Kamu tahu, hal paling menyenangkan dari hujan adalah mendengar nyanyian alam dari atap-atap rumah dan gemerisik daun yang ditimpa tempias hujan. Bukankah itu romantis?
Medsos masih saja ramai dengan Pilkada ibukota. Saya sampai muak dibuatnya. Berangsur-angsur membaca dan mendapati para pendukung saling menumpahkan kekesalan dan kesalahan. Padahal, pemilihan telah berakhir. Gubernur juga sudah akan berganti dengan yang lebih baru, dalam beberapa bulan mendatang.
Parahnya, saling nyinyir tidak hanya berakhir di hasil perhitungan suara. Meski sudah dimabuk kemenangan, tetap saja para pendukung Anies masih mengkambinghitamkan Ahok. Apa pun yang dilakukan Ahok, selalu saja salah di mata orang-orang yang berseberangan dengannya. Sampai karangan bunga pun jadi bahan untuk mengobarkan rasa dengki. Saya jadi bingung sendiri, bagaimana membedakan antara kritis atau rasa dengki. Barangkali, formula utama bagi mereka: pokoknya Ahok tak pernah benar!
Mbok ya kalau sudah menang, dibikin tenang saja. Tak usah terlalu dibuat "kepanasan" dengan banyaknya karangan bunga sebagai penghargaan dari warga yang diayomi Ahok.
Saya jadi terngiang dengan perkataan ustad dulu,
"Ciri-ciri orang yang dikenai penyakit hati seperti dengki atau cemburu itu kalau dia selalu gelisah melihat orang lain mendapatkan rezeki. Tetangganya beli kulkas baru, dia mencibir. Tetangganya punya mobil, dia menuduh yang bukan-bukan. Tetangganya dapat jabatan, dia yang gelisah,"
Nah, apakah ciri-ciri semacam itu tidak persis dengan fenomena para pendukung yang sekarang? Mereka yang didominasi umat muslim, justru tak menyadari digerogoti penyakit hati. Tidak bisakah kita saling menerima saja? Menerima kemenangan (jika memang disyukuri). Menerima kekalahan dengan lapang dada.
Saya tak mendukung siapa-siapa dalam persaingan gubernur di kota metropolitan itu. Toh, saya tak tinggal disana. Meski sejujurnya saya lebih senang dengan gaya kepemimpinan Ahok. Mulutnya memang bak pisau, tetapi sikapnya tegas dan tak pandang bulu menegakkan kebenaran. Kalau diambil irisannya, gayanya koboi seperti Dahlan Iskan.
Sementara Anies, saya sudah telanjur kecewa semenjak dia terjun ke dunia politik. Itu malah merusak-rusak tenun kepercayaan di dalam kepala saya. Mengutip kata-katanya yang selalu memakai "tenun kebangsaan". Saya pernah berpikir jika Anies akan tetap konsisten dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Ternyata, semakin berjalannya waktu, kita akan semakin diubah kekuasaan.
Bagi saya, politik tak pernah menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan. Justru manusia sendirilah yang dijadikan alat oleh politik untuk mengukuhkan kekuasaannya.
Kenapa kita tidak hidup dengan saling menerima saja?
Menerima keadaan atau legawa itu memang bagian tersulit sih. Terkadang, bukan hanya Kesialan saja yang mesti di-legawa-kan. Keberuntungan pun biasanya harus disyukuri dengan legawa.
Legawa terhadap keberuntungan, kita biasa menyebutnya bersyukur. Legawa terhadap kemalangan, juga sama saja, tetap dinamakan bersyukur (dalam level yang berbeda). Intinya, proses penerimaan itu berkaitan teramat-sangat-erat-banget dengan rasa syukur.
Buku terakhir yang saya baca, Ninevelove, cukup lekat dalam kepala saya karena tokoh Dewi. Perempuan bertubuh kecil ini meyukai Guruh. Akan tetapi, tak ada harapan baginya karena Guruh tak pernah menyimpan rasa padanya. Dewi terpaksa hanya bisa memendam perasaannya. Lambat laun, ia belajar menerima hal itu.
