Kiriman
Maret 04, 2018Baca Juga
"Waduh, maaf, Pak. Kalau powerbank kayaknya tidak bisa dikirim," ujar pegawai yang berhadapan dengan komputernya. Saya terpaksa menyisihkannya.
Saya harus mengirimkan gawai untuk adik saya. Sudah dua tahun lamanya gawai ini menemani perjalanan saya dalam tugas-tugas jurnalistik maupun keseharian sekadar menuliskan "hal-hal-tak-berguna". Sudah waktunya ia berpindah tangan, sebagaimana yang sudah saya janjikan.
Pun sebenarnya, adik saya juga masih memegang gawai hadiah masa-masa awal saya bekerja dulu. Hanya saja, kerap kali ia lebih banyak mengeluhkannya. Wajar, kualitas kadang tak pernah jauh-jauh dari harga.
"Tidak usah dipaksakan juga, Kak. nanti apa mupake?" tanyanya. Meski sudah lebih setahun hidup di Jawa, logat ketimuran adik saya masih terselip sesekali. Kelak, tetap saja bahasa Jawanya bakal lebih bagus dibanding kakaknya.
"Ada, kok. Lha kan saya bisa beli baru,"
Jika disuruh memilih, adik saya justru lebih menginginkan gawai itu. Ia tak lagi terobsesi untuk mendapatkan hadiah gawai baru, fresh from the open. Gawainya sekarang jadi pengalaman pahit bahwa "kakakmu tidak akan membelikan yang mahal-mahal". Haha...padahal, kali ini saya benar-benar berniat membelikan yang lebih bagus dibanding dua tahun silam.
Pada beberapa titik, saya sudah sewajarnya merayakan kebahagiaan. Membagikannya untuk keluarga terdekat. Untuk adik, yang masih akan menjadi orang paling "merepotkan" sedunia. Meski begitu, herannya, saya dengan senang hati saja bersedia "direpoti"nya.
Bapak pernah bilang, pemberian paling berharga itu adalah untuk orang-orang terdekat, yaitu keluarga sendiri. Karena di sanalah tempat kita akan pulang.
Saya belajar untuk mendaratkan sekecil-kecil pemberian untuk keluarga. Dulu, saya mengawalinya dengan hal-hal sederhana seperti pulsa, mesin jahit portabel, atau pengemas label yang saya pesankan lewat jejaring online. Setidaknya, hal semacam itu justru bisa menjadi sumber komunikasi yang menghubungkan keluarga. Bapak atau mamak jadi punya alasan untuk berkomunikasi via sambungan telepon. Meski sekadar ungkapan pembuka, "Barang itu kemarin kamu yang kirim ya?" yang berlanjut kabar-kabar pengingat dari jauh. Selama bapak juga bisa bilang, "Ya, itu kemarin sudah dipakai mamakmu. Bagus, kok," sudah sanggup membuat mata saya kepalang berkaca-kaca.
Kadang-kadang, saya memang masih terbiasa mengabaikan pembicaraan dengan bapak. Ada kalanya saya tak tahu hendak membicarakan apa, hingga saya menjawab saja seadanya. Tentu saja, telepon bakal ditutup hanya dalam hitungan menit.
Beberapa hari lalu, saya tanpa sadar menumpahkan air mata. Serius, baru kali ini saya kembali sesenggukan setelah sekian lama tak menangis. Pemicunya adalah salah satu adegan film Into The Wild. Ingatan saya langsung terbang ke masa-masa pernah menghilang (didn't want to be found) dari keluarga. Betapa saya sadar (dan tertampar), barangkali, ayah saya juga merasakan penyesalan yang sama dengan ayah sang tokoh utama dalam film itu? Memendam amarah yang membara, tetapi masih menyisakan ruang lain di dadanya dengan rindu yang teramat berat dan menyesakkan.Sudah Dilan bilang, kan, rindu itu berat.
Saya tak ingin menahan-nahannya. Saya biarkan saja air mata mengucur begitu deras dan bebas. Sudah lama tak merasai kesedihan semacam itu. Hidung saya sampai tersumbat. Beruntung, tak ada yang tiba-tiba datang ke kamar dan memergokinya. Selepas itu, saya merasa lega.
Kebahagiaan juga selalu datang dalam berbagai wujud. Tanpa kita tahu, ujug-ujug datang dalam bentuk limpahan materi. Di waktu lainnya lagi, berwujud petualangan-petualangan seru bersama teman. Di waktu berbeda lagi, sembuh dari sakit tanpa perlu obat dan dokter.
Kebahagiaan memang harus dibagi. Tanpa orang lain, kita hanya mencoba untuk berbahagia. Akan tetapi, sejatinya, kebahagiaan itu muncul ketika kita berusaha membahagiakan orang lain. Bukan semata-mata berharap dibahagiakan orang lain. Dan keluarga, seharusnya menjadi tempat berbagi kebahagiaan yang hakiki.
