Kopi dan Candu

Februari 20, 2018

Baca Juga

Saya baru saja menerima paket coffee grinder dari belanja online yang sudah dipesan beberapa waktu lalu. Bukan milik saya, karena saya hanya memesankan bapak tua pemilik warkop yang menjadi tongkrongan saban hari. Saya cuma prihatin melihatnya sudah memesan alat vietnam drip dengan harga yang jauh lebih tinggi dari realitas pasaran.

"Kalau begitu coba pesankan ka di online-online begitu, nak. Ndak pernah ka pesan begitu kodong," tuturnya, beberapa hari lalu. 

Soal harga, ia tak begitu pusing memikirkannya. Beda dengan saya yang harus berpikir berulang-ulang jika ingin memesan alat yang seharga dengan tas ransel gunung itu.

Gara-gara itu (dan setelah menunjukkan banyak contoh video dan gambar kopi modern dkk), sang bapak juga sampai ingin memesan mesin espresso. Harganya jutaan. Padahal, pemilik warkop itu masih belum banyak tahu tentang seluk-beluk sajian kopi. Ia hanya bertekad bisa mengolah sajian kopi terbaik untuk pelanggan-pelanggannya.

"Kalau mesin begituan, Om, bukan buat bikin kopi seperti umumnya. Mesin itu lebih cocok untuk bikin sajian jenis-jenis kopi modern, semisal cappuccino, latte, moka, dsb," jelas saya. Namun, blio tetap mau menghadirkan mesin modern itu di warkopnya.

***

"Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetaplah kopi, yang memiliki sisi pahit yang tidak akan mungkin bisa kamu sembunyikan." [Filosofi Kopi, Dewi Lestari]

Kopi bukanlah hal esensial dalam kehidupan saya. Hanya saja, beberapa tahun terakhir sudah cukup lekat dalam kehidupan sehari-hari. Dimulai dari masa-masa kuliah, hingga merasai bagaimana cara yang "benar" dalam menikmatinya. 

Tanpanya, seolah ada yang kurang dalam memulai aktivitas atau pekerjaan. Aromanya, sering kali membuat saya lebih sadar ketimbang bau parfum yang diumbar-umbar kaum hawa. Lidah saya juga semakin sensitif dalam menebaknya; apakah itu instan-sasetan atau olahan-gilingan. Jangan heran ketika saya mendapatkan tawaran kopi di acara-acara tertentu, mata saya akan teliti memeriksa sumbernya. Jika tak sesuai keinginan, saya akan menolak halus atau bercanda, "Coba deh ke kosan. Kopi buatanku lebih enak."

Heran, dari mana saya begitu paham tentang perkopi-kopian? Saya baru setahun berkenalan intensif dengan kopi di daerah ini. Dulu, saya hanya jadi pengunjung yang rutin memesan kopi-susu (di warkop) dan cappuccino (di kafe modern) saat menjalankan tugas di Makassar. Beralih ke kampung, lha kok jadi "kurator kopi". Haha....

Terlepas dariitu, saya patut membanggakannya dengan waktu-waktu menjelajah di kampung. Saya punya kesempatan untuk berkenalan dengan banyak hal, termasuk kopi. Kalau dulu saya mengkategorikan kopi-pahit sebagai bagian yang paling kontradiktif dari kecintaan terhadap cappuccino, sekarang hal itu beralih agak positif. 

Saya seringkali disuguhi sajian manual brewing (yang hasilnya pahit) oleh teman lain yang juga pemilik kafe di daerah ini. Bahkan darinya, saya lambat-laun belajar tentang seluk-beluk kopi. Semenjak memulai perjalanan tugas di Enrekang, saya mulai menghentikan kebiasaan minum cappuccino sasetan. Bukan pula kopi sasetan yang bergambal kapal lau. Saya beralih dengan kopi yang sebenarnya, yang benar-benar diolah dari para petani kopi. 

