Pemuda tanggung itu mengayuh sepedanya. Terengah-engah. Rumput liar sepanjang jalan diterabasnya dengan putaran ban ontel seadanya. Sandal jepit jadi tumpuan terkuatnya memutar pedal sepeda. Tujuannya hanya satu: rumah.
Dua kakaknya, sudah jauh mengulur jalan di depan. Mereka mengendarai motor milik kakaknya. Di zaman serba susah begitu, kakak lelakinya sudah punya motor sendiri. Hasil kerja kerasnya dari tak tamat SMA. Pun, dirinya, sengaja putus sekolah agar bisa dapat uang banyak seperti kakak lelakinya itu.
Kabar mengejutkan tiba pagi itu di desa Keting. Tak pernah disangka si pemuda, Suwarji. Bapaknya justru masih segar bugar tertawa di sampingnya tempo hari.
Bahkan bapaknya yang berwatak keras itu sangat berbahagia melihat salah satu putranya telah mengucap ijab-kabul di usia yang sebenarnya masih segar bersekolah. Orang-orang kota acap kali melabeli usianya itu dengan kata Inggris "sweet".
"Nak, bapakmu tiba-tiba sakit tadi malam. Ndak tau kenapa, tapi ini sudah payah. Semalam buang air besar di kamar, dan kayaknya ndak bisa ngapa-ngapain lagi," ujar seorang sanak saudara yang kelabakan dari balik gunung.
Yah, kampung halaman pemuda itu ada di balik gunung sana. Meski berada di kabupaten yang sama, tak bisa ditempuh dengan jalan kaki seadanya. Bisa pegal seluruh badan. Kaki lecet sejadi-jadinya. Di zaman tahun 1988, mana ada pedagang asongan yang akan menawarkan air kemasan Aqua. GoJek juga jangan ditanya. Sekadar ojek biasa pun belum punya pangkalan tetap.
Jadinya, kabar itu baru bisa diantarkan pagi harinya. Belum ada panggilan Telkomsel di pelosok desa. Tak ada sanak saudara yang berani menerobos malam di sepanjang jalan berliku hutan. Jika nekat, alamat bertemu perampok yang mabuk mencari mangsa.
Naik ontel berpuluh-puluh kilometer, Suwarji dibuat lelah bercucur keringat. Detak jantungnya kian menambah bukaan pori-pori untuk peluhnya. Pikirannya terlanjur kalut. Beruntung sang istri, Sulastia, ditinggal saja di rumah. Kalau diajak, anggapnya, bisa memperlambat kayuhannya yang sedang berlomba dengan detak jantungnya.
Kedua kakaknya sudah tak nampak lagi. Kelok jalan telah jauh memisahkan mereka. Ia patah arang. Kelelahan hingga kepayahan oleh jarak puluhan kilometer. Diparkirnya sepeda serampangan di depan rumah penduduk desa yang kebetulan dilaluinya.
"Pak, disini ada yang ngojek?" todongnya langsung pada sosok penduduk paruh baya.
"Wah, ndak ada, dek. Memangnya mau kemana?"
"Saya mau ke desa yang ada di balik gunung sana itu," tunjuknya, sembari mengusap peluh. Ia berharap satu dari sekian cucuran itu bisa membuktikan kesungguhan dan keseriusannya.
"Ohh...kalau begitu, coba tanya Pak Guru yang ada di rumah sana, dek. Dia punya motor, mungkin bisa mbantu ngojek kesana," jelas lelaki tua itu nampak kasihan.
Pemuda cabutan STM itu tak peduli lagi dengan sepeda yang ditumpanginya. Ia tergopoh-gopoh mendatangi Pak Guru yang dimaksud lelaki tua tadi. Sebagaimana skenario Tuhan yang tanpa cela, lelaki pengajar yang kerap disanjung dengan panggilan Pak Guru itu sedang duduk di depan teras rumah. Diberondong penjelasan, Pak Guru bersedia memboncengnya ke desa Maindu, tanah kelahiran pemuda itu.
Manusia memang tak pernah tahu garis nasibnya. Masa depan adalah hal paling rahasia dari kehidupan. Tuhan hanya bilang, berencanalah dan berusahalah. Urusan hasil, Tuhan yang ambil alih. Masa depan itu tak nampak. Tapi bayang-bayangnya selalu ada.
Maka urusan kematian juga jadi rahasia paling sakral dari singgasana Tuhan. Enam hari kemarin, Astrosiman baik-baik saja dan punya banyak tenaga demi membanggakan putra keduanya di atas pelaminan. Tepat di penutup bulan November 1988, lelaki perkasa itu telah mengembuskan napas terakhir.
"Tolong ya dijaga sekalian anakku ini. Diawasi. Soalnya aku pasti sudah tak bisa kesini lagi (desa Keting),"
"Begitu pesan terakhir kakekmu sama aku. Pas selesai nikahan dengan mak-mu (mamak). Aku, yo, masih ingat sekali, seolah-olah mbahmu itu sudah tahu ada yang mengganjal," kisah bapak, agak terbata-bata, tak ingin menangis di depan anak sulungnya.
