Seminggu terakhir, Indonesia sedang tak baik-baik saja.
Kalau ibu pertiwi benar-benar ada, ia sedang menangis. Di pangkuannya masalah bertubi-tubi menghampiri. Entah dengan cara apa lagi mengobati. Luka itu, enggan pergi. Kian hari, sakit tak terperi. Mata semakin basah dengan air mata yang membanjiri pipi.
Saya menjadi saksi bagaimana satu bagian masalah itu tiba di pangkuannya. Gelombang demonstrasi besar-besaran tak hanya terjadi di ibukota. Kota kami pun kedatangan gelombang massa yang benar-benar menginginkan perubahan. Mahasiswa turun ke jalan. Mahasiswa menyuarakan kebenaran.
Entah kebetulan atau tidak, saya diterjunkan dalam urusan dunia kriminal, dua bulan terakhir. Saya sebenarnya tak pernah padu di dalamnya. Ogah-ogahan saja mengerjakan berbagai angka-angka kejahatan yang sudah jadi makanan sehari-hari.
Ternyata, urusan kriminal itu membuat saya harus berhadapan dengan kisruh demokrasi Indonesia. Unjuk rasa. Pengamanan. Polisi. Demonstran. Orasi. Petisi. Kendaraan taktis. Gas air mata. Huru-hara.
Kami, pewarta, terjun di tengah-tengah "zona perang". Apakah kami aman?? Tidak semudah itu, Ferguso!
Buktinya, dalam empat hari gelombang demonstrasi, teman-teman saya kerap menjadi korban. Hari pertama korban pentung aparat, hari berikutnya korban senjata "rakyat". Kalau sudah begini, kami tak tahu lagi hendak kemana. Kartu atau tanda pengenal yang tergantung di leher tak menjamin kami akan baik-baik saja.
Saya menjalani bagaimana "zona perang" antara aparat dan mahasiswa. Unjuk rasa yang bisa terlihat baik-baik saja, bisa berakhir dengan lemparan batu dan gas air mata. Betapa saya nyaris menjadi bulan-bulanan batu yang menerjang tak tentu arah. Kalau tak berlindung di balik tiang gerbang DPRD Sulsel, dengan berjongkok, entah jadi apa kepala saya yang tak dilengkapi pelindung kepala.
"Pecah kepalamu nanti, baru kau lihat pentingnya pelindung," ujar seorang wartawan senior yang greget melihat kami, pewarta muda, berkeliaran tanpa pelindung kepala. Bahkan, pasta gigi di bawah mata juga tak ada sama sekali. Dasar kami, ibarat anak-anak STM~
Gelombang demonstrasi yang tak ada habisnya tentu memforsir tenaga dan pikiran. Apalagi, bentrok dan ricuh kembali pecah di unjuk rasa hari berikutnya. Bentrokan bahkan memanjang hingga tengah malam.
Jalan-jalan protokol terpaksa ditutup dengan lemparan batu, molotov, petasan, hingga anak panah. Oiya, gedung kantor saya yang bersisian langsung dengan fly over menjadi sasaran empuk dari gas air mata.
Sebenarnya, kepala saya terpecah bukan hanya untuk urusan kantor dan deadline. Separuh kepala saya juga tak pernah berhenti memikirkan bagaimana mahasiswa itu berjuang di lapangan. Mereka juga harus menahan caci dari orang-orang yang menanggalkan kepeduliannya atas perjuangan turun ke jalan itu.
Saya muak dengan orang-orang yang hanya bisa mencaci gerakan mahasiswa itu. Kata mereka, tak perlu berunjuk rasa. Kata mereka, akhir demo hanya akan bertindak anarkis. Kata mereka, banyak cara lain membangunkan pemerintah yang sedang tertidur. Lantas, selain kata mereka, apa yang bisa mereka lakukan sih?
Benar kata pepatah, semakin dewasa usia, pola pikir juga akan berubah.
Saya punya seorang teman dengan jiwa aktivis yang berapi-api di masanya. Sayangnya, ia digerogoti usia. Bukan. Barangkali pemikirannya yang telah berubah. Idealisme kian luntur diterpa jabatan. Bekerja di instansi pemerintahan membuatnya lupa akan esensi. Adik-adik mahasiswanya turun ke jalan justru dipertanyakan dengan sejumlah pemberatan. Padahal, sedikit saja, kenapa tidak coba mendoakan saja? Panjang saja umur perjuangan.
