Hujan di Sela Doa
Agustus 30, 2012Baca Juga
Sumber gambar: Google search |
Kesunyian berbalut hujan ini benar-benar membawaku tenggelam. Hening. Benar-benar hening. Seluruh penghuni rumah ini sudah lebih dulu terlelap. Santap sahur di pukul 4 dinihari tidak berhasil membuat mereka tetap terjaga hingga pagi hari. Usai bersantap sahur bersama, masing-masing telah kembali ke peraduannya masing-masing.
Di bulan Ramadhan ini, ternyata rasa kantuk meningkat begitu pesat pada setiap orang. Entah bagaimana menjelaskannya secara ilmiah. Namun, berdasarkan pengamatanku sehari-hari, tingkat kantuk setiap orang di bulan puasa ini melebihi standar rata-rata. Di atas normal. Hal itulah yang membuat banyak orang menghabiskan waktu subuhnya hanya untuk tidur. Puasa pun hanya dihabiskan dengan bermandikan mimpi-mimpi kosong.
Pagi ini, aku memilih duduk sendirian di tepi jendela kamarku. Menatap bulir-bulir embun di depan mataku. Di sisi jendela lainnya, perlahan tetes-tetes air jatuh satu-persatu membentuk selarik garis vertikal hingga ke dasar jendela. Aku menatap titik-titik air yang luruh itu. Dan pikiranku menerawang, menembus tiap inci kaca jendela, menerpa beribu-ribu rintik hujan yang mengguyur di luar kamar.
Hujan. Ia mengguyur. Meskipun demikian, aku takkan pernah membencinya. Mengapa orang mesti membenci hujan? Jikalau banjir musababnya, tak berdasar sama sekali. Bukankah banjir disebabkan oleh manusia sendiri? Banjir sekalipun datang, aku tidak akan memaki hujan. Ia terlalu berharga buatku. Berkahnya berlipat pula ketika diturunkan di bulan yang juga penuh berkah ini.
Aku masih ingat ketika hujan menyapa doaku. Hujan membisikkan ucapan-ucapan ketenangannya padaku. Ia memberiku secercah harapan yang tak akan pernah kulupakan. Nyaris, nyaris saja aku meragukan kebesaran-Nya.
“Tenanglah, aku dikirimkan untukmu,”
*****
Aku baru saja mendapatkan kabar gembira. Terlebih lagi, hal ini baru pertama kalinya buatku. Aku sebelumnya tak pernah menduga-duga akan mendapatkannya. Bahkan untuk berharap saja aku menolak. Aku masih terlalu muda untuk berharap yang tinggi-tinggi.
Aku sudah tidak sabar lagi mengabarkan berita ini kepada ayah dan ibuku. Melihat keduanya tersenyum bangga adalah hal yang selalu kukejar-kejar selama ini. Perihal aku suka atau tidak, bukan masalah besar bagiku. Ah, seperti itulah memang jalan pikiranku hari ini. Aku masih terlalu muda untuk berpikiran bijak layaknya orang dewasa. Usiaku yang baru menginjak 14 tahun masih belum bisa dikategorikan dewasa. Remaja pun tidak cocok sama sekali. Hingga kelak aku baru tersadar untuk berlaku atas dasar keinginan dan jalanku sendiri.
Aku baru saja ingin membuka pintu ketika suara tangis terisak kudengar pecah dari dalam rumah. Berselang suara makian juga melintasi celah-celah telingaku. Aku diam. Berharap tidak bisa masuk ke dalam rumah. Kabar gembira yang semula ingin kusampaikan mendadak lebur dalam ketakutanku. Aku takut. Aku takut membayangkan hal yang terjadi. Aku sudah terlampau sering mendengar atau bahkan menyaksikan hal yang mungkin saja sedang berlaku di dalam rumahku.
Aku bukannya takut. Perasaan yang satu itu sudah lama menyekat dalam rongga dadaku, berbuah kebencian. Aku benci. Berharap tidak ada di tempat ketika hal seperti itu terjadi.
