Berganti Waktu
April 05, 2016Baca Juga
Matahari tenggelam begitu saja. Pergantian waktu itu tak begitu teratur bagi saya. Seperti tak terdeteksi. Tak secuil momen pun yang bisa dibekukan di kepala. Satu-satunya yang menandai tersisihnya petang hanyalah gema adzan. Tugas di lapangan terlalu sesak memaku wajah agar tak beranjak dari naskah-naskah deadline.
Hah. Nampaknya saya butuh libur. Atau meliburkan diri? Atau berpura-pura sakit? Atau melarikan diri? Napas saya sudah terlalu rawan dihinggapi kepayahan. Agak jengah dengan rutinitas di gelimang panas debu perkotaan.
Terkadang, obrolan di ruang digital jadi pengalih penat. Orang-orang terdekat meningkahi obrolan yang sebenarnya lebih banyak absurdnya. Salah satu alasan mengapa saya begitu absurd dalam obrolan dunia maya karena keseharian nyata sudah terlalu banyak ditingkahi hal-hal serius. Sekali-kali, lupa diri.
"Istirahat lah. Tidak capek seharian liputan?" seorang perempuan manis pernah melontarkan perhatian yang selalu dirindukan itu.
"Capek sih, capek. Cuma langsung hilang kalau sudah melihatmu tersenyum," betul-betul kalimat gombal yang jujur dari lubuk hati yang terdalam. Super serius. Yang dibalas dengan cubitan atau tatapan ke sembarang arah.
Satu, dua, tiga, empat bulan lalu, saya begitu tak sabaran menyelesaikan liputan di waktu senja. Ada senyuman yang menanti di penghujung lelah. Seperti obat yang meluruhkan tiap pilu dan pening di kepala. Seolah membuktikan bahwa cara berbahagia itu memang sederhana.
Setiap harinya, saya selalu mendamba sisa waktu itu. Merangkum segudang tugas di awal waktu, demi menyingkir dari kebisingan kota lebih cepat. Di tepian kerindangan kota, saya terbiasa menghabiskan waktu sejam atau dua jam dengannya jelang berlalu ke kantor. Setiap hari, saya juga nyaris merencanakan segudang lokasi yang bisa dibekukan demi menerima seulas senyum itu.
Betapa bikin candunya momen semacam itu.
Namun kini, hidup mesti berlanjut dalam fase yang berbeda. Tak perlu ada pilu yang diganjal senyuman. Pun, sakit yang mesti diratapi. Setiap orang memang akan pergi jika sudah memutuskan untuk pergi. Apakah merasa bosan, atau sekadar menganggap segalanya persinggahan sementara. Terkadang saya ingin mengutuk pada perasaan yang seperti angin lalu.
Saya terlalu naif menikmati senja yang begitu temaram. Kiranya, remang-remang jingga itu akan bertahan sepanjang mata saya tak mengedip. Sementara, matahari perlahan mengabur dalam cakrawala yang tak terjangkau. Malam kemudian lekas menyambut. Gelap mengundang lampu kota bercahaya lebih kemilau.
Akh, ya, masih ada rutinitas yang mesti dirampungkan.
Hah. Nampaknya saya butuh libur. Atau meliburkan diri? Atau berpura-pura sakit? Atau melarikan diri? Napas saya sudah terlalu rawan dihinggapi kepayahan. Agak jengah dengan rutinitas di gelimang panas debu perkotaan.
Terkadang, obrolan di ruang digital jadi pengalih penat. Orang-orang terdekat meningkahi obrolan yang sebenarnya lebih banyak absurdnya. Salah satu alasan mengapa saya begitu absurd dalam obrolan dunia maya karena keseharian nyata sudah terlalu banyak ditingkahi hal-hal serius. Sekali-kali, lupa diri.
"Istirahat lah. Tidak capek seharian liputan?" seorang perempuan manis pernah melontarkan perhatian yang selalu dirindukan itu.
"Capek sih, capek. Cuma langsung hilang kalau sudah melihatmu tersenyum," betul-betul kalimat gombal yang jujur dari lubuk hati yang terdalam. Super serius. Yang dibalas dengan cubitan atau tatapan ke sembarang arah.
Satu, dua, tiga, empat bulan lalu, saya begitu tak sabaran menyelesaikan liputan di waktu senja. Ada senyuman yang menanti di penghujung lelah. Seperti obat yang meluruhkan tiap pilu dan pening di kepala. Seolah membuktikan bahwa cara berbahagia itu memang sederhana.
Setiap harinya, saya selalu mendamba sisa waktu itu. Merangkum segudang tugas di awal waktu, demi menyingkir dari kebisingan kota lebih cepat. Di tepian kerindangan kota, saya terbiasa menghabiskan waktu sejam atau dua jam dengannya jelang berlalu ke kantor. Setiap hari, saya juga nyaris merencanakan segudang lokasi yang bisa dibekukan demi menerima seulas senyum itu.
Betapa bikin candunya momen semacam itu.
Namun kini, hidup mesti berlanjut dalam fase yang berbeda. Tak perlu ada pilu yang diganjal senyuman. Pun, sakit yang mesti diratapi. Setiap orang memang akan pergi jika sudah memutuskan untuk pergi. Apakah merasa bosan, atau sekadar menganggap segalanya persinggahan sementara. Terkadang saya ingin mengutuk pada perasaan yang seperti angin lalu.
Saya terlalu naif menikmati senja yang begitu temaram. Kiranya, remang-remang jingga itu akan bertahan sepanjang mata saya tak mengedip. Sementara, matahari perlahan mengabur dalam cakrawala yang tak terjangkau. Malam kemudian lekas menyambut. Gelap mengundang lampu kota bercahaya lebih kemilau.
Akh, ya, masih ada rutinitas yang mesti dirampungkan.
--Imam Rahmanto--
0 comments