"Itu kan masih hujan. Memangnya kamu punya mantel?" tanya mamak, yang diikuti isyarat serupa dari bapak.
Gerimis mengguyur sejak pagi. Kata mamak, itu sudah hampir jadi rutinitas di kampung sepanjang pegunungan kala musim hujan. Ditopang ketinggian mencapai 1500 mdpl di atas laut, udara menyublim, menyatu dengan rinai hujan. Jatuh kepagian di Kelurahan Kambiolangi, Enrekang.
"Punya, Mak!" teriak saya dari dalam kamar. Agak pelan dan singkat, karena sebenarnya saya sedang berbohong. Sedikit mengepak pakaian.
Saya tahu, mamak akan cemas jika saya mengatakan tak punya mantel. Apalagi perjalanan saya akan mencapai tujuh jam lamanya. Tergopoh-gopoh ia tentu akan mencarikan mantel buat saya. Lebih ngerinya, bapak pasti akan mengeluarkan sejumlah "ceramah" singkat tentang "Manfaat Memiliki Mantel di Kala Mengendarai Motor." Ditambah, jika mendengar alasan saya yang tak masuk akal: ingin menikmati sensasi dingin kampung halaman. Seperti rindu yang harus dibayar lunas.
Kata-kata singkat itu agak ampuh bagi bapak dan mamak. Hampir tiga jam, hujan juga mulai menipis. Nampaknya, tersisa rinai yang serupa kabut halus. Lagipula, saya memprediksi, hujan hanya berputar pada kabupaten penghasil sayur-mayur dan kopi ini.
(ImamR) |
Di setengah perjalanan berkelak-kelok ke kota Enrekang, selalu dijumpai barisan pegunungan yang dipimpin eksotisme Gunung Nona. Pemandangan itu selalu memikat para pelancong yang hendak menuju Tana Toraja (Tator). Wajar jikalau ada banyak warung makan (kami akrab melabelinya "resting") yang berjejer di tepian lembah Buntu Kabobong.
Sayangnya, objek wisata alam itu masih belum dimaksimalkan pemerintah setempat. Kini, mereka hanya berusaha menggeber proyek Kebun Raya Massenrempulu yang digadang-gadang menyerupai Bogor. Sementara lokasinya pun agak jauh dari pusat kota.
Namun, para pemilik resting juga seharusnya kreatif memanfaatkan persinggahan Gunung Nona itu. Tak sekadar membangun warung makan ala kadarnya. Menu seadanya. Kalau perlu, dibuat kafe yang bisa memanjakan pengunjung lah. Seandainya saya banyak uang, kelak, saya ingin membuat kafe modern yang cukup vintage di kaki bukit itu. Diselingi musik slow dan jazz, ala para wisatawan yang kebanyakan adalah orang kota modern.
Yah, tapi itu hanya imajinasi temporal. Dalam perjalanan ke Makassar, saya tak mampir di salah satu resting. Sehari sebelumnya, saya sudah menepi bersama adik perempuan yang baru saja diantarkan membuat KTP di ibukota kabupaten. Menikmati lekat-lekat pemandangan alam "nona pemalu" dari jarak sekian kilometer.
Kabut mewarnai sepanjang perjalanan. Di pinggiran gunung nan indah itu, bergumpal asap-asap putih, nyaris menutup pucuknya. Seperti kata saya, kabut selalu menjadi hadiah pagi di musim hujan pegunungan. Kabut yang mencair, merupa seolah rinai hujan. Semakin menjauh dari area pegunungan Enrekang, berganti terik tanpa ampun.
Paling tidak, saya sudah merasai dingin pegunungan yang akan selalu dirindukan. Seperti kemarin, saya memang hanya butuh kesegaran dari rutinitas yang menikam kepala.
Gambar dijepret dengan mode panorama. (ImamR) |
***
Sadarkah kita, perjalanan justru memberikan kita waktu untuk lebih banyak berpikir dan berbagi cerita?
Ternyata setiap perjalanan memberikan waktu untuk mengobrol. Saya justru punya waktu luang obrolan saat berkendara. Sendirian, saya banyak berpikir dan ber-monolog pada diri sendiri. Berboncengan, saya jadi punya waktu berbincang dengan teman di atas motor. Sepanjang perjalanan, beberapa hal justru menari diobrolkan tanpa tatap muka.
Sebenarnya, itu pun sudah merepresentasikan perjalanan hidup. Selama ini pula kita banyak berpikir dan merencanakan hidup. Kian dewasa, semakin matang mematok tujuan. Mencoretnya. Menambahinya. Mendiskusikannya. Memperbaikinya. Mematok ulang.
Seyogyanya langkah hidup tak perlu berhenti berjalan ke arah tujuan akhir. Lelah boleh, asal tak menyerah. Kalau lelah, kita bisa beristirahat di tempat-tempat yang nyaman hingga tenaga pulih untuk melanjutkan perjalanan. Pun, saya tak jarang berhenti sejenak di SPBU batas kota, meluapkan aroma kopi susu. Ketika rencana telah tersusun dengan matang, perjalanan akan saya lanjutkan kembali.
Mestinya setiap target atau tujuan terpampang jelas di labirin ingatan. Jika tujuan terpampang lebih jelas, kita serupa pengendara motor yang memacu kecepatan hingga titik maksimumnya. Bahkan, tak jarang ingin bersaing dengan pengendara motor cepat lainnya di sepanjang perjalanan. Hingga tak sadar, kecepatan telah berada di atas limit yang selama ini bisa dicapai. Keren lah.
Yah, meski satu-satunya tujuan hidup sejati adalah menghadap kepada Yang Kuasa, bukan?
Akan tetapi, sebagai manusia biasa, seyogyanya kita bisa mematok target hidup setinggi-tingginya. Tujuan yang jelas. Mencari rival hidup agar bisa saling berkejaran. Melampauinya atau tidak, urusan belakangan. Setidaknya bakal membantu kita keluar dari limit kemampuan alam bawah sadar. Seperti Lorenso yang memutuskan hengkang dari Yam**a demi bersaing dengan (mantan) rekan setimnya, Rossi.
***
Terik yang berganti memberikan pemandangan anyar. Padi-padi menguning di kiri-kanan perjalanan lurus Barru-Pangkep. Sekian hektar bersiap dipanen oleh si empunya. Sebagian karung berisi gabah sudah ditumpuk di tepian jalan. Mungkin, itu menjadi penghasilan utama para petani bagi sekolah dan kehidupan anak-cucu mereka... Akh, selalulah bersyukur...
--Imam Rahmanto--
- April 26, 2016
- 2 Comments