Bulan dan Momentum
Februari 04, 2018Baca Juga
*Catatan: untuk mematikan suara musiknya, silakan pause pada playlist di atas.
Seandainya saya bisa membekukan waktu barang sejenak, mantra itu akan berguna.
Pemandangan langit sedang indah-indahnya. Purnama kelihatan agak lebih besar dibanding biasanya, supermoon. Cahayanya menyebar di seluruh penjuru langit. Tak ada lagi taburan kerlip bintang yang menimpa kami. Entah bagaimana caranya, awan juga enggan mendekat. Ia membiarkan purnama terus menggelinding ke arah barat. Hingga kami tak lagi terjaga.
Dua teman perempuan sudah lebih dulu meringkuk ke dalam tenda. Satu teman lainnya juga sudah masuk ke tenda di depannya. Hanya menyisakan kami bertiga, yang masih betah beratapkan langit. Sleeping bag sudah membungkus sekujur badan saya. Meski cuaca tak sedingin dataran tinggi lainnya, udara malam tak patut diremehkan. Bisa-bisa, kami pulang dalam keadaan meriang.
Acara ngopi-ngopi juga sudah tandas. Bekas api unggun masih membara. Tersisa, kami yang sudah harus lelap di pembaringan masing-masing. Akan tetapi, saya ingin menikmati lelap dari atas bukit ini. Untuk pertama kalinya, saya bisa berbaring langsung tanpa dibatasi sekat langit-langit. Namun, benar-benar langit. Utuh.
Betapa momen ini teramat istimewa. Itulah kenapa saya butuh belajar melafalkan arresto momentum! Berbaring beratapkan langit. Bermandikan cahaya rembulan, yang baru saja melewati fase gerhana. Bertemankan bintang. Berlantaikan rumput. Berselimutkan desau angin. Bersenandungkan siulan serangga malam. Tak ketinggalan, sapi-sapi di sekitar tanah gembala yang ikut bernyanyi lewat perkusi bel dari lehernya.
Saya tak tahu, pada menit keberapa, lewat tengah malam, saya pulas menikmati mimpi...
Bunga tidur yang mekar sempurna. Penat luluh seketika.
***
"Kemana camping kali ini?" tanya saya.
Teman saya sudah terbiasa menghabiskan akhir pekan dengan memanggul ransel dan mendirikan tenda. Kali ini, bukan edisi akhir pekan. Seluruh dunia sedang dihebohkan dengan fenomena tiga fase bulan yang menyatu dalam waktu bersamaan. Supermoon + Bloodmoon Eclipse + Bluemoon = Super blue blood moon.
Momen itulah yang tak boleh lagi saya abaikan. Beberapa kali, saya selalu luput dari menikmati momen-momen astronomi yang datang berulang-ulang. Ajakan teman juga mampir tanpa bekas. Padahal, di daerah berjuta bukit tanpa polusi cahaya ini, langit malam adalah hal paling menyenangkan untuk diselami. Bukankah kesempatan tak datang berkali-kali?
Pertama kali menginjakkan kaki di Bukit Dulang atau Buttu Rata, samar-samar rembulan sudah menyambut kami dari balik awan. Malam sudah menyaput perjalanan kami, berenam, yang hanya packing seadanya. Hanya cemilan dan makanan yang diperbanyak. Pun, dua gadis yang turut dalam perburuan diajak tanpa rencana sebelumnya. Biar piknik tak terlalu sadis, kalau diwarnai gadis-gadis manis.
"Biasanya, ajakan yang sifatnya dadakan selalu menghasilkan momen yang keren-keren loh," sepintar-pintarnya saya beralasan. Halah.
Meski gelap sudah tiba, saya harus tersenyum lebar menapaki permukaan bukit ini. Barangkali, ini alasan teman saya (atau warga) menyebutnya Buttu Rata.
Sejauh mata memandang, kelok bukit hanya ditutupi rumput-rumput kecil. Mirip bukit yang selalu muncul dalam serial masa kecil dulu, Teletubbies. Lembah perkebunan warga terbentang di pinggirannya. Dari atas bukit ini, gunung-gunung yang dibelah lajur jalan poros juga terlihat begitu perkasa. Kelak, pagi berikutnya, saya bisa menyaksikan indah bayangannya yang berbaris begitu rapi.
Kami berjalan hingga ujung bukit. Dua tiang berdiri kokoh mengibarkan bendera berbeda.
"Lebih penting kamera dulu dikeluarkan ketimbang pasang tenda," ucap salah satu dari kami.
