Di Depan Kasir
Januari 28, 2018Baca Juga
Perempuan berjilbab itu nampak familiar. Saya menebak-nebak wajahnya. Mencoba menggali beberapa memori saya. Sayangnya, saya agak ragu. Dia pun sama sekali tak mengenali saya yang sedari tadi mengantri dua giliran di depan kasir minimarket.
Karena hendak membayar tagihan, ia menunggui antrian pembeli di kasir itu. Setelah habis dan menyisakan saya seorang, kasir mulai melayani permintaan pembayaran perempuan kecil itu. Saya masih mencuri-curi raut wajahnya.
"Jadi, atas nama Fika....." ujar kasir berusaha mencocokkan data komputernya.
"Iya..." jawabnya.
Saya tak begitu jelas mendengar nama lengkapnya. Cukup separuhnya, sudah berhasil sedikit meyakinkan saya bahwa: saya mengenalnya! Akan tetapi, saya sendiri heran, sedari tadi berjarak satu meter saja, ia juga tidak mengenali saya. Saya kembali ragu hanya untuk menyapanya.
"Jumlahnya......" sebut kasir itu lagi. Ia pun menyerahkan beberapa lembar uang sesuai dengan permintaan kasir. Tak ada kembalian. Karena menurut kasir, jumlahnya pas.
Tibalah giliran saya yang hanya menenteng satu barang. Hanya sebuah tabung gas 235 gram. Saya tak membeli banyak persediaan cemilan seperti biasanya. Di kamar, masih ada stok yang belum habis. Sementara satu tabung gas untuk kompor portabel itu jauh lebih saya butuhkan karena hendak menyeduh kopi dari moka pot.
"Gas begini memangnya ndak bisa diisi ulang disini ya?" sebenarnya ini adalah pertanyaan basa-basi.
"Iya, memang tidak bisa. Tidak ada lubangnya," jelas mbak kasir sembari membuka penutup kecil gas itu.
"Oiya, mbak tadi itu nama lengkapnya siapa ya? Fika ya?" ini baru pertanyaan utama.
"Namanya Fika....." jawabnya lagi, namun saya tak menyimak kembali karena terlalu panjang. Biasanya hanya orang-orang tertentu yang nama lengkapnya (dan panjang) bisa lekang dalam kepala saya. Pandangan saya langsung teralih ke luar minimarket. Perempuan itu masih berada di parkiran, mengecek sesuatu di gadget miliknya.
Tebakan saya tampaknya takkan meleset lagi. Lantas, kenapa dia tak begitu mengenali wajah saya? Apa saya sudah kelihatan sangat berubah semenjak zaman KKN (Kuliah Kerja Nyata) lima tahun silam ya? Satu-satunya yang berubah dari saya, cuma separuh gigi yang patah karena dihantam separator jalan, dua tahun lalu. Kalau soal berat badan, kan relatif. Lha wong saya memang orangnya tidak bisa gemuk meski makan sebanyak apa pun.
Saya meraih sepeda motor yang terparkir bersebelahan dengan perempuan itu. Dia baru hendak menyalakan motor ketika saya langsung menodongnya dengan pertanyaan, "Fika, ndak kenal sama saya?"
Ia langsung memendangi saya. Barangkali, disangkanya saya laki-laki yang sedang modus. Yaelah.
Agak lama pula ia memandangi saya sembari tersenyum kikuk.
"KKN? Pangkep? Anak Doang? Tidak ingat, kalau di KKN dulu ada dua orang Enrekang lainnya juga?" tembak saya berusaha memberikan clue.
"Tunggu dulu..." ujarnya nampak memutar-mutar memorinya. Masih dengan tersenyum kikuk.
Karena masih kelihatan susah menebak saya yang-tidak-populer-semasa-KKN-dulu, saya kembali menjabarkan petunjuk lainnya.
"Yang dulu paling sering tidak kelihatan di tempat KKN. Atau....mungkin paling banyak digosipkan di tempat KKN?" Saya harus tertawa menyebutkan kenyataan itu.
"Tunggu dulu, bukan kita ketuaku? Ketua waktu kegiatan lomba di masjid itu," tebaknya.
Saya sendiri lupa pernah menjadi ketua kepanitiaan semasa KKN itu. Tetapi, memang benar, karena kegiatan kepanitiaan itu pula yang menjadi titik-balik kepercayaan teman-teman untuk saya, yang awalnya lebih sering mengurusi organisasi pers kampus dan bolak-balik Makassar.
"Imam....kan?" tukasnya, meski masih dibalut ragu.
Maka meluncurlah, pertanyaan-pertanyaan umum kawan lama yang baru bertemu. Meski tak berlangsung sampai lima menit, saya jadi tahu dia bekerja di kota ini sebagai guru TK. Dia jadi tahu dimana saya bekerja, yang awalnya mengira kalau saya juga bekerja kantoran, hanya karena mendengar kata "ditugaskan disini".
Kami memang tak begitu akrab di masa KKN itu. Jalur kami berbeda meski disatukan dalam atap posko yang sama. Ia dan teman-temannya hanya menempuh jalur reguler karena bukan berasal dari jurusan kependidikan. Sementara saya dan beberapa teman lainnya, menghabiskan waktu sebulan lebih lama di Pangkep karena merangkap PPL. Lagipula, posko cowok dan cewek terpisah tiga-empat rumah dalam kompleks yang sama.
Hanya saja, pertemuan tanpa sengaja dengan teman KKN itu menggali separuh ingatan saya tentang cerita-cerita jelang tamat itu. Separuh ingatan tentang pengabdian masyarakat yang biasa-biasa saja. Separuh lebih banyak tentang benih semangat yang terus mendorong saya tetap tersenyum di tengah tatapan sinis teman-teman lain.
Saya tak perlu menyangkal jika masa itu menjadi pengalaman yang cukup menyenangkan. Saya cukup mengesampingkan perasaan terkucilkan. Memakluminya sebagai konsekuensi "kebandelan" dulu. Toh, hingga kini, saya masih mengakrabi bagian puzzle-nya bersama anak-anak Einstein dan Aljabar. Terakhir kali, saya menjumpai kabar duka dari salah satunya.
Saya juga takkan pernah menyangkal, perasaan bahagia kala itu, berbunga-bunga, sesederhana apa pun, sesingkat apa pun, tetap menyumbangkan senyum yang teramat lebar. Karena sejatinya, tak ada sesuatu ataupun seseorang yang pantas dilupakan.
Sampai sekarang, saya masih menyimpan seragam almamater yang penuh coretan iseng itu. :) (Collapse by me) |
--Imam Rahmanto--
0 comments