Jalan yang Deja Vu

September 09, 2019

Baca Juga

Saya menyusuri sebuah jalan. Di sebuah pertigaan, saya berbelok. Saya mengikuti alur jalan berbeton itu sembari memperhatikan sekitarnya. Entah kenapa, tempat ini begitu familiar di kepala saya. Deja Vu.

Rumah besar di samping jalan masuknya. Rerimbunan bambu kecil di seberangnya. Hanya berjarak beberapa lemparan batu, meja dan kursi di depan rumah semakin mengukuhkan ingatan. Namun, tak ada warung seperti dalam ingatan saya.

Hanya saja, saya urung mempedulikannya. Satu-satunya prioritas dalam benak saya saat ini adalah menuntaskan pertemuan dengan narasumber. Kami ada temu janji di rumahnya. Tak jauh dari jalan yang familiar itu.

Barangkali, kenangan itu seperti kaktus. Tak butuh banyak-banyak disiram. Tetap tumbuh. (Imam Rahmanto)

Belakangan, saya baru tersadar. Setelah melintasi jalan lain dari perumahan itu, melihat persimpangannya di jalan poros, menyambungkannya dengan jalur awal tadi, gambaran suasana di sekitar rumah itu, ingatan membanjir begitu saja.

Saya masih menyimpan rindu untuk tiga anak di rumah itu. Apa kabar kalian sekarang?

***

"Jadi, tidak mengajar lagi?" tanya sang ibu.

"Kayaknya susah lagi, Bu. Karena saya harus KKN, baru tiga bulan karena digabung dengan PPL," saya mengutarakan keinginan itu kepada keluarganya.

Kami mengelilingi meja makan. Tiga anaknya juga tak ketinggalan membentur-benturkan sendok dan piring.

"Siapa nanti ajar ki anak-anak?" ujarnya lagi.

"Mungkin biar nanti saya tanya temanku, Bu. Satu kelasku juga," tawar saya.

Saya tak berani mengutarakan tentang alasan lainnya kenapa saya harus berhenti dari pekerjaan les privat di rumahnya itu. Beberapa orang sulit memahami bagaimana kerasnya dunia organisasi. Selain harus menjalani salah satu mata kuliah wajib itu, saya harus menjalani tugas baru di lembaga pers kampus. Tentu, tugas-tugas bakal semakin menghimpit.

Tugas mengajar di rumahnya memang bisa digantikan oleh salah seorang teman saya. Akan tetapi, ternyata peran saya sebagai kakak mereka sama sekali tak berubah. Kelak, saya baru tahu, mereka tak bertahan lama dengan kondisi itu.

Keluarga itu benar-benar hangat. Meski bukan rumah pertama tempat saya mengajar privat, mereka menjadi bagian paling spesial dalam perjalanan mengarungi dunia kuliah saya. Apalagi, pertemuan dengan mereka tak dijembatani orang lain atau pihak ketiga.

Saya bertemu dengan sang ibu, di rumah murid privat yang lain. Tanpa basa-basi, ia menawarkan anak-anaknya untuk diajarkan kelas privat. Tanpa perantara. Honor pun, seingat saya masih Rp300 ribu/ 8 kali pertemuan dalam sebulan. Paling tinggi diantara les privat saya yang dijembatani pihak ketiga.

Kalau diingat-ingat, jumlah segitu sudah sangat memuaskan. Saya tak pernah berminat untuk menjadi tutor atau tentor di kelas-kelas privat modern. Barangkali, jiwa saya memang lebih condong untuk menjelajah dan menumbuhkan interaksi. 

Tiga anaknya menjadi murid saya sekaligus. Usianya berbeda-beda. Paling bungsu, perempuan, yang meminta apa saja untuk diajarkan. Karena duduk di bangku SD, saya menyanggupinya. Dia yang paling sering bermanja-manja kepada saya, sekadar meminta diceritakan apa saja.

Kakaknya juga masih SD, menjelang kelas terakhir. Sementara yang paling tua, duduk di bangku SMP.

Momen belajar bersama itu benar-benar lekang di ingatan saya. Istimewanya, kehangatan keluarga itu mengalir hingga ke meja makan.

Saya takkan boleh memulai jam mengajar tanpa mengisi perut terlebih dahulu, selepas magrib. Seperti sebuah keluarga, kami mengelilingi meja makan. Mengobrolkan hal-hal remeh, hingga pemerintahan. Karena suami-istri itu memang bekerja di bawah naungan pemerintahan kabupaten. Malah, kini sang suami menjadi sekda.

Saat Isya tiba, kami akan rehat belajar sejenak. Anak-anak akan mengekor saya untuk berjamaah.

"Ayo kapan-kapan pergi ke pantai deh. Jalan-jalan disana," saya mengajak ketiganya, yang sedang berkutat dengan buku tulisnya.

Mereka menanggapinya dengan dengan mata berbinar. Sayangnya, belum selesai saya mewujudkan keinginan itu, kami sudah tak bertemu lagi.

Satu-satunya janji yang sempat saya tunaikan bersama mereka adalah duduk berempat di warung bakso. Letaknya tak jauh dari rumah mereka. Hanya menyusur jalan beton di samping rumah. Warung itu hanya sepetak ruang di depan rumah, dengan gerobak, kursi-kursi, dan meja.

Dua anak merangkul saya di jok belakang motor. Sementara yang paling tua menggowes sepedanya sendiri. Kami berkejaran di antara orang-orang yang baru pulang dari salat Magrib.

"Disini mi paling enak baksonya," ujar sang kakak, saat menyandarkan tangannya di meja.

Kelak, tawa canda di antara mangkuk-mangkuk bakso itu menjadi momen "refreshing" terakhir kami. Tak ada lagi momen selanjutnya, seperti yang kami rencanakan ke anjungan Losari.

Prioritas berganti arah. Ingatan berjalan dilibas waktu. Entah, apakah mereka masih mengingat saya

***

Kenangan, dalam bentuk apa pun, selalu kekal di kepala. Setiap hal punya ruangnya masing-masing. Entah kita kehilangan kuncinya atau menyimpannya rapat-rapat agar tak membuncah begitu saja.

Karena hakikatnya, kenangan tak bisa dihapus. Cara terbaik adalah dengan menyimpannya rapat-rapat. Kelak, kita mengingatnya bukan karena ingin kembali. Sekadar menikmati, layaknya film yang diputar di kepala.

***

Beberapa waktu lalu, seseorang menohok kepala saya. Ia membuka dan mengirimkan link melalui pesan Whatsapp. 

"Coba dibuka. Apakah tidak ada yang aneh?" sambarnya.

Saya membukanya langsung dari genggaman. Mengeceknya seksama. Bagi saya, tak ada yang terlihat aneh dengan tautan halaman rumah ini.

"Apanya? Biasa-biasa saja kok. Di hapeku bisa terbuka," saya menjawabnya sembari mengirimkan screenshot halaman tersebut.

Saya baru mengerti. Bukan keanehan tampilan yang dimaksudnya. Bukan kerusakan atau hal lainnya.
Justru lebih dalam daripada itu.

Katanya, rumah saya terlihat banyak jaring laba-labanya.

Akh, saya mengerti (sekaligus tersindir). Sudah lama saya tak pulang. Terima kasih..



--Imam Raahmanto--


You Might Also Like

0 comments