“Aku tidak suka ini,” lirihku masih berdiri di depan pintu rumah yang sederhana ini. Rumah dari batu bata yang berdiri megah di sampingnya seakan-akan mengejek “rumahmu terlalu sederhana”. Aku tak peduli. Aku ingin pergi saja dari rumah. Aku bosan menyaksikannya. Akan tetapi, penasaran ternyata mampu membuatku melangkah lebih jauh. Benar kata orang, rasa penasaran bisa membuatmu mati.
“Siapa?” Suara ayahku menyapa dari dalam rumah. Hanya berbatas tirai kelambu, ayahku keluar dan melihat anaknya pulang dari sekolah.
“Oh, kamu sudah pulang ya?” ujar ayahku lagi. Sekilas ia hanya tersenyum sebentar. Aku bisa menyaksikan dari raut wajahnya, senyum yang terkesan dipaksakan dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ia mengajak masuk ke kamarku. Ia menuntunku. Aku merasa ada sesuatu yang “lebih” dari biasanya. Aku memasang wajah berpura-pura tidak tahu dan ingin tahu apa yang terjadi.
Sekali lagi, aku menatap penasaran ke arah ayahku. Aku masih mendengar suara isak tangis, yang kutahu, pasti dari ibuku.
Adikku yang masih berumur enam tahun, yang tahu kepulanganku dari sekolah, segera menghambur ke arahku. Wajahnya sembap karena menangis. Terisak. Matanya nyaris bengkak. Ah, ada apa ini sebenarnya?
“Amel, kenapa?” Aku mencoba bertanya langsung pada adikku yang sedari tadi masih tidak melepaskan pelukannya dariku. Erat. Ia masih saja terisak.
“Sini, nak. Ayah beritahu,” Ayahku mengambil alih. Ia menjauhkan adikku, merenggangkan pelukannya.
“Ayah akan memulangkan ibumu,”
Aku tidak menyangka hal seperti ini bakal terjadi. Pertengkaran antara ayah dan ibuku dalam keluarga memang sudah sering terjadi. Namun kesemuanya itu tidak sampai membawa-bawa perpisahan. Aku mendadak tergugu. Entah ingin berkata apa. Tidak perlu menjadi dewasa untuk bisa mencerna matang-matang perkataan ayahku. Hal itu sudah cukup jelas. Pertanda kedua orang tuaku akan berpisah hari ini.
“Ayah sudah tidak mampu lagi membina ibumu. Ibumu sudah terlalu sering mengulangi kesalahan yang sama,”
Bukan. Bukan ibu yang salah! Ayah yang terlalu kasar pada ibu. Ayah yang terlalu kurang ajar. Ayah yang terlalu mudah tersulut emosinya. Ayah yang terlalu ringan melayangkan tangannya ke arah ibu. Tidak peduli, siang atau malam. Bukan. Bukan ibu yang salah! Aku membatin tidak terima perkataan ayahku. Aku sudah terlampau sering menyaksikannya untuk bisa menyimpulkan siapa yang benar.
“Ayah sudah sering menasehati ibumu, memberitahunya baik-baik. Kau sendiri tahu, kan,”
Tidak. Ayah tidak pernah secara baik-baik menyampaikannya pada ibu. Ujung-ujungnya selalu kekesalan ayah berwujud pukulan atau bahkan tendangan. Aku sering menjadi saksi keberingasan ayah. Aku benar-benar benci ayah. Dan ayah kelak akan tahu hal itu.
“Ibumu sudah terlalu keterlaluan. Ini sudah puncaknya, dan biarkan ayah memulangkannya hari ini juga,”
Ayah yang keterlaluan! Aku tidak akan membiarkan ibu pergi. Bagaimana denganku? Apa ayah tidak memikirkanku? Atau, atau setidaknya pikirkan adik kecilku yang malang?
Aku tergugu. Pandanganku tiba-tiba memudar. Air mata yang selama ini berusaha kubendung untuk tidak jatuh di depan adikku, jatuh begitu saja. Mengalir deras. Aku tak ada bedanya dengan ibu atau adikku. Terisak saat itu juga.