Ia seharusnya perlu mencontoh teman-teman lainnya yang justru membangkitkan dukungan dalam bentuk lain. Yah, paling tidak dengan berbagi makanan atau minuman. Sekadar donasi juga tak masalah. Cobalah lihat mata mereka. Ada perjuangan yang sedang berapi-api.
Mencontoh Awkarin atau Ananda Badudu, kita juga bisa berbuat baik. Tanpa perlu orasi. Mereka sudah mencontohkan hal baik. Dengan berbagi makanan di tengah-tengah massa tidak mengurangi esensi dukungan itu sendiri. Sokongan itu sudah sangat luar biasa. Kita yang biasa mengecap orang lain "hitam" berdasarkan prasangka, secara samar-samar justru dibuat ternganga, karena kepedulian itu.
"Saya mau ikut pergi demo," ujar adik mahasiswa di kampus.
Bagaimana pun, saya takkan pernah menahan-nahan keinginan mereka. Sejatinya, mereka adalah orang-orang yang telah tumbuh dewasa. Momentumnya untuk saat ini, bagi saya, memang sudah tepat. Banyak hal yang butuh digaungkan dengan suara rakyat agar presiden terbangun dari tidurnya. Kalau bukan sekarang, haruskah kita diam?
Negara kita dirundung banyak masalah. Namun, tak etis pula memaki presiden. Sungguh, tanggung jawab pemimpin itu sangat berat. Mahasiswa-mahasiswa itu sejatinya hanya ingin berdialog dengan tangan terbuka. Menyampaikan yang tak tersampaikan.
Di mata ibu pertiwi, air mata meleleh satu demi satu. Menangisi masalah yang susul-menyusul. Pertikaian etnis yang bermula dari pengibaran bendera di Surabaya. Kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan. Kerusuhan etnis di Wamena. Gempa berskala besar Ambon. Anggota-anggota dewan yang tak tahu diri.
Akh, hingga ia bertanya pada diri sendiri, kapan akan tersenyum kembali? []
Kalau ibu pertiwi benar-benar ada, ia sedang menangis. Di pangkuannya masalah bertubi-tubi menghampiri. Entah dengan cara apa lagi mengobati. Luka itu, enggan pergi. Kian hari, sakit tak terperi. Mata semakin basah dengan air mata yang membanjiri pipi.
Gelombang mahasiswa dari berbagai kampus. (Imam Rahmanto) |
Saya menjadi saksi bagaimana satu bagian masalah itu tiba di pangkuannya. Gelombang demonstrasi besar-besaran tak hanya terjadi di ibukota. Kota kami pun kedatangan gelombang massa yang benar-benar menginginkan perubahan. Mahasiswa turun ke jalan. Mahasiswa menyuarakan kebenaran.
Entah kebetulan atau tidak, saya diterjunkan dalam urusan dunia kriminal, dua bulan terakhir. Saya sebenarnya tak pernah padu di dalamnya. Ogah-ogahan saja mengerjakan berbagai angka-angka kejahatan yang sudah jadi makanan sehari-hari.
"Everything happens for a reason,"
Ternyata, urusan kriminal itu membuat saya harus berhadapan dengan kisruh demokrasi Indonesia. Unjuk rasa. Pengamanan. Polisi. Demonstran. Orasi. Petisi. Kendaraan taktis. Gas air mata. Huru-hara.
Kami, pewarta, terjun di tengah-tengah "zona perang". Apakah kami aman?? Tidak semudah itu, Ferguso!
Buktinya, dalam empat hari gelombang demonstrasi, teman-teman saya kerap menjadi korban. Hari pertama korban pentung aparat, hari berikutnya korban senjata "rakyat". Kalau sudah begini, kami tak tahu lagi hendak kemana. Kartu atau tanda pengenal yang tergantung di leher tak menjamin kami akan baik-baik saja.
Saya menjalani bagaimana "zona perang" antara aparat dan mahasiswa. Unjuk rasa yang bisa terlihat baik-baik saja, bisa berakhir dengan lemparan batu dan gas air mata. Betapa saya nyaris menjadi bulan-bulanan batu yang menerjang tak tentu arah. Kalau tak berlindung di balik tiang gerbang DPRD Sulsel, dengan berjongkok, entah jadi apa kepala saya yang tak dilengkapi pelindung kepala.