Seiring penerimaan itu, ia pun menjadi sahabat yang baik bagi Guruh dan Joven. Tak disangkanya, ternyata Guruh mulai menyukainya. Sayangnya, perasaan Dewi sudah berganti pada Joven. Malangnya lagi, Joven mendekati perempuan lain. Lagi-lagi, Dewi berusaha menerimanya saja dan tetap menjadi bahu dan telinga yang baik buat Joven. Pada akhirnya, Joven menyadari betapa tegarnya si kecil Dewi.
Saya menyukai tentang kedewasaan Dewi dalam menerima keadaan. Ia legawa jika Joven tak sadar disukai dirinya. Tak ada sikap-sikap menjauh yang ditunjukkan Dewi. Ia justru selalu menjadi sahabat yang baik bagi Joven. Hingga waktuya tiba, Tuhan menunjukkan keajaibannya.
Di lain waktu, saya menonton film La La Land. Pesan yang hendak disampaikannya pun serupa; tentang penerimaan. Bagaimana seorang Mia harus menerima alur hidup yang tak mempersatukannya dengan Sebastian. Meski begitu, Mia dan Seb tak pernah menyesalinya. Saat bertemu lagi, mereka sanggup melempar senyum satu sama lain. Tentunya, tetap diam-diam mengakui kisah yang pernah mereka lalui adalah yang terbaik.
Penerimaan, selalu, bukan soal kemampuan melupakan. Bukan. Sama sekali bukan! Kita mesti punya sihir Obliviate para penyihir Hogwarts jika ingin menghapus ingatan. Atau, meminta tokoh Purin menggunting-gunting ingatan kita sebelum ia menikah dengan Sanji. Karena melupakan sesuatu hanyalah sebentuk cara agar segalanya nampak tetap nyata.
Penerimaan sejati justru tentang membiarkan ingatan itu hidup tanpa merasa terganggu. Jika dianggap indah, kemaslah menjadi kenangan. Jika buruk, kita tahu harus menjadikannya sebagai apa; pelajaran. Ia sekaligus jadi pengalaman. Experienxce is the best teacher, kata pepatah bijak nan usang.
Akh, sama halnya dengan move on. Move on terindah jika kamu masih bisa tersenyum, bertegur sapa dengan mantanmu dan tak perlu memblokir segala ingatan tentangnya. Bukankah itu sebenar-benar penerimaan?
(Foto: Imam Rahmanto) |
Medsos masih saja ramai dengan Pilkada ibukota. Saya sampai muak dibuatnya. Berangsur-angsur membaca dan mendapati para pendukung saling menumpahkan kekesalan dan kesalahan. Padahal, pemilihan telah berakhir. Gubernur juga sudah akan berganti dengan yang lebih baru, dalam beberapa bulan mendatang.
Parahnya, saling nyinyir tidak hanya berakhir di hasil perhitungan suara. Meski sudah dimabuk kemenangan, tetap saja para pendukung Anies masih mengkambinghitamkan Ahok. Apa pun yang dilakukan Ahok, selalu saja salah di mata orang-orang yang berseberangan dengannya. Sampai karangan bunga pun jadi bahan untuk mengobarkan rasa dengki. Saya jadi bingung sendiri, bagaimana membedakan antara kritis atau rasa dengki. Barangkali, formula utama bagi mereka: pokoknya Ahok tak pernah benar!
Mbok ya kalau sudah menang, dibikin tenang saja. Tak usah terlalu dibuat "kepanasan" dengan banyaknya karangan bunga sebagai penghargaan dari warga yang diayomi Ahok.
Saya jadi terngiang dengan perkataan ustad dulu,
"Ciri-ciri orang yang dikenai penyakit hati seperti dengki atau cemburu itu kalau dia selalu gelisah melihat orang lain mendapatkan rezeki. Tetangganya beli kulkas baru, dia mencibir. Tetangganya punya mobil, dia menuduh yang bukan-bukan. Tetangganya dapat jabatan, dia yang gelisah,"
Nah, apakah ciri-ciri semacam itu tidak persis dengan fenomena para pendukung yang sekarang? Mereka yang didominasi umat muslim, justru tak menyadari digerogoti penyakit hati. Tidak bisakah kita saling menerima saja? Menerima kemenangan (jika memang disyukuri). Menerima kekalahan dengan lapang dada.
Saya tak mendukung siapa-siapa dalam persaingan gubernur di kota metropolitan itu. Toh, saya tak tinggal disana. Meski sejujurnya saya lebih senang dengan gaya kepemimpinan Ahok. Mulutnya memang bak pisau, tetapi sikapnya tegas dan tak pandang bulu menegakkan kebenaran. Kalau diambil irisannya, gayanya koboi seperti Dahlan Iskan.