Maka kubiarkan diriku menangis. Kali ini, tak ada lagi kata-kata ayahku “Anak lelaki tak boleh menangis.” Aku, anak lelaki dan aku menangis. Aku tak ingin ibu pergi dari sini. Jika ayah berlaku hal itu, maka siapa lagi yang akan membangunkanku di waktu Subuh? Siapa lagi yang akan memasakkan makanan kesukaanku? Siapa lagi yang akan membuatkanku sambal pecel? Siapa lagi yang akan mengingatkanku waktu shalat?
Aku ingin berkata “Jangan pergi, ibu. Ayah tidak boleh memulangkan ibu.” Namun lidahku selalu kelu tertahan ketika berhadapan dengan ayahku. Sekadar menengahi kekesalan ayah pada ibuku saja aku tak mampu. Yang terjadi selalu aku hanya menjadi penyimak kata-kata cercaan dari ayahku buat ibuku. Entah, apa karena aku masih terlalu kecil untuk melawan ayahku atau aku memang tidak punya keberanian untuk melawannya.
Segala kebahagiaan yang kubawa mendadak lenyap. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara untuk menyampaikannya, barang sedetik. Aku lupa. Takkan ada yang peduli dengan kabar yang akan kusampaikan pada mereka. Apalah arti kemenanganku hari ini jika ayah dan ibu tidak akan bersama lagi.
“Irfan, kamu berhasil meraih peringkat pertama dalam Lomba Pelajar Teladan,” Masih terngiang perkataan Ibu Murni, guru sekolahku yang menyampaikan hasil dari kompetisi tahunan tingkat kabupaten yang diikuti oleh sekolahku. “Jadi, minggu depan kamu sudah harus mempersiapkan diri untuk mewakili kabupaten ke kota Makassar,” lanjutnya.
Sesuai dugaanku, ayah hanya menanggapinya sekilas kabar yang kubawakan untuknya. Ia hanya tersenyum sambil mengusap kepalaku.
“Kalau begitu kamu mesti mepersiapkan lagi karya yang bakal kamu bawa lagi kesana,” Ayah hanya mengingatkanku.
Bagaimana aku akan mempersiapkannya jika ayah sama sekali tidak peduli lagi dengan ibu?
*****
Hujan masih mengguyur di luar sana. Jika ia terus mengguyur, bisa dipastikan banjir akan melanda lorong-lorong di sekitar wilayah kost¬ku. Aku tak membenci hujan. Bagaimanapun, hujan adalah teman bermain semasa kecilku.
Aku masih menatap rerintikan hujan di luar sana. Masih di jendela yang sama. Masih dengan memori yang sama.
Aku masih ingat ketika harus menyelesaikan trafo itu. Karya berupa power supply sederhana hasil dari buah tanganku sendiri. Karya serupa yang memberiku poin kemenangan di kompetisi tingkat kabupaten. Dan yang seharusnya membuatku bangga sebagai seorang anak sekolah.
Kala itu, waktu membawaku untuk menyusunnya di tengah-tengah konflik yang terjadi diantara ayah dan ibuku. Aku benci akan hal itu. Aku ragu dengan diriku sendiri. Apa aku bisa? Aku memaksa diri untuk berkata “tidak”. Aku benci dengan diriku sendiri.
*****
Siang itu waktu berjalan sungguh lama. Tidak seperti hari-hari biasanya. Justru hari ini aku tidak ingin berlalu begitu saja. Seperginya waktu, maka secepat itu pula ibu kan meninggalkanku.
“Ayah sudah memikirkan bagaimana ibumu kesana,” Ayah membuka perbincangan. Sejak tadi hanya hening yang terdengar. Apakah hening bisa terdengar juga, sedangkan hening itu sendiri tak bersuara? Adikku masih saja meneteskan air matanya. Masih terisak.
“Ada seorang teman ayah yang juga akan pulang hari ini. Ayah akan menitipkan ibumu padanya,”
Mengapa bukan ayah saja yang mengantarkannya?
“Ayah tidak mungkin akan meninggalkan kalian berdua disini tanpa siapa-siapa,” tegas Ayahku. Ia seolah-olah bisa membaca apa yang kupikirkan barusan.