"Pecah kepalamu nanti, baru kau lihat pentingnya pelindung," ujar seorang wartawan senior yang greget melihat kami, pewarta muda, berkeliaran tanpa pelindung kepala. Bahkan, pasta gigi di bawah mata juga tak ada sama sekali. Dasar kami, ibarat anak-anak STM~
Gelombang demonstrasi yang tak ada habisnya tentu memforsir tenaga dan pikiran. Apalagi, bentrok dan ricuh kembali pecah di unjuk rasa hari berikutnya. Bentrokan bahkan memanjang hingga tengah malam.
Jalan-jalan protokol terpaksa ditutup dengan lemparan batu, molotov, petasan, hingga anak panah. Oiya, gedung kantor saya yang bersisian langsung dengan fly over menjadi sasaran empuk dari gas air mata.
Perempuan yang pingsan karena panik. (Imam Rahmanto) |
***
Sebenarnya, kepala saya terpecah bukan hanya untuk urusan kantor dan deadline. Separuh kepala saya juga tak pernah berhenti memikirkan bagaimana mahasiswa itu berjuang di lapangan. Mereka juga harus menahan caci dari orang-orang yang menanggalkan kepeduliannya atas perjuangan turun ke jalan itu.
Saya muak dengan orang-orang yang hanya bisa mencaci gerakan mahasiswa itu. Kata mereka, tak perlu berunjuk rasa. Kata mereka, akhir demo hanya akan bertindak anarkis. Kata mereka, banyak cara lain membangunkan pemerintah yang sedang tertidur. Lantas, selain kata mereka, apa yang bisa mereka lakukan sih?
Benar kata pepatah, semakin dewasa usia, pola pikir juga akan berubah.
Saya punya seorang teman dengan jiwa aktivis yang berapi-api di masanya. Sayangnya, ia digerogoti usia. Bukan. Barangkali pemikirannya yang telah berubah. Idealisme kian luntur diterpa jabatan. Bekerja di instansi pemerintahan membuatnya lupa akan esensi. Adik-adik mahasiswanya turun ke jalan justru dipertanyakan dengan sejumlah pemberatan. Padahal, sedikit saja, kenapa tidak coba mendoakan saja? Panjang saja umur perjuangan.
Hal kecil sebagai dukungan. (dok. pribadi) |
Ia seharusnya perlu mencontoh teman-teman lainnya yang justru membangkitkan dukungan dalam bentuk lain. Yah, paling tidak dengan berbagi makanan atau minuman. Sekadar donasi juga tak masalah. Cobalah lihat mata mereka. Ada perjuangan yang sedang berapi-api.
Mencontoh Awkarin atau Ananda Badudu, kita juga bisa berbuat baik. Tanpa perlu orasi. Mereka sudah mencontohkan hal baik. Dengan berbagi makanan di tengah-tengah massa tidak mengurangi esensi dukungan itu sendiri. Sokongan itu sudah sangat luar biasa. Kita yang biasa mengecap orang lain "hitam" berdasarkan prasangka, secara samar-samar justru dibuat ternganga, karena kepedulian itu.
"Saya mau ikut pergi demo," ujar adik mahasiswa di kampus.
Bagaimana pun, saya takkan pernah menahan-nahan keinginan mereka. Sejatinya, mereka adalah orang-orang yang telah tumbuh dewasa. Momentumnya untuk saat ini, bagi saya, memang sudah tepat. Banyak hal yang butuh digaungkan dengan suara rakyat agar presiden terbangun dari tidurnya. Kalau bukan sekarang, haruskah kita diam?
"...it’s good that you study hard, but it’s also good that you hear about the people," [dalam sebuah wawancara The Conversation dengan Amelia, dosen di kampus Surabaya]
***
Negara kita dirundung banyak masalah. Namun, tak etis pula memaki presiden. Sungguh, tanggung jawab pemimpin itu sangat berat. Mahasiswa-mahasiswa itu sejatinya hanya ingin berdialog dengan tangan terbuka. Menyampaikan yang tak tersampaikan.
Di mata ibu pertiwi, air mata meleleh satu demi satu. Menangisi masalah yang susul-menyusul. Pertikaian etnis yang bermula dari pengibaran bendera di Surabaya. Kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan. Kerusuhan etnis di Wamena. Gempa berskala besar Ambon. Anggota-anggota dewan yang tak tahu diri.
Akh, hingga ia bertanya pada diri sendiri, kapan akan tersenyum kembali? []
Panjang umur perjuangan. (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
- September 29, 2019
- 0 Comments