Sementara Anies, saya sudah telanjur kecewa semenjak dia terjun ke dunia politik. Itu malah merusak-rusak tenun kepercayaan di dalam kepala saya. Mengutip kata-katanya yang selalu memakai "tenun kebangsaan". Saya pernah berpikir jika Anies akan tetap konsisten dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Ternyata, semakin berjalannya waktu, kita akan semakin diubah kekuasaan.
Bagi saya, politik tak pernah menjadi alat untuk mendapatkan kekuasaan. Justru manusia sendirilah yang dijadikan alat oleh politik untuk mengukuhkan kekuasaannya.
Kenapa kita tidak hidup dengan saling menerima saja?
Menerima keadaan atau legawa itu memang bagian tersulit sih. Terkadang, bukan hanya Kesialan saja yang mesti di-legawa-kan. Keberuntungan pun biasanya harus disyukuri dengan legawa.
Legawa terhadap keberuntungan, kita biasa menyebutnya bersyukur. Legawa terhadap kemalangan, juga sama saja, tetap dinamakan bersyukur (dalam level yang berbeda). Intinya, proses penerimaan itu berkaitan teramat-sangat-erat-banget dengan rasa syukur.
Buku terakhir yang saya baca, Ninevelove, cukup lekat dalam kepala saya karena tokoh Dewi. Perempuan bertubuh kecil ini meyukai Guruh. Akan tetapi, tak ada harapan baginya karena Guruh tak pernah menyimpan rasa padanya. Dewi terpaksa hanya bisa memendam perasaannya. Lambat laun, ia belajar menerima hal itu.
Seiring penerimaan itu, ia pun menjadi sahabat yang baik bagi Guruh dan Joven. Tak disangkanya, ternyata Guruh mulai menyukainya. Sayangnya, perasaan Dewi sudah berganti pada Joven. Malangnya lagi, Joven mendekati perempuan lain. Lagi-lagi, Dewi berusaha menerimanya saja dan tetap menjadi bahu dan telinga yang baik buat Joven. Pada akhirnya, Joven menyadari betapa tegarnya si kecil Dewi.
Saya menyukai tentang kedewasaan Dewi dalam menerima keadaan. Ia legawa jika Joven tak sadar disukai dirinya. Tak ada sikap-sikap menjauh yang ditunjukkan Dewi. Ia justru selalu menjadi sahabat yang baik bagi Joven. Hingga waktuya tiba, Tuhan menunjukkan keajaibannya.
Di lain waktu, saya menonton film La La Land. Pesan yang hendak disampaikannya pun serupa; tentang penerimaan. Bagaimana seorang Mia harus menerima alur hidup yang tak mempersatukannya dengan Sebastian. Meski begitu, Mia dan Seb tak pernah menyesalinya. Saat bertemu lagi, mereka sanggup melempar senyum satu sama lain. Tentunya, tetap diam-diam mengakui kisah yang pernah mereka lalui adalah yang terbaik.
"I'm letting life hit me until it gets tired. Then I'll hit back. It's a classic rope-a-dope." [La La Land]
Penerimaan, selalu, bukan soal kemampuan melupakan. Bukan. Sama sekali bukan! Kita mesti punya sihir Obliviate para penyihir Hogwarts jika ingin menghapus ingatan. Atau, meminta tokoh Purin menggunting-gunting ingatan kita sebelum ia menikah dengan Sanji. Karena melupakan sesuatu hanyalah sebentuk cara agar segalanya nampak tetap nyata.
Penerimaan sejati justru tentang membiarkan ingatan itu hidup tanpa merasa terganggu. Jika dianggap indah, kemaslah menjadi kenangan. Jika buruk, kita tahu harus menjadikannya sebagai apa; pelajaran. Ia sekaligus jadi pengalaman. Experienxce is the best teacher, kata pepatah bijak nan usang.
Akh, sama halnya dengan move on. Move on terindah jika kamu masih bisa tersenyum, bertegur sapa dengan mantanmu dan tak perlu memblokir segala ingatan tentangnya. Bukankah itu sebenar-benar penerimaan?
--Imam Rahmanto--
- April 27, 2017
- 0 Comments