Langkah kami dipercepat ketika memasuki area pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kapal Umsini yang dijadwalkan berangkat pukul sepuluh pagi telah berlabuh sejak tadi. Segala keinginanku yang ingin sekadar mondar-mandir di pelabuhan sebelum berangkat, buyar seketika. Kami harus berlomba dengan penumpang lain memperebutkan ranjang tidur yang tersedia di kelas
Hal seperti itulah yang kerap terjadi jika kita memanfaatkan transportasi kapal laut. Mendaftarkan tiket untuk Economy Class berarti kita harus siap untuk berlomba dengan penumpang lain memperoleh ranjang di kabin Ekonomi. Jika tidak, maka kita harus rela mencari tempat tidur lain; bisa saja lesehan di lantai atau memanfaatkan bangku-bangku kosong yang tersedia.
Di atas kapal, Kelas Ekonomi sangat berbeda dengan kelas utama (termasuk persoalan biayanya). Bagi penumpang kelas utama, kamar-kamar khusus telah disediakan sebagai tempat peristirahatan mereka. Sementara bagi penumpang kelas ekonomi, mereka masih harus menghadapi "calo-calo kasur" yang senantiasa menghadang di pintu masuk kabin. Calo-calo tersebut menawarkan "lapak-lapak" tempat tidur di dalam kapal, berhubung jumlah penumpang yang selalu melebihi kuota seharusnya. Tentunya, jasa yang ditawarkan oleh mereka tidaklah gratis.
Saya agak kesal ketika harus berhadapan dengan calo di dalam kapal. Apalagi jika saya sampai tidak kebagian ranjang yang diperuntukkan buat penumpang kelas ekonomi. Padahal, jika ditelisik, ranjang-ranjang di kabin kelas ekonomi beserta kasurnya sudah seharusnya menjadi hak fasilitas bagi penumpangnya. Ranjang-ranjang tersebut sudah menjadi bagian dari pemesanan tiket kapal. Akan tetapi, disebabkan jumlah penumpang (kelas ekonomi) yang melebihi jumlah maksimum, maka banyak penumpang yang tidak memperoleh tempat. Segelintir orang pun mencoba memanfaatkan kondisi tersebut, termasuk para anak buah kapal yang bersangkutan.
Saya juga heran dengan banyaknya berkeliaran pedagang-pedagang asongan, yang sebenarnya adalah ABK, menawarkan dagangan dengan harga tiga kali lipat dari harga sebenarnya. Keuntungan yang mereka dapatkan tersebut apakah menjadi pemasukan pemerintah atau pribadi masing-masing? Banyak hal yang dijadikan sumber keuntungan oleh pihak-pihak pelayaran di atas kapal.
PELNI sebagai salah satu instansi perusahaan milik pemerintah seharusnya tidak membiarkan hal-hal seperti itu terjadi. Kapal dibiarkan berlayar dengan jumlah penumpang lewat batas, apalagi jika musim mudik tiba. Apa karena ingin mengambil untung sebanyak-banyaknya ya? Mereka tidak berpikir bahwa banyak penumpang yang harus tidur di lantai, di tepian tangga, di depan pintu masuk sampai kamar mandi, bahkan di luar kapal. Apalagi yang di luar kapal itu, seharusnya dek-dek luar kapal bisa menjadi tempat sekadar berjalan-jalan menghirup udara segar, namun menjadi terganggu dengan dipenuhinya penumpang yang tidur di sepanjang dek luar. Selain itu, jaminan keselamatan penumpang kemudian menjadi hal yang diabaikan oleh mereka.
Ya, ternyata pemerintah juga selalu mengambil keuntungan (terlalu banyak) dari masyarakatnya. Entahlah, apakah mereka sengaja tidak tahu atau benar-benar tidak tahu dengan fenomena tersebut. Yang jelas, hal seperti itu tidak lagi menjadi rahasia umum di tengah para pemudik. Lantas, bagaimana mungkin pemerintah tidak tahu? Pemerintah nampaknya sengaja menutup mata demi tetap membuka keuntungan yang bakal mereka hasilkan dari fenomena itu.
Libur sebagai rangkaian dari perayaan Lebaran sudah berakhir. Namun keuntungan yang dihasilkan bagi pemerintah tidak akan pernah berakhir.
--Imam Rahmanto--
- Agustus 31, 2012
- 5 Comments