Yang Terberat
April 18, 2016Baca Juga
Yang tersulit bagi saya belakangan ini, bukan perihal melepaskan, atau sekadar melupakan. Melainkan, lebih sulit lagi soal: bangun pagi. Seolah kutukan
"Jadi, tidak shalat Subuh?" tanya seorang teman.
Saya hanya menjawabnya dengan senyum dibuat malu-malu, "Kan, saya ganti saja dengan shalat Dhuha."
Ada ya? Duh, Tuhan, maafkan hamba-Mu ini.
Serius. Saya jadi terbiasa menjalankan salah satu shalat sunat itu gara-gara telat bangun pagi. Hitung-hitung sebagai pengganti rasa bersalah pada Tuhan. Duh, Tuhan, lagi-lagi, maafkan hamba-Mu ini.
Tetapi, kata ustadz, itu bisa semakin melapangkan pintu rezeki. Dan benar, saya merasa "lapang" beberapa minggu ini. Hahaha....
Padahal, sebagai "pecinta pagi", dulu saya keranjingan bangun di awal waktu. Setiap hari berusaha menyambut secercah sinar yang masih menghangat. Kapan lagi bisa merasakan udara paling sejuk di tengah kota metropolusi selain pagi hari?
Kalau sepeda teman nganggur, saya tak perlu repot-repot berjalan di sepanjang jalan penuh debu. Saya mengayuh sepeda ke pinggiran tanggul sungai Jeneberang yang berdekatan dengan situs sejarah Benteng Sombaopu. Kalau beruntung, saya bisa berbagi senyum dengan bapak atau ibu tua yang sedang mengantarkan anak-anaknya ke sekolah.
Entah, apa yang membuat saya setahun belakangan ini agak runyam bangun pagi. Hampir setiap hari, lelah seolah terasa menggunung. Biar tidur sudah di awal waktu, bangunnya pasti akan lewat dari waktu Subuh. Terkadang, jam delapan atau bahkan terdorong hingga sejam lagi. Seolah-olah, ada lelah yang mesti dibayar lunas.
Alarm yang dibuat berlapis-lapis di handphone tak mampu menembus telinga. Bahkan, saya sengaja menyetel salah satu aplikasi alarm khusus di smartphone untuk membangunkan dengan cara berbeda. Dibuat berlapis-lapis, cara mematikannya pun berbeda. Mulai dari sekadar menggeser tangan, menggoyangkan (shake) smartphone, hingga soal operasi Matematika bertingkat. Sayangnya, setelah alarm padam, sayup-sayup kantuk kembali melanda.
Beberapa bulan lalu, saya cukup terbantu dengan "alarm" hidup yang tak henti membangunkan tiap pagi. Selain benar-benar hidup, saya dipaksa untuk tetap terjaga untuk mendengar suaranya saban pagi. Oiya, tapi itu sudah berlalu. Mungkin, terlalu sering, jadi bosan. Beberapa orang memang masih belum siap konsisten dengan pilihannya masing-masing
Tetapi, siapa yang tak lelah sih jika bekerja tanpa hari libur. Semenjak setahun saya bergabung dengan media sekarang, belum ada waktu libur yang dijatah bagi saya dan teman-teman seangkatan. Tiada hari tanpa bertugas di lapangan. Satu-satunya hiburan bagi saya adalah momen bertolak ke luar kota. Hiburan lainnya: ketika saya mencoba bandel mencuri waktu.
Pertanyaan, "Kapan ada waktumu?" terasa seperti ujian yang punya banyak pilihan jawaban. Saya bingung menjawabnya. Mau bagaimana lagi, jadwal tak terstruktur sebagai wartawan "baru" juga memaksa saya bergerak dalam keadaan dadakan. Ketika tiba pertanyaan soal waktu luang, saya harus menggali-gali isi kepala, "Memangnya saya punya waktu luang ya?" #tariknapas
Setiap kali teman-teman hendak bertemu, berkumpul, atau sekadar meluapkan kenangan, saya selalu tak sadar kehilangan waktu. Beberapa tagihan "traktir" yang dialamatkan ke saya juga mulai mengapung-apung di dalam kepala. Tertimbun oleh jadwal liputan yang masih belum mengenal kasta "libur". Satu-satunya momen ngumpul yang sering saya lakukan adalah di kafe-kafe terdekat selepas pekerjaan di kantor.
"Mungkin, kamu butuh piknik?"
Beberapa hari lalu, teman-teman sekelas (kuliah) saya mengagendakan piknik ke salah satu tempat di Gowa, Parigi. Katanya, dekat bendungan. Tetapi, lagi-lagi jadwal saya yang belum mengenal kata libur mengenyahkan ajakan merasakan sensasi alam itu. Yah, terkutuklah saya dengan jadwal tanpa libur.
Iya, saya benar-benar butuh liburan. Bukan sekadar piknik. Rehat sejenak. Sekadar menjauh dari rutinitas berkeliling kota. Sekali-kali menatap langit tanpa gemerlap cahaya perkotaan. Cukup kerlap-kerlip bintang yang menjadi penerangannya.
