Rindu Petrichor

September 22, 2019

Baca Juga


*Klik -listen in browser

***

Kamu, adalah rindu yang hendak kubunuh~

Hujan baru saja menyambangi kota kami. Aspal panas segera berganti warna. Lebih gelap dan lembap dibasuh hujan. Aroma tanah merebak hangat. Menguasai seisi jalan yang menerbangkan partikel-partikel petrichor.

Saya menikmati momen itu sepanjang Jalan Pettarani, sore ini. Titik hujan menyentuh punggung tangan yang menghitam. Menderas, di antara iringan lampu merah dan hijau. Namun, tak ada yang ingin berteduh. Mungkin, mereka begitu rindu dengan hujan yang sudah lama tak berlabuh.

Langit memang tampak begitu gelap sepanjang siang ini. Saya pun baru menyadari, sekumpulan awan itu sudah berarak sejak malam-malam sebelumnya. Atas alasan itu pula, barangkali, saya tak bisa menjumpai bintang-bintang di atas bukit Lembanna, malam lalu. Hanya bulan pasca-purnama di atas kepala. *Saya akan meneceritakannya kemudian.

Kota kami begitu lama merindukan hujan. Seperti hutan-hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan, kekeringan begitu mudah tersulut. Kebakaran rumah mengepung, nyaris setiap hari. Bahkan, di pinggiran kota kami, tumpukan sampah enggan redup mengistirahatkan tugas-tugas para pengangkut selang. Asap kobaran sampah menjelma kabut yang melahap udara kami. Beberapa kali menyelimuti langit pagi dengan udara busuknya.

Ini hujan pertama setelah sekian bulan. Entah, kapan terakhir kali hujan menjenguk kami, semenjak saya kembali menginjakkan kaki di kota ini. Kata orang, hujan memang tengah merajuk. Musimnya tak ingin tiba sebelum menghabiskan Juni-nya Sapardi Djoko Damono. Barangkali, ia memilih dibangunkan di penghujung September oleh anak-anak Green Day. Sementara kota kami tak pernah benar-benar menikmati hijau.

Hujan lainnya, tiba beberapa jam sebelumnya. Saya mendengar petir menyambar-nyambar di ujung mata seorang perempuan. Derasnya membuat siapa saja ingin berteduh. Sentakan lain membuat pelupuk mata saya ikut dihujani tempias airnya. Kesadaran itu tiba di ujung ketenangan dan separuh ingatan.

"Ayah saya tak pernah menaruh banyak-banyak percaya pada anaknya," lirih saya, yang diikuti kesadaran berlebih di atas kepala.

Hujan lainnya itu mereda tanpa perlu diminta. Seperti hujan ini, saya tak tahu, apakah Tuhan juga memang sudah merencanakannya di sepanjang jalan ini. Ia mereda, seiring perjalanan saya di ujung sebuah warung kopi. Padahal, separuh sweater saya sudah kuyup dibuatnya.

Akh, saya tak menyalahkan hujan. Ia tak pernah salah. Apakah itu artinya ia berjenis kelamin perempuan? Saya justru mencintai hujan yang turun pertama kali. Maka biarkan saja titik-titik air itu menghangat bersama petrichor. Seandainya ini kisah film India, saya akan memarkir motor di pinggir jalan, menatap langit, menutup mata, merentangkan tangan, dan berputar-putar di bawahnya. Betapa rindu kami, sudah dibayar tuntas. Seperti dendam Eka Kurniawan dalam buku-bukunya.

Hujan menetes. (Imam Rahmanto)

Entah, kapan hujan akan datang lagi. Tak ada isyarat yang sama untuk keesokan harinya. Bisa saja ia baru berlarian di bulan Deaember-nya Efek Rumah Kaca.

Saya malah curiga, hujan ini adalah efek sains buatan yang diterbangkan dari hutan-hutan Kalimantan dan Riau. Kemarin, para pakar sudah berhasil merekayasanya dengan berkarung-karung garam. Butuh waktu yang lama agar hujan sebenar-benarnya hujan tiba dengan selamat.

Paling tidak, kota kami sempat basah oleh hujan. Aroma petrichor sudah berhasil mengalahkan isi-isi buku. Menyapa setiap orang di jalanan, menerbangkan kerinduan awal musim yang tak terperikan.

Karena kamu, adalah rindu yang tak bisa berlabuh~ 

[]


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments