Sepuluh-Sebelas
Februari 17, 2018Baca Juga
Saya mengira, hujan akan pergi dari Februari. Pada kenyataannya, hujan masih sering membasahi kampung kami. Ada kalanya sampai memberontak dan menumbangkan satu-dua tiang listrik di daerah rawan longsor. Jangan heran, kami harus rela bergelap-gelapan, setiap malam. Beruntung, pemadaman tak sampai menghabiskan satu lagu.
Seperti kata orang, bulan ini akan penuh dengan kasih sayang. Saya merasa biasa-biasa saja. Sejatinya, kasih sayang itu seharusnya ada setiap hari. Tuhan menyayangi kita setiap helaan napas. Kenapa mesti dibagi dalam satu hari saja? Saya tergolong orang yang diam-diam saja menyaksikan hari kasih sayang itu. Namun, tak perlu asal main haram juga. Lihat, kan, bagaimana orang-orang yang terlalu epik dan fanatik menolak adanya hari kasih sayang itu? Segalanya diperdebatkan antara "halal" dan "haram".
Adik saya sudah cukup baik menyampaikan kasih sayangnya, tujuh hari lalu. Saya hampir mbrebes mili membaca sekadar mention-annya di facebook. Padahal, saya memang sengaja tak memasang notifikasi yang selalu jadi andalan media sosial itu. Bagi saya, kebanyakan orang sudah mulai melupakan esensi "sedikit bekerja keras". Maunya yang instan-instan melulu. Mengingat tanggal kelahiran orang lain seharusnya memang digali dari dalam memory kepala. Bukan memory mesin. Apakah kita akan selalu menyerahkan segalanya kepada mesin?
Adik saya sukses mencatatkan hal itu. Bahkan, detail yang sebenarnya tak begitu saya ingat, sengaja dijabarkannya. Saya otomatis baru tahu kalau ternyata saya lahir tengah malam. Bapak juga pernah mencatat momen kelahiran putra pertamanya itu di sebuah buku catatan usang.
Momen itu justru saya nikmati dari atas ketinggian Enrekang. Seorang teman kembali mengajak camping. Jaraknya tak begitu jauh dari perkotaan. Pun, tak jauh dari jalan setapak yang kerap dilalui masyarakat. Dari atas lokasi itu, kami bisa menyaksikan kerlap-kerlip lampu kota dengan sempurna. Seperti musimnya, hujan membuat kami mempercepat berdirinya tenda. Oiya, besok-besok, saya sudah bisa menjelajah kemana pun karena sudah punya tenda sendiri. Yeay!!
Telepon adik saya juga sempat tembus hingga ke atas bukit. Ia menyambungkan telepon bersama salah seorang sepupu kami. Barangkali, adik sepupu saya itu sedang berada di Jawa. Sayangnya, belum sempat mengucapkan "hal penting", saya keburu menutup telepon karena sambungan sinyal agak buruk. Maka meluncurlah hal penting itu lewat status facebooknya.
"Semoga....bla-bla-bla,"
Orang-orang jadi latah mendoakan hal-hal lazim karena ucapan adik saya itu. Saya jadi tak tahu harus membalasnya dengan apa.
Sepertinya, saya memang tak punya terlalu banyak keinginan. Kenyataannya, Tuhan sedang berbaik hati selama saya berada di "kampung halaman" ini. Ia mewujudkan hampir semua keinginan saya. Oh, setidaknya, barang-barang yang sempat saya tuliskan di buku atau secarik kertas di dinding hadir dengan cara-cara yang mengesankan.
Dari hal-hal itu, saya dikembalikan pada ingatan yang lalu. Momen menuliskan "apa-yang-saya-mau" itu pernah berlangsung sangat konsisten. Saya punya buku jurnal yang di belakangnya tertuliskan segala hal. Materi atau sekadar keinginan. Bahkan, saya pernah merobeknya dan menyimpan dalam dompet agar terbawa kemana pun. Hingga pada akhirnya, kertas itu basah oleh hujan. Saya lupa bagaimana nasibnya sekarang.
Ternyata, menuliskan hal-hal yang diinginkan justru menjadi penghubung saya dengan semesta. Saya mempercayai hal itu. Semakin sering menenggelamkan diri dalam kesunyian di kampung ini, semesta juga akan semakin mudah bersinkronisasi dengan pikiran saya. Saya jadi punya kesempatan untuk berbicara banyak hal, dari (alam) hati ke hati. Membingungkan, bukan?
Anggap saja itu lebay atau berlebihan. Akan tetapi, menurut saya, bepergian ke tempat-tempat jauh justru membawa kita semakin dekat kepada alam bawah sadar. Realitanya, semesta takkan pernah berbicara pada kita. Hanya saja, ia akan menjembatani agar kita mampu dan mau berbicara pada diri sendiri. Karena untuk bisa merenung, kita butuh tempat-tempat yang tidak menciptakan bising.