Tapi, pertanyaan lanjutannya, "Kapan?" Hanya Tuhan (dan pimpinan) yang tahu. #fiuhh
"Jadi, tidak shalat Subuh?" tanya seorang teman.
Saya hanya menjawabnya dengan senyum dibuat malu-malu, "Kan, saya ganti saja dengan shalat Dhuha."
Ada ya? Duh, Tuhan, maafkan hamba-Mu ini.
Serius. Saya jadi terbiasa menjalankan salah satu shalat sunat itu gara-gara telat bangun pagi. Hitung-hitung sebagai pengganti rasa bersalah pada Tuhan. Duh, Tuhan, lagi-lagi, maafkan hamba-Mu ini.
Tetapi, kata ustadz, itu bisa semakin melapangkan pintu rezeki. Dan benar, saya merasa "lapang" beberapa minggu ini. Hahaha....
Padahal, sebagai "pecinta pagi", dulu saya keranjingan bangun di awal waktu. Setiap hari berusaha menyambut secercah sinar yang masih menghangat. Kapan lagi bisa merasakan udara paling sejuk di tengah kota metropolusi selain pagi hari?
Kalau sepeda teman nganggur, saya tak perlu repot-repot berjalan di sepanjang jalan penuh debu. Saya mengayuh sepeda ke pinggiran tanggul sungai Jeneberang yang berdekatan dengan situs sejarah Benteng Sombaopu. Kalau beruntung, saya bisa berbagi senyum dengan bapak atau ibu tua yang sedang mengantarkan anak-anaknya ke sekolah.
Entah, apa yang membuat saya setahun belakangan ini agak runyam bangun pagi. Hampir setiap hari, lelah seolah terasa menggunung. Biar tidur sudah di awal waktu, bangunnya pasti akan lewat dari waktu Subuh. Terkadang, jam delapan atau bahkan terdorong hingga sejam lagi. Seolah-olah, ada lelah yang mesti dibayar lunas.
Alarm yang dibuat berlapis-lapis di handphone tak mampu menembus telinga. Bahkan, saya sengaja menyetel salah satu aplikasi alarm khusus di smartphone untuk membangunkan dengan cara berbeda. Dibuat berlapis-lapis, cara mematikannya pun berbeda. Mulai dari sekadar menggeser tangan, menggoyangkan (shake) smartphone, hingga soal operasi Matematika bertingkat. Sayangnya, setelah alarm padam, sayup-sayup kantuk kembali melanda.
Beberapa bulan lalu, saya cukup terbantu dengan "alarm" hidup yang tak henti membangunkan tiap pagi. Selain benar-benar hidup, saya dipaksa untuk tetap terjaga untuk mendengar suaranya saban pagi. Oiya, tapi itu sudah berlalu. Mungkin, terlalu sering, jadi bosan. Beberapa orang memang masih belum siap konsisten dengan pilihannya masing-masing
Tetapi, siapa yang tak lelah sih jika bekerja tanpa hari libur. Semenjak setahun saya bergabung dengan media sekarang, belum ada waktu libur yang dijatah bagi saya dan teman-teman seangkatan. Tiada hari tanpa bertugas di lapangan. Satu-satunya hiburan bagi saya adalah momen bertolak ke luar kota. Hiburan lainnya: ketika saya mencoba bandel mencuri waktu.
Pertanyaan, "Kapan ada waktumu?" terasa seperti ujian yang punya banyak pilihan jawaban. Saya bingung menjawabnya. Mau bagaimana lagi, jadwal tak terstruktur sebagai wartawan "baru" juga memaksa saya bergerak dalam keadaan dadakan. Ketika tiba pertanyaan soal waktu luang, saya harus menggali-gali isi kepala, "Memangnya saya punya waktu luang ya?" #tariknapas
Setiap kali teman-teman hendak bertemu, berkumpul, atau sekadar meluapkan kenangan, saya selalu tak sadar kehilangan waktu. Beberapa tagihan "traktir" yang dialamatkan ke saya juga mulai mengapung-apung di dalam kepala. Tertimbun oleh jadwal liputan yang masih belum mengenal kasta "libur". Satu-satunya momen ngumpul yang sering saya lakukan adalah di kafe-kafe terdekat selepas pekerjaan di kantor.
"Mungkin, kamu butuh piknik?"
Beberapa hari lalu, teman-teman sekelas (kuliah) saya mengagendakan piknik ke salah satu tempat di Gowa, Parigi. Katanya, dekat bendungan. Tetapi, lagi-lagi jadwal saya yang belum mengenal kata libur mengenyahkan ajakan merasakan sensasi alam itu. Yah, terkutuklah saya dengan jadwal tanpa libur.
Iya, saya benar-benar butuh liburan. Bukan sekadar piknik. Rehat sejenak. Sekadar menjauh dari rutinitas berkeliling kota. Sekali-kali menatap langit tanpa gemerlap cahaya perkotaan. Cukup kerlap-kerlip bintang yang menjadi penerangannya.
Tapi, pertanyaan lanjutannya, "Kapan?" Hanya Tuhan (dan pimpinan) yang tahu. #fiuhh
--Imam Rahmanto--
0 comments