Saya harus mengirimkan gawai untuk adik saya. Sudah dua tahun lamanya gawai ini menemani perjalanan saya dalam tugas-tugas jurnalistik maupun keseharian sekadar menuliskan "hal-hal-tak-berguna". Sudah waktunya ia berpindah tangan, sebagaimana yang sudah saya janjikan.
Pun sebenarnya, adik saya juga masih memegang gawai hadiah masa-masa awal saya bekerja dulu. Hanya saja, kerap kali ia lebih banyak mengeluhkannya. Wajar, kualitas kadang tak pernah jauh-jauh dari harga.
"Tidak usah dipaksakan juga, Kak. nanti apa mupake?" tanyanya. Meski sudah lebih setahun hidup di Jawa, logat ketimuran adik saya masih terselip sesekali. Kelak, tetap saja bahasa Jawanya bakal lebih bagus dibanding kakaknya.
"Ada, kok. Lha kan saya bisa beli baru,"
Jika disuruh memilih, adik saya justru lebih menginginkan gawai itu. Ia tak lagi terobsesi untuk mendapatkan hadiah gawai baru, fresh from the open. Gawainya sekarang jadi pengalaman pahit bahwa "kakakmu tidak akan membelikan yang mahal-mahal". Haha...padahal, kali ini saya benar-benar berniat membelikan yang lebih bagus dibanding dua tahun silam.
(Imam Rahmanto) |
***
Pada beberapa titik, saya sudah sewajarnya merayakan kebahagiaan. Membagikannya untuk keluarga terdekat. Untuk adik, yang masih akan menjadi orang paling "merepotkan" sedunia. Meski begitu, herannya, saya dengan senang hati saja bersedia "direpoti"nya.
Bapak pernah bilang, pemberian paling berharga itu adalah untuk orang-orang terdekat, yaitu keluarga sendiri. Karena di sanalah tempat kita akan pulang.
Saya belajar untuk mendaratkan sekecil-kecil pemberian untuk keluarga. Dulu, saya mengawalinya dengan hal-hal sederhana seperti pulsa, mesin jahit portabel, atau pengemas label yang saya pesankan lewat jejaring online. Setidaknya, hal semacam itu justru bisa menjadi sumber komunikasi yang menghubungkan keluarga. Bapak atau mamak jadi punya alasan untuk berkomunikasi via sambungan telepon. Meski sekadar ungkapan pembuka, "Barang itu kemarin kamu yang kirim ya?" yang berlanjut kabar-kabar pengingat dari jauh. Selama bapak juga bisa bilang, "Ya, itu kemarin sudah dipakai mamakmu. Bagus, kok," sudah sanggup membuat mata saya kepalang berkaca-kaca.
Beberapa hari lalu, saya tanpa sadar menumpahkan air mata. Serius, baru kali ini saya kembali sesenggukan setelah sekian lama tak menangis. Pemicunya adalah salah satu adegan film Into The Wild. Ingatan saya langsung terbang ke masa-masa pernah menghilang (didn't want to be found) dari keluarga. Betapa saya sadar (dan tertampar), barangkali, ayah saya juga merasakan penyesalan yang sama dengan ayah sang tokoh utama dalam film itu? Memendam amarah yang membara, tetapi masih menyisakan ruang lain di dadanya dengan rindu yang teramat berat dan menyesakkan.
Saya tak ingin menahan-nahannya. Saya biarkan saja air mata mengucur begitu deras dan bebas. Sudah lama tak merasai kesedihan semacam itu. Hidung saya sampai tersumbat. Beruntung, tak ada yang tiba-tiba datang ke kamar dan memergokinya. Selepas itu, saya merasa lega.
Kebahagiaan juga selalu datang dalam berbagai wujud. Tanpa kita tahu, ujug-ujug datang dalam bentuk limpahan materi. Di waktu lainnya lagi, berwujud petualangan-petualangan seru bersama teman. Di waktu berbeda lagi, sembuh dari sakit tanpa perlu obat dan dokter.
Kebahagiaan memang harus dibagi. Tanpa orang lain, kita hanya mencoba untuk berbahagia. Akan tetapi, sejatinya, kebahagiaan itu muncul ketika kita berusaha membahagiakan orang lain. Bukan semata-mata berharap dibahagiakan orang lain. Dan keluarga, seharusnya menjadi tempat berbagi kebahagiaan yang hakiki.
"Happiness only real when shared." [Into The Wild]
--Imam Rahmanto--
2 comments
Percakapan dengan bapak memang seperti itu, ya. Seada-adanya saja, menjawab "ya" karena tidak (tahu) mau bilang apa-apa. 😅
BalasHapusDibiasakan bicara baik2, supaya kalau sudah saatnya mengutarakan nama anaknya orang (yang dimaui), sudah tidak canggung lagi. #ehh. Hahahaha
Hapus