"Apa yang kamu inginkan?"
Katakanlah, tidak untuk dilupakan...
Seperti kata orang, bulan ini akan penuh dengan kasih sayang. Saya merasa biasa-biasa saja. Sejatinya, kasih sayang itu seharusnya ada setiap hari. Tuhan menyayangi kita setiap helaan napas. Kenapa mesti dibagi dalam satu hari saja? Saya tergolong orang yang diam-diam saja menyaksikan hari kasih sayang itu. Namun, tak perlu asal main haram juga. Lihat, kan, bagaimana orang-orang yang terlalu epik dan fanatik menolak adanya hari kasih sayang itu? Segalanya diperdebatkan antara "halal" dan "haram".
Adik saya sudah cukup baik menyampaikan kasih sayangnya, tujuh hari lalu. Saya hampir mbrebes mili membaca sekadar mention-annya di facebook. Padahal, saya memang sengaja tak memasang notifikasi yang selalu jadi andalan media sosial itu. Bagi saya, kebanyakan orang sudah mulai melupakan esensi "sedikit bekerja keras". Maunya yang instan-instan melulu. Mengingat tanggal kelahiran orang lain seharusnya memang digali dari dalam memory kepala. Bukan memory mesin. Apakah kita akan selalu menyerahkan segalanya kepada mesin?
Adik saya sukses mencatatkan hal itu. Bahkan, detail yang sebenarnya tak begitu saya ingat, sengaja dijabarkannya. Saya otomatis baru tahu kalau ternyata saya lahir tengah malam. Bapak juga pernah mencatat momen kelahiran putra pertamanya itu di sebuah buku catatan usang.
Momen itu justru saya nikmati dari atas ketinggian Enrekang. Seorang teman kembali mengajak camping. Jaraknya tak begitu jauh dari perkotaan. Pun, tak jauh dari jalan setapak yang kerap dilalui masyarakat. Dari atas lokasi itu, kami bisa menyaksikan kerlap-kerlip lampu kota dengan sempurna. Seperti musimnya, hujan membuat kami mempercepat berdirinya tenda. Oiya, besok-besok, saya sudah bisa menjelajah kemana pun karena sudah punya tenda sendiri. Yeay!!
Kebiasaan baru. (Imam Rahmanto) |
Telepon adik saya juga sempat tembus hingga ke atas bukit. Ia menyambungkan telepon bersama salah seorang sepupu kami. Barangkali, adik sepupu saya itu sedang berada di Jawa. Sayangnya, belum sempat mengucapkan "hal penting", saya keburu menutup telepon karena sambungan sinyal agak buruk. Maka meluncurlah hal penting itu lewat status facebooknya.
"Semoga....bla-bla-bla,"
Orang-orang jadi latah mendoakan hal-hal lazim karena ucapan adik saya itu. Saya jadi tak tahu harus membalasnya dengan apa.
Sepertinya, saya memang tak punya terlalu banyak keinginan. Kenyataannya, Tuhan sedang berbaik hati selama saya berada di "kampung halaman" ini. Ia mewujudkan hampir semua keinginan saya. Oh, setidaknya, barang-barang yang sempat saya tuliskan di buku atau secarik kertas di dinding hadir dengan cara-cara yang mengesankan.
Dari hal-hal itu, saya dikembalikan pada ingatan yang lalu. Momen menuliskan "apa-yang-saya-mau" itu pernah berlangsung sangat konsisten. Saya punya buku jurnal yang di belakangnya tertuliskan segala hal. Materi atau sekadar keinginan. Bahkan, saya pernah merobeknya dan menyimpan dalam dompet agar terbawa kemana pun. Hingga pada akhirnya, kertas itu basah oleh hujan. Saya lupa bagaimana nasibnya sekarang.
Ternyata, menuliskan hal-hal yang diinginkan justru menjadi penghubung saya dengan semesta. Saya mempercayai hal itu. Semakin sering menenggelamkan diri dalam kesunyian di kampung ini, semesta juga akan semakin mudah bersinkronisasi dengan pikiran saya. Saya jadi punya kesempatan untuk berbicara banyak hal, dari (alam) hati ke hati. Membingungkan, bukan?
Anggap saja itu lebay atau berlebihan. Akan tetapi, menurut saya, bepergian ke tempat-tempat jauh justru membawa kita semakin dekat kepada alam bawah sadar. Realitanya, semesta takkan pernah berbicara pada kita. Hanya saja, ia akan menjembatani agar kita mampu dan mau berbicara pada diri sendiri. Karena untuk bisa merenung, kita butuh tempat-tempat yang tidak menciptakan bising.
"Apa yang kamu inginkan?"
Katakanlah, tidak untuk dilupakan...
--Imam Rahmanto--
0 comments