Detik-detik fase awal super blue blood moon memang tersisa sebentar lagi. Kami harus berburu lebih awal jika menginginkan momen yang hanya terjadi dalam rentang 150 tahun itu. Faktanya, kalau sekadar gerhana bulan total bakal terjadi dua kali dalam tahun ini. Memancang tripod, memasang kamera, hingga melebarkan fokus pandangan ke cahaya paling terang di langit sana.
Lihat, kan? Betapa nyaris-tak beruntungnya perjalanan kami. (Imam Rahmanto) |
Sayangnya, detik-detik berharga itu dihalangi awan yang ramai-ramai berarak. Tak ada seberkas cahaya yang rela dilewatkannya. Kami tak menyangka hal itu, karena siang hari langit terlihat begitu cerah. Biru sebiru-birunya, dengan bintik awan-awan halus. Kenyataannya, langit sedang mengumpulkan pasukan untuk memerangi kunjungan kami di bawah kerajaannya.
Kami terpaksa menghibur diri dengan mendirikan tenda. Sambil menunggu awan menyerahkan rembulannya kembali, kami menghangatkan tubuh dengan bercangkir-cangkir kopi.
Sebenarnya, tak hanya kami yang menantikan gerhana di atas bukit ini. Sekelompok warga asli juga datang dengan membawa satu tenda. Bahkan, salah satunya merupakan anak perempuan berumur empat tahun. Sepertinya, ia bersama sang ayah.
Saya mengenal anak perempuan yang lekat dipanggil Syafa itu. Saya pernah mewawancarai sang ibu, lantaran kegemaran anaknya yang masih kecil untuk mendaki gunung. Kami berjumpa di rumah sakit. Kalau tahu gunung apa saja yang sudah ditaklukkannya, barangkali kita bakal malu jadi orang yang lebih tua darinya. Sesuai dengan namanya, Asfarash Rezky Syandana Rinjani Latimojong, ia telah menaklukkan puncak Rante Mario.
"Ini sudah jam berapa ya? Gerhana totalnya jam berapa? Kayaknya sudah lewat," teman saya risau menanyakan kabar.
"Kubilang memang, tidak ada bloodmoon di Sulawesi Selatan," teman saya sok tahu.
Penantian kami memang berlalu cukup lama. Awan begitu tebal menumpuk. Kami hanya bisa menyaksikan awan berkejaran tanpa memberikan celah untuk rembulan menampakkan diri.
Harapan kami nyaris pupus tatkala seberkas cahaya mulai memerah. Awan pun perlahan memberikan ruang untuk bulan yang sudah terlihat kemerah-merahan. Bulan tak lagi malu. Sang bulan justru gerah dan marah kepada awan yang menghalangi perjumpaan kami.
Meski fase bloodmoon hanya sebentar dan sebagian, rasa puas sudah tergambar dari wajah kedua teman saya. Berkali-kali melihat jepretan foto mereka, saya terpaksa dibuat menggerutu. Jepretan saya tidak lebih epik. Berkali-kali memotretnya, getaran tripod justru membuatnya buram. Dan lagi, sebenarnya, saya masih amatir dalam berburu landscape (m)alam.
Setidaknya, saya tetap berusaha membungkus momen dalam perburuan malam itu. Tak ada yang begitu menyenangkan selain menikmati setiap momen dari mata sendiri. Menikmati sunyi dari atas bukit, yang baru pertama kali saya datangi. Saya juga sudah lama menginginkan sunyi seperti ini. Tak ada gangguan pekerjaan. Tak ada godaan internet. Meskipun sebenarnya sinyal dan jaringan internet masih sangat kuat dari atas bukit itu.
Sunyi malam mengajarkan kita untuk lebih banyak berkontemplasi. Cahaya purnama membuatnya fokus pada satu titik. Bintang yang bertebaran mengukirnya jadi sebuah sketsa. Hawa udara yang dingin mengajarkan cara untuk berbagi kehangatan. Lewat semua itulah kita baru bisa berbincang dengan semesta.
Karena dari semesta, hidup kita bertutur dan diatur....
Karena dari semesta, hidup kita bertutur dan diatur....
***
Sepulangnya dari bukit, kota kami baru kembali diguyur hujan lebat. Esoknya, hujan masih datang bertamu. Pun demikian esoknya lagi. Detik ini pun, hujan masih menemani saya yang menyesap aroma kopi dari meja sebuah kafe.
--Imam Rahmanto--
0 comments