Kopi apa yang manis? Kopinang dia dengan Bismillah. 

Sedikit demi sedikit, saya mengintip alat-alat modern di kafe. Bertanya hal-hal dasar tentang pengolahan menu kopi hingga penggunaan alat-alatnya. Malah, saya selalu punya kesempatan membuat cappuccino racikan sendiri jika berada di sana. Sedikit-sedikit, saya jadi paham mengoperasikan mesin espresso sederhana hingga melakukan frothing susu. Istilahnya berat ya? Oke, fix, kamu gak usah. Biar aku saja.

Saya pernah berharap punya sedikit momen cara-cara penyajian kopi yang bersetetika itu. Ternyata, harapan yang sudah jauh beberapa tahun itu merupa jadi kenyataan. Dari pengalaman-pengalaman di tempat ini, saya melengkapi "dapur pribadi" dengan alat-alat sederhana tentang espresso; moka pot. Dari pengalaman itu pula, saya menghasut beberapa teman untuk menikmati kopinya lewat moka pot. Toh, mereka juga baru menyadari bahwa kopi tak sekadar disiram air panas - ditambah gula - diaduk.

"Kopi boleh pahit. Hidupmu jangan," quote klasik dari film lokal Uang Panaik.

Sesungguhnya, kopi pahit, asal diolah dengan benar, justru punya cita rasa yang beraneka ragam. Khusus arabika. Teman saya membuktikannya lewat berbagai suguhan gratis manual brewing-nya. Bukannya mendapatkan rasa pahit, yang ada malah rasa hangat. Bukan pula, rasa-yang-dulu-pernah-ada.

Hangat dan kedamaian semacam itu banyak saya temukan di daerah-daerah dataran tinggi. Apalagi Enrekang surganya aroma arabika. Suhu yang dingin, cukup mudah dihalau dengan kopi dan senyuman yang hangat.

Saya pernah berkesempatan menginap di rumah salah satu petani kopi pedalaman. Sepulangnya dari sana, saya malah dititipi biji kopi yang sudah disangrai modern. Rasanya pengen nangis, mengingat saya yang sudah menambah sempit gubuknya yang ditinggali istri dan sembilan orang anaknya. Karena itu, momen menyesap kopi selalu berbaur dengan ingatan nasib petani kopi di perkampungan.

Pemandangan kebun kopi menjadi hal lazim di Enrekang. (Imam Rahmanto)

Momen menyeduh kopi juga punya seni tersendiri. Bangun pagi-pagi, badan langsung bergerak untuk menakar kopi. Membaui aromanya. Menyalakan kompor. Menuang air. Menjerangnya. Nyala api tak utuh waktu lama menaikkan suhu dan tekanan air agar menghasilkan kopi dan sedikit crema dari alat moka pot. Sayangnya, saya masih kekurangan alat untuk bisa menambahkan foam atau frothing susu. Besok-besok, bisa dicoba dengan french press.

Dari momen-momen sederhana semacam itu, kita diajarkan untuk menikmati proses. Ada proses yang indah dalam menyajikan kopi. Dan lagi, proses memang selalu lebih penting dalam perjalanan menggapai sesuatu.

Pada akhirnya, saya memang bukan pecinta kopi. Saya hanya menjadi salah satu penikmat yang ingin merasai berbagai pengalaman dari hal-hal yang menyertainya. Suatu waktu, mari berjumpa dengan saya, yang akan sukarela 'cerewet' tentang kopi sembari menyeduhnya dengan senyuman.

Sebenar-benarnya menikmati kopi adalah bagaimana kita mengingat jerih payah mereka yang sudah menanam dan merawatnya. Sebenar-benar menikmatinya, juga tentang bagaimana kita menghargai biji kopi tak melulu dari kisaran harga. Pun, proses membuatnya perlu dinikmati dalam-dalam.

Kopi, manual grinder, dan moka pot. Cobalah! (Imam Rahmanto)


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

0 comments