orang yang mahir berenang. Untuk terapung sekalipun, saya tak menguasainya. Akan tetapi, sungai seolah menjadi salah satu bagian masa kecil saya. Sebagian permainan masa kecil tak jarang kami lakukan di sungai.
Zaman sekolah dulu, teman-teman lebih karib berenang di sungai. Ada sungai yang tak jauh dari tempat kami bersekolah. Mereka tentu tak lupa mengajak saya di jam-jam belajar. Sayangnya, dasar anak kalem dan penurut, saya hanya bisa menolak. Kata saya, "Nanti dimarahi bapak guru."
Kata-kata itu terbukti ketika seluruh teman kelas saya, yang laki-laki, dihukum berdiri di depan kelas. Cuma saya dan seorang teman yang bebas hukuman dari guru agama itu. Tapi, tahukah, saya baru menyesal hari ini. Kenapa saya juga tidak ikut menikmati masa-masa bandel itu?
Sungai pula yang menghubungkan bapak dengan hobinya di masa lalu. Ia dan kawannya kerap menikmati berburu belut atau ikan di sungai. Peralatan memancingnya (listrik) cukup sederhana, hanya dengan aki dan sambungan-sambungan kawat dan kabel. Sebagai lulusan sekolah kejuruan, ia sudah paham betul bagaimana rangkaian listrik bekerja. Saya mewarisi sedikit ilmunya saat menginjak usia SMP. Sekarang sudah lupa.
Tak heran jika saya cukup menikmati menyusuri aliran sungai Laburang Gallang tersebut. Kaki saya seolah melompat-lompat sendiri diantara bebatuan. Sialnya, saya hanya bisa berharap dan merutuk seandainya memakai sendal sebelum beranjak ke Maroangin. Sepatu terpaksa ditenteng kemanapun saya melangkah.
Yah?? (Azis Albar) |
Yah, paling tidak saya mendapatkan sedikit hiburan di tengah-tengah padatnya liputan. Saya sengaja memadatkan liputan bulam ini demi menggenapi target. Imbasnya, banyak hal yang terlewat belakangan ini. Khususnya untuk dikisahkan.
"Kami pun justru ingin kembali jadi reporter, supaya bisa jalan-jalan. Daripada harus keluar-masuk kantor tiap hari," pesan seorang redaktur.
***
Saya bahkan belum menuntaskan misi mendaki puncak The 7 Summits of Indonesia. Salah seorang teman masih mencicil jadwalnya agar bisa mendampingi dalam perjalanan yang hendak dipawanginya itu. Sementara teman lainnya masih harus berurusan dengan berbagai macam kesibukan sebagai pemilik usah percetakan sekaligus pegiat wisata.
Ditambah, cuaca juga selalu tak bisa ditebak arahnya. Akhir-akhir ini, kota kami mulai jadi langganan hujan. Beberapa jam yang lalu saya tak bisa angkat kaki dari warung kopi langganan karena hujan tetiba mengguyur. Tetapi, saya cukup menikmatinya.
Seminggu belakangan, saya tidak beranjak kemana-mana. Pun, saya tak bisa menghadiri acara peringatan ulang tahun LPM Profesi di Makassar. Salah satu dari sekian alasan, saya didapuk membawakan materi dalam Kemah Pustaka di kota ini. Keesokan harinya, kami (para jurnalis) harus menghadiri pelantikan besar-besaran salah satu ketua partai politik (parpol) di daerah ini.
Kapan-kapan, mau cari sungai yang airnya dingin. (Azis Albar) |
Oh ya, Selamat menjalankan ibadah puasa...
--Imam Rahmanto--
0 comments