Menepi

April 13, 2016

Baca Juga

Rasa-rasa mau jadi anak SD lagi sih. (ImamR)

"Kalau mau cerita-cerita ala sinetron sih, ya... kekasih saya meninggal dalam tragedi itu."

Seorang lelaki yang pernah merasakan bagaimana Tsunami di Aceh sedang bercerita di hadapan saya. Di kiri-kanan meja, ada teman lainnya. Seorang lelaki gondrong dari media yang saya mengenalnya saat bertugas di desk pemprov, Wawan. Di hadapannya, perempuan magang yang baru beberapa hari menjalani tugasnya di media yang sama dengan saya. Khusus beberapa hari ini, ia diwajibkan redaktur mengekor pada saya.

Kami berempat. Merapat di meja persegi. Sedang menunggu hujan mereda agar bisa kembali ke kantor. Sejak sore, hujan tak henti menetes ke bumi. Tak ingin menyisakan ruang bagi perjalanan kami. Namun justru membagi ruang lainnya agar kami saling mengenal satu sama lain.

Saya menyesap sedikit kopi-susu Dottoro yang baru saja menguarkan aroma kehangatannya.

Diantara sekian tempat di Indonesia, saya penasaran dengan Aceh, termasuk Museum Acehnya. Salah satu kota yang pernah disapu Tsunami. Kota yang nyaris melepaskan diri dari negara Indonesia. Kisah-kisah dimana penegakan syariat Islam masih teramat ketat.

Lelaki itu, Zulfikar, berasal dari Aceh. Namun sudah beberapa tahun bekerja di salah satu media olahraga Jakarta. Ia bahkan beristrikan Mojang Bandung. Bertolak ke Makassar untuk menunaikan kewajiban meliput audisi bulutangkis salah satu brand rokok kenamaan. Bertemu dengan wartawan lainnya. Menjalin cerita.

***

Beberapa waktu lalu, saya mesti bolak-balik ke Sudiang/ Daya. Tiga hari. Sebenarnya, sudah sebulan belakangan saya merasa berjodoh dengan salah satu spot pinggiran kota Makassar ini. Yakalee kalau berjodoh dengan perempuan-perempuan manis. Kalau bukan di Sudiang, saya "terdampar" di Daya.

Liputan terakhir, saya mesti mengawal sebuah event audisi atlet bulutangkis itu. Liputan wajib. Jadi, saban hari, berita mengenai salah satu cabang olahraga ini harus dibuat dan dimuat di media cetak tempat saya bekerja.

"Disini termasuk pinggiran kota sih sebenarnya. Jadi agak susah nyari spot wisata buat jalan-jalan," jelas saya.

Beberapa jam jelang maghrib di penghujung kota, saya berkenalan dengannya dan seorang perempuan lain dari media naisonal. Kami saling menyebut nama usai menyelesaikan naskah deadline masing-masing.

"Agak jauh ya?" tanya Bang Fikar. Tentu, itu sudah mewakili harapan kedua pendatang baru di kota Makassar itu.

Saya tahu rasanya bagaimana "terlantar" di kota orang tanpa guide ataupun modal pengalaman pertama. Bagaimana perasaan "ingin-jalan-jalan" yang menggunung harus luluh lantak karena tak tahu arah. Bagaimana lokasi yang jauh dari penginapan harus di-blacklist karena tak ada kendaraan. Segalanya serba "mikir" dan harus efisien.

Nah, mungkin Tuhan sengaja menjodohkan saya dengan lokasi super jauh ini. Tak lain, ya, demi menyalurkan pertolongan bagi kedua "pengembara" malang ini. Haha...

"Oiya, kalau mau jalan-jalan, cari waktu kosong saja. Kita berdua bawa motor, kok. Mungkin bisa bantu sekalian kalian keliling Makassar," usul saya, sembari menghindari tatapan dari teman perempuan di sebelah saya. Ia yang baru beberapa hari ini menjalani magang di kantor tentu agak terkejut mendengar tawaran saya pada dua orang asing itu. Tetapi, apa boleh buat, saya sudah menawarkannya, dan dia tak mungkin menolak secara terang-terangan.

"Wah, serius nih. Makasih. Kalau begitu bagi nomor telepon ya," sambut keduanya. Kami berbagi kontak satu sama lain di hari kedua perjumpaan itu.

Sayangnya, tugas liputan esok hari cukup menyita waktu kami. Kami masih sibuk berjibaku dengan deadline saat adzan maghrib nyaris menggema. Ditambah, ternyata cuaca sedang tak ingin bersahabat. Hujan tak kunjung mereda di sisa maghrib yang ingin kami tumpangi berkeliling kota.

"Bagaimana kalau besok pagi saja, sebelum acara ini selesai. Curi-curi waktu saja, apalagi kita kan maunya nunggu hasil," usul saya di tengah perbincangan kopi menunggui hujan mereda. Sepakat.

Di tengah waktu menanti hujan itu, saya justru menemukan banyak cerita menarik. Seperti biasa, insting Kepo saya tak tertahankan bertanya segala hal tentang Aceh. Tsunami. Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Persepsi. Hingga kesamaan pada hobi menulis di Kompasiana.

