Hujan masih bertandang ke tempat ini. Piasnya berhamburan tak tertahankan. Jika berlangsung dua jam, genangan pasti muncul dari bongkahan aspal yang menganga di tengah jalan poros. Ada rasa sesal karena tak membungkus badan dengan jaket. Keluar rumah, kepala hanya dicekoki dengan ragam deadline.
Sebenarnya, banyak hal yang terlewat beberapa hari ini. Saya sendiri tak tahu harus memulai dari mana. Kebanyakan terlintas ibarat sekelebat bayangan. Tahu warnanya, tanpa mau repot-repot mendeskripsikannya. Hal semacam itu juga berlalu hampir setiap hari.
Beberapa hari yang lalu, saya sudah mendengar sekelebatan kabar tentang rolling penempatan jurnalis di masing-masing daerah. Hanya saja, kejelasannya masih simpang-siur. Barulah hari ini, saya mendapatkan kepastian yang ikut menyambar separuh perasaan. Bukan perempuan saja yang butuh kejelasan.
Keputusan rolling dari markas akan berlaku per 1 April mendatang. Anggap saja, saya sudah harus menyandang ransel, awal bulan depan. Rencananya, tempat berpijak yang baru berada di bumi Arung Palakka a.k.a Bone. Di sanalah saya akan memulai fondasi suasana baru, seumpama membangun kehidupan baru. Sayangnya, tetap seorang diri. Kasihan.
Ada perasaan berat meninggalkan Enrekang. Bukan seberat rindunya Dilan pada Milea. Entah kenapa, rasa rindu saya akan terus bersemayam di sini. Tak peduli jika 80 persen orang-orang yang saya temui sepanjang bertugas (tahun lalu) adalah orang-orang baru. Pada kenyataannya, saya merasakan sebenar-benarnya pulang di balik pelukan bukit dan lembahnya. Sebagian besar terus saja beririsan dengan kenangan masa silam.
Pemandangan dari bukit Mata Dewa, tak jauh dari pusat kota. (Imam Rahmanto) |
Bagi saya, ada perbedaan mendasar antara kampung ini dan kabupaten lain.
Kabupaten lain takkan pernah menawarkan rumah untuk pulang ke masa-masa kecil saya. Di tempat ini, saya seolah menjadi apa adanya masa lalu. Orang-orang masih mengenal saya sebagai anak bertubuh kecil yang selalu dielu-elukan sekolah, anaknya mas "ini", temannya itu, dan masih menawarkan pelukan untuk terus mengakrabinya. Logat saya juga masih tenteram dalam separuh kepribadian.
Ketika berada di kabupaten lain, saya takkan tahu lagi kemana tempat pulang. Makassar atau Enrekang bakal menjadi tempat yang asing. Seolah keduanya hanya jadi tempat persinggahan dari keping puzzle hidup saya. Disana, saya tak punya siapa-siapa lagi. Kelak, Enrekang hanya akan menyisakan bayang-bayang masa lalu bahwa: saya pernah besar disini dan mengalami segala hal menyenangkan dari tempat ini.
Meski bapak dan ibu berada jauh di Jawa, berkumpul bersama keluarga besar yang lain, saya masih merasakan tanah Massenrempulu sebagai tempat pulang dan beristirahat yang paling baik. Kamar yang bukan milik saya, justru serasa rumah bagi kerinduan pada orang tua. Lelah saya, bisa luluh hanya dengan memandangi elok pegunungannya, yang sekali-kali mengantarkan perjalanan masa kanak-kanak. Senyuman bersahabat warga seolah merangkul dan menjadi pengganti keluarga yang berada jauh disana. Toh, kenalan-kenalan di dataran Duri pula yang menjadi penyambung kenangan bapak selama 25 tahun berada di Enrekang.
"Kamu pernah jalan-jalan ke rumahnya Bapak.....?"
"Sudah pernah kesana? Wah, itu dulu tempatnya bapak kalau menjual. Jalannya masih rusak? Atau sudah bagus?"
"Bagaimana sekarang kabarnya mereka? Kemarin baru nelepon dan nanya kamu,"
"Bapaknya anu meninggal. Kamu sudah melayat dari sana?"
"Eh, katanya Pak anu sudah dilantik jadi ketua ya? Pak anu tak ada lawannya?" sampai urusan politik juga berkembang dalam benak bapak karena pernah hidup bertetangga dengan mereka.
"Eh, katanya Pak anu sudah dilantik jadi ketua ya? Pak anu tak ada lawannya?" sampai urusan politik juga berkembang dalam benak bapak karena pernah hidup bertetangga dengan mereka.
Masih ada nuansa yang menyejukkan, bahwa Enrekang adalah bagian dari kehidupan bapak dan mamak. Logat adik saya, justru masih menempel begitu lekatnya. Dia tak pernah peduli logat itu mencemari adaptasinya dalam berkomunikasi dengan teman-teman barunya di Jawa. Bagaimana pun, ia dan saya sadar, tanah ini adalah rumah kedua bagi keluarga kami.
Pagi dari atas Bukit Mata Dewa, Enrekang. Diantara rumah-rumah itulah saya menghabiskan deadline. (Imam Rahmanto) |
Perjalanan di Enrekang memang terasa sangat sederhana. Tak banyak waktu untuk menjelajahi berbagai momen memanggul carrier dan memancang tenda. Waktu seolah berteriak pada saya, "Waktumu sudah selesai. Ganti pemain!" di saat saya belum menikmati semua keindahan perbukitan yang lain. Hanya puncak Pegunungan Latimojong yang begitu membekas dalam proses pencapaian terbesar saya selama belajar jadi anak gunung.
Teman-teman silih berganti mengulurkan jabat tangannya. Segala rupa saya temukan dan sambut baik, yang ikut menyusupkan kebiasaan baru. Saya belajar kebiasaan baru itu dan mungkin tetap mengakar dalam perjalanan saya kelak; kopi, literasi, fotografi, dan mendaki.
Saya akan tetap menasbihkan Enrekang sebagai tempat pulang. Sering-seringnya, saya harus bisa menyemai kenangan di tempat ini. Menyusurinya satu per satu. Membauinya perlahan seumpama menyesap kopi. Tak perlu sempurna. Cukup dengan hal-hal sederhana.
Einstein memang selalu mewanti-wanti soal relativitas waktu. Barangkali, karena telanjur menikmati bagian itu, saya abai mengamatinya, yang ternyata sudah berjalan terlampau cepat. Kenangan-kenangan tetiba melintas bak putaran roda. Setelah melihat jam di tangan, saya baru sadar, "Sial, bucket-wish-list saya masih banyak!"
"Barangkali, karena masih banyak yang mau dieksplore, makanya kamu diarahkan kesana," ujar seorang kawan.
Untuk hal itu, saya terpaksa mengencangkan ikat ransel, mengisinya dengan kopi kalosi, menyelipkan tripod, melipat tenda, hingga menguatkan tekad. Yah, kalau tugas "rakyat" sudah memanggil, kami mau apa. Jadikan saja jembatan tantangan. Semoga muncul hal baik untuk perjalanan bulan esok.
(Foto: Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
- Maret 21, 2018
- 2 Comments