Ah, jika saja aku dibolehkan memilih, aku lebih baik ikut bersama ibuku. Biarkan aku yang akan menjaga ibu. Hanya saja, ibu sendiri justru menyuruh kami berdua untuk tetap tinggal disini bersama ayah. “Tidak, kalian tidak boleh ikut. Kalian disini saja. Kalian masih sekolah. Kalau kalian ikut Ibu, siapa yang akan membiayai sekolah kalian nanti?” ujar Ibuku di sela-sela tangis dan pelukannya padaku.
Sambil menunggu teman ayahku itu, aku -masih dengan perasaan tersiksa- mencoba mengalihkan perhatianku dengan menyibukkan diri pada sirkuit-sirkuit listrikku.Akan tetapi, tahukah kalian, bagaimanapun aku mencoba fokus dan tenggelam dalam kesibukan itu, air mata masih saja mengalir dari pelupuk mataku. Menetes satu persatu di atas punggung tanganku yang sementara memegangi solder. Sesekali, aku mengusap mataku, mengucek-nguceknya dengan punggung tanganku itu pula. Isakku tertahan, tetapi air mataku mengalir perlahan. Tak bisa kupingkiri, aku masih belum rela ibu pergi dari sisiku.
Aku ingin ibu tetap disini. Aku berdoa di dalam hati.
Berdoa? Ya, berdoa. Aku masih punya Tuhan yang sayang padaku. Aku termasuk hamba-Nya. Lantas, mengapa aku tak meminta tolong kepada-Nya? Selama ini, aku sudah sering mendengar dari guru agamaku bahwa doa akan selalu di-ijabah oleh-Nya. Terlebih ketika kita berdoa dengan mencucurkan air mata.
“Biarpun tangis kita itu dibuat-buat, ustadz?” Dan guruku menjawabnya tegas hanya dengan menganggukkan kepalanya. Aku tahu ia menjawab “Ya”.
Maka aku tahu apa yang mesti kulakukan hari ini. Jika aku tidak punya kekuatan sekadar beradu mulut dengan ayahku, maka biarkan Tuhan yang memutuskannya buatku. Aku cukup meminta kepada-Nya, berdoa pada-Nya. Ia tahu yang terbaik buatku.
Hanya gara-gara terlarut dalam kondisi hari ini, aku belum sempat menjalankan salah satu ibadahku sebagai seorang muslim. Pantas saja Tuhan tidak sedikitpun merasuk untuk memberikan idenya ke dalam kepalaku. Aku lupa, maka Ia pun lupa. Aku ingat, tentu Dia akan senantiasa mengingatku.
Usai mengambil air wudhu, maka kubiarkan diri terlarut dalam ibadahku. Aku tidak bisa lagi membedakan mana air mata dan mana air wudhu yang membekas di pipiku. Hari ini, begitu banyak air mata yang kualirkan percuma. Mau bagaimana lagi? Aku tidak tahu cara untuk membendung air mata ini. Jika bukan aku, maka siapa lagi yang akan menghapuskannya buatku?
“Ya Tuhan, aku percaya Engkau hari ini mengawasiku. Engkau melihatku dari tempat yang aku tidak pernah tahu keberadaannya.Engkau tahu keadaanku sekarang. Engkau mengerti bagaimana perasaanku sekarang,”
“Hari ini, aku ingin berdoa padamu. Doa yang sungguh-sungguh aku yakin Engkau menerimanya,”
“Ya Tuhan, aku tidak ingin keluargaku bercerai-berai seperti ini. Aku tidak ingin ibu pergi dari sini. Aku tidak ingin menjadi bagian dari anak-anak “broken home” yang selama ini selalu kusaksikan di layar-layar televisi. Aku ingin segalanya berjalan normal seperti biasa,”
“Ya Tuhanku… Jika ibu pergi, maka tidak akan ada lagi yang membangunkanku untuk shalat Subuh pada-Mu. Tidak akan ada lagi yang mengingatkanku untuk shalat lima waktu. Tidak akan ada lagi yang membuatkan makanan kesukaanku,”
“Aku tahu, ya Tuhan, aku terkadang menjadi anak durhaka ketika mengomel-ngomel tak jelas pada ibuku jikalau ia lupa membangunkanku di waktu Subuh. Bahkan ia malah tidak lupa. Aku yang justru sangat sulit dibangunkan dan tidak menyadari hal itu. Aku tahu, ya Tuhan, aku juga terkadang selalu menuntut ibu untuk membuatkan makanan yang sesuai seleraku, karena jikalau tidak, aku bakal mogok makan,”
Entah, di sela-sela tanganku yang menengadah, air mataku hanya dibuat-buat atau benar-benar mengalir sewajarnya. Dari dalam kamar, aku masih bisa mendengarkan isak tangis ibu dan adikku. Hatiku getir.
