Mood
April 10, 2017Baca Juga
(Foto: Imam Rahmanto) |
Saya gelisah. Sedikit merana. Tetapi tak sampai melukai hati. Soal rindu? Oiya, kata sifat itu juga cukup mengena bagi saya. Lebay bin ajaib.
Sebenarnya, kegelisahan-kegeliahan semacam itu sudah jadi kebiasaan dan kebutuhan pokok dalam rentang seminggu. Setiap kali lupa pulang ke "rumah" ini, serassa ada yang hilang. Barangkali, karena sebagian jiwa saya belum terisi.
Sialnya, ini juga menjadi rekor terburuk saya. Sudah lebih dari seminggu tak ada apa-apa di "rumah" ini. Saya hanya datang menengoknya, tetapi tak tinggal berlama-lama. Sial.
Saya mulai paham, ternyata bukan soal waktu luang saja yang bisa membuat seseorang konsisten untuk menulis. Percaya atau tidak, mood tetap menjadi kata sifat sekaligus mitos yang tak pernah mengada-ada. Ia ada, namun tak terlihat. Antara ada dan tiada.
Jika dibandingkan di kota, waktu saya di Enrekang ini cukup melimpah. Teramat berbeda saat menjalani pekerjaan di perkotaan, yang hampir setiap jam harus melihat angka dan tulisan. Bersiaga panggilan dari kantor. Jadwal pulang bahkan bisa bergulir hingga larut malam. Jangankan menulis naskah-naskah ringan, stalking medsos pun sudah harus mencuri waktu jelang tidur,
Tiga bulan berada di tempat ini, justru tak menunjukkan perbedaan begitu mencolok pada kontinuitas menulis itu. Serasa apa gituee. Seperti biasa, satu minggu, satu postingan. Rutinitas (kesenangan) seperti itu malah sudah saya lakukaan saat berkecimpung diantara himpitan deadline perkotaan. Lah, disini? Ada "abad hampa" yang nyatanya membekap lebih dari seminggu ini.
Yah, seperti yang saya katakan tadi, ini karena mood. Saya benci harus mempercayainya. Dia tumbuh dan dibesarkan di dalam kepingan rutinitas manusia. Tak ada yang bisa menolaknya. Saya benci harus mengakuinya. Terkadang, mood itu sendiri dipengaruhi oleh suasana yang mendukungnya. Jika dibiasakan, hal semacam itu bisa menjadi kebiasaan dan habit atau tingkah laku.
Semisal teman saya, yang hanya bisa mengetik naskah berita jika sudah duduk nyaman, selonjoran, atau baring-baring di rumahnya. Ia mengaku sama sekali tak bisa merampungkan naskah berita yang harus berjibaku di media onlinenya jika harus berdiam di tempat lain, meski itu sekadar duduk-duduk mengaso di kafe atau warung kopi.
Sementara saya sendiri juga nyaris berlaku seperti itu. Sudah jadi kebiasaan saya merampungkan lebih banyak naskah berita dengan duduk-duduk menyeruput kopi susu. Kalau ada cappuccino, tentu jadi pilihan utama. Mood saya seolah dipengaruhi oleh minuman hangat dan suasana tempat.
Padahal, jika ingin mencoba sedikit saja keluar dari zona nyaman, segalanya bisa diubah. Buktinya, teman saya itu juga pernah mengirimkan naskah berita diantara waktu duduk-duduk kami. Meski harus diselingi dengan obrolan "gosip", bahannya yang terkumpul tetap bisa dikonversi jadi berita. Saya juga pernah merampungkan naskah berita on the spot, tanpa perlu mencari tempat nyaman. Malah jika sudah kepepet, saya hanya perlu memarkir motor di tepian jalan. Mencari sinyal yang pas. Duduk di atas jok. Mengetikkan semua bahan yang sudah ada.
Nah, nah, bukannya mood hanya persoalan kebiasaan hidup kita ya? Barangkali, karena terbiasa pulang ke rumah, teman saya itu butuh tempat sunyi tanpa gangguan dan celaan agar fokus menggarap naskah. Karena terbiasa menyeruput minuman hangat, saya seolah butuh candunya setiap kali ingin mengerjakan naskah. Kalau ingin memutar haluan sedikit saja, saya selalu percaya, kita akan bertemu hal-hal baru.
Ya sudahlah. Ini hanya menjadi pengakuan saya yang telah membiarkan "rumah" saya kosong selama lebih dari seminggu. Cuma sedikit ngoceh doang, kok.
"Demi kesehatan jiwa, ngedumel itu perlu," chat seorang teman dari seberang pulau, siang ini.
Cukup sadar diri. Sedikit paksa(k)an.
--Imam Rahmanto--
0 comments