"Tentang GAM, orang-orang awam tidak akan mengerti jika hanya mendengar ceritanya dari sisi seberang. Beda rasanya jika kita mendengar langsung bagaimana kisah dari penduduk asli setempat. Tentara malah jadi momok menakutkan disana, dan sebagai 'penjahat'," jelas teman berambut gondrong, yang pernah merasai dua bulan bertugas kemanusiaan pasca Tsunami.

"Iya, memang. Saya justru pernah mau diancam mati oleh orang GAM," jelas teman dari Aceh itu. Akan tetapi, masa mudanya sebagai mahasiswa memang cukup bersahabat dengan para buronan tentara nasional itu. Menuliskan segala perbincangan itu takkan cukup merangkum semua waktu kami.

Waktu kembali berkomplot untuk menggagalkan rencana apik saya keesokan paginya. Berhubung menanti kabar dan telepon dari Bang Fikar, saya masih terbangun manis di kamar kontrakan. "Mungkin dia masih tidur," pikir saya. Maklum, sesama wartawan olahraga biasanya punya jadwal bangun tidur yang serupa.

Sembari menunggu momen liputan di Daya, saya memutuskan untuk menyeruput kopi-susu di warkop langganan. Beberapa hari menghabiskan waktu di pinggiran Sudiang dan Daya, memantik rasa rindu saya pada aroma kopi yang bersanding dengan stadion Gelora Andi Matalatta. Liputan bisa menunggu.

"Kak, saya disuruh ingatkan, bilang nyusul di Anjungan Losari. Soalnya Kak Fiqar dan Shelby ada disana. Katanya hape ta' tidak aktif waktu dihubungi tadi pagi," sebuah pesan WA masuk.

Pesan itu jadi semacam alarm mendadak buat saya. Entah kenapa saya gelagapan meninggalkan kopi-susu yang masih setengah di atas meja.

"Aduh, kenapa ndak bilang-bilang dari tadi?" gerutu saya lewat pesan balasan. Teman di ujung telepon sana beralasan sedang kuliah. Padahal, sedari pagi saya memang menunggu kabar dari kedua teman ini.

Bergegas, saya menyusul kedua teman yang telah sampai di Losari itu. Tidak butuh waktu lama lantaran jaraknya memang tak seberapa dari lokasi saya di stadion.

Losari. (ImamR)
Keduanya sudah mulai jeprat-jepret beberapa background huruf ukuran jumbo Pantai Losari. Usai meminta maaf, saya menemani mereka mencari spot foto di sekitar Losari dan langsung mengajak ke Benteng Fort Rotterdam, tak jauh dari Losari. Yah, salah satu pilihan paling konservatif mengenai wisata bersejarah di kota Makassar.

Sayangnya, kami tak bisa seharian berada di sana. Baru setengah benteng yang bisa dijelajahi. Bahkan, rada penasaran Shelby tentang Benteng Sombaopu tak bisa terpuaskan. Lokasi yang jauh dan waktu mepet memaksa kami berwisata seadanya. Setelah keliling secukupnya, kami mesti kembali ke Daya untuk liputan terakhir agenda bulutangkis, closing ceremony.

Gantian. (ImamR)

***

Saya masih terbata-bata menemani kedua teman itu menjelajah Makassar. Di satu sisi, tugas liputan masih membayangi. Di sisi lain, saya ingin bersantai sejenak, meluangkan sedikit waktu bagi orang-orang dengan waktu terbatas di kota ini. Mereka yang baru pertama kali ke kota ini, tentu ingin merasai setiap jengkal hal-hal baru yang tak ditemukan di kotanya. Saya cukup tahu rasanya.

Setidaknya, saya sudah berusaha jadi guide "gadungan" bagi kedua pendatang itu. Membalas kebaikan tak perlu langsung kepada orang yang pernah berbuat baik pada kita. Seperti saya, yang pernah ditolong berkeliling kota Bandung oleh seorang teman disana, maka saya pun harus membalasnya, meski kepada orang yang berbeda. Karena kebaikan itu tak selalu melulu dibalas kepada orang yang sama. Ia bercabang-cabang. Agar tumbuh dimana-mana, perlu ditanam banyak-banyak.

Lagipula, dari secuil perjalanan itu pula, saya tersadar bahwa pemahaman sejarah saya ternyata masih sangat-teramat-kurang mendalam. Ya ampun, saya masih butuh banyak membaca sejarah kota sendiri. Agar kelak saya bisa secerewet mungkin menjelaskan detail sejarah beberapa peninggalan kuno berbau Makassar.

"Itu penjara apa?"

"Alun-alun itu sengaja dibuat menyerupai kura-kura ya?"

"Apa bahan bangunan ini masih asli dari peninggalan zamannya?"

"Ini sudah berapa lama?"

"Kenapa namanya Fort Rotterdam?"

Lain kali, saya mesti banyak membaca sejarah dulu sebelum menemani teman-teman dari luar kota berkeliling Makassar. #tepokjidat

Ini biar saya tak merasa kesepian banget aja. (ImamR)


--Imam Rahmanto--

NB: 
Saya menulis agak ringkas. Butuh waktu berjam-jam untuk menceritakan semuanya. Padahal, saya punya banyak hal yang perlu didekap di "rumah" ini. Tahulah, waktu juga ikut mendekap dan membekap mulut saya.

You Might Also Like

0 comments