Aku mengucek mataku dengan salah satu lenganku.
“Ya Tuhan, aku memohon maaf pada-Mu. Aku sadar telah melakukan banyak kesalahan pada ibuku. Tapi…bukan berarti ia harus dipisahkan dari kami… ya Tuhan, aku memohon pada-Mu, ja—jangan biarkan ibuku pergi…jangan biarkan keluarga kami terpecah.”
Aku menelan ludah.
“Ya Tuhanku yang Maha Penyayang, aku sadar tidak mungkin memaksakan keinginanku ini. Engkau tahu yang terbaik bagi hamba-Mu. Jikalau yang terjadi hari ini adalah yang terbaik untukku dan keluargaku, maka aku akan menerimanya. Asalkan itu yang terbaik, Tuhan. Jikalau ibuku benar-benar harus pergi dari sini, maka kuatkan pula aku dan adikku. Meskipun sebenarnya aku tidak ingin ibuku pergi,”
“Aku tahu, Engkau Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan mampu melakukan segalanya. Engkau mampu memperbaiki segalanya. Engkau tahu yang terbaik. Dan untuk kali ini, aku hanya berharap mendapatkan sebuah keajaiban, langsung dari-Mu…”
“Amiin,” gumamku mengakhiri doaku.
Gemerisik air terdengar berkejaran di luar sana. Pelan tapi pasti, membentuk irama semakin kencang. Menyadarkanku bahwa hujan kemudian turun begitu derasnya diantara terik matahari tengah hari.
*****
Hujan berhenti perlahan. Ia membentuk seuntaian titik halus air yang turun satu persatu di luar sana. Gerimis kecil. Sangat halus. Perasaan was-was terhadap banjir akhirnya terbendung. Aku membuka jendela kamar ini. Membiarkan udara sejuk pagi masuk ke dalam kamar. Membiarkan percikan kecil air mengenai wajahku.
Ayahku akhirnya membatalkan niatnya untuk memulangkan ibuku. Hujan deras, siang itu, berlangsung berjam-jam lamanya. Aku lupa berapa jam ayahku mesti menunda-nunda keberangkatannya, berapa kali pula ia bolak-balik menelepon temannya itu. Hingga aku jelas menangkap pembicaraannya di telepon, “Ya sudah, kamu duluan saja. Kayaknya Ibunya Irfan gak jadi saya ikutkan sama kamu.” Suara ayahku terdengar pasrah.
Aku sadar Tuhan benar-benar menunjukkan keajaiban-Nya buatku. Hujan dikirimkannya kala itu untuk menyapa doa seorang anak kecil yang polos. Anak kecil yang tidak ingin kehilangan ibunya. Sejak itu, aku berteman dengan hujan.
Aku menjulurkan tanganku keluar jendela. Aku mengibaskan kantuk yang sedari tadi berusaha menarikku ke dalam ketenangan pagi. Sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat-ayat suci dari speaker masjid memecah keheningan. Anak-anak kecil meramaikan Ramadhan pagi hari dengan membaca ayat suci Al-Qur’an. Damai.
Titik air itu menyentuh tanganku. Aku masih bisa merasakan keajaiban yang pernah dibawakannya padaku. Dingin nan menyejukkan…
“Tenanglah, aku tak akan membencimu,” lirihku pada hujan. [end]
Makassar, Agustus 2012
--Imam Rahmanto--
2 comments
sungguh cerita dengan hanyutan perasaan yang amat dalam... meleleh setelah membacanya,,, itu saja
BalasHapus@ilham baharuddin: Terima kasih banyak, teman... ^_^.
BalasHapus