Mendengar cerita bapak, tentu saja dalam bahasa Jawa, saya sengaja dibawa mengenal silsilah keluarga sendiri. Saya tak begitu kenal dengan kerabat dan keluarga dari pihak bapak ataupun ibu. Paling banter, saya hanya mengenal Bukde, Pakde yang masih segaris usianya dengan bapak dan ibu. Atau mereka yang kerap berbincang lewat sambungan telepon bapak. Atau kakek-nenek yang jadi orang tua angkat mamak di Keting. Disana pula kami biasanya bermukim jika punya kesempatan menjemput kenangan.
Ada bagian diri saya yang sangat senang mendengar cerita tentang keluarga itu. Serasa menyelami kenangan bapak. Barangkali, saya merasa dekat dan bisa sedikit memahami watak bapak. Sekeras-kerasnya orang tua, terkadang mereka memang senang mengungkit kembali masa lalunya. Itu bisa jadi pengganti dongeng yang tak pernah lunas dikabarkan di masa kecil.
Tak menyangka, bapak juga menyimpan beberapa keping ingatannya itu di sebuah notes usang. Bukan buku diary, melainkan semacam buku pengingat saja. Tulisannya tak begitu indah, tetapi masih jelas terbaca. Dari catatan itu saya punya bahan untum melayangkan pertanyaan bagi cerita bapak.
Buku itu disimpan baik-baik berdempetan dengan buku nikah bapak. Kata bapak, ia memang sering mencatat hal-hal penting di masa mudanya dulu. Lengkap dengan tanggal dan harinya. Ia tak jarang menggenapi dengan penanggalan Jawa; Wage, Kliwon, Pahing, dan sebagainya.
Tanpa sengaja, saya menemukan jurnal itu saat sedang beres-beres dokumen kelengkapan surat pindah untuk keluarga. Bapak juga tak melarang saya melihat-lihat isi buku tipis bersampul hijaunya. Termasuk di dalamnya, tercatat tanggal kelahiran saya yang sesungguhnya.
"Akta kelahiranmu itu di-muda-kan beberapa bulan. Karena waktu itu, kita kena denda kalau pengurusan akta lahir terlambat," jelas bapak. Maklum, bapak dan mamak termasuk pendatang baru di tempat saya dilahirkan. Mereka baru terhitung dua tahun semenjak merantau untuk pertama kalinya ke Ujung Pandang (Makassar dahulunya).
Wajar jikalau saya pernah mendengar versi lain tanggal kelahiran itu dari mamak. Namun saat mengecek akta yang asli, tanggalnya justru berbeda. Hingga kini, tanggal lahir di akta resmi itu yang dipakai untuk keperluan administrasi, tak terkecuali semua jenis ijazah. Sementara, saya seharusnya lebih tua empat bulan dari data resmi itu.
Menemukan barang itu, serupa mendapatkan harta terpendam dari tumpukan jerami. Di dalamnya, saya seolah menyelami masa silam bapak dan keluarga. Meski tak mengisahkannya seperti diary, beberapa sematan tanggal jadi bukti otentik kejadian yang sempat dibukukannya. Pernikahan bapak. Kematian kakek. Perantauan pertama bapak. Pekerjaan pertama bapak. Resep bapak di perantauan. Nama kerabat dan keluarga.
Pada era kekuasaan Soeharto itu, bapak tak pernah kenal dunia jurnalis. Catatan hanya sekadar kunci pengingat masa lalunya. Naluri sebagai perantau. Belum ada facebook yang hampir setiap waktu bisa mengingatkan kenangan penggunanya. Buku dan pena masih jadi juaranya untuk mencatat sejarah.
Kebiasaan bapak ternyata mengakar untuk generasi berikutnya. Anak lelakinya sebetulnya ditunjuki jalan menjadi abdi pemerintah. Sudah bergelar Sarjana Pendidikan pula. Sayang, pekerjaannya kini justru mereinkarnasikan kebiasaannya mengabadikan sejarah. Padahal di masa itu, tak pernah terbersit dalam kepalanya bakal melahirkan anak yang meneruskan jurnal-jurnal untuk keabadian (baca: berita).
Apakah ini kebetulan? Entahlah. Saya tak pernah percaya namanya kebetulan. Segala hal yang ada pada diri kita, sejatinya gabungan dan kolaborasi masa lalu orang tua. Baik secara langsung maupun tak langsung.
Hal itu lantas mendorong saya kian bersemangat ingin mencari lebih banyak akar silsilah keluarga. Sejarah-sejarah masa silam itu seolah menjadi perekat saya dengan keluarga. Penyambung rindu. Seperti puing-puing yang berserakan, saya akan secara sukarela menyusunnya satu demi satu. Agar tahu siapa diri saya seutuhnya, untuk menganyam masa depan sehebat-hebatnya.
Dan tersisa seminggu, saya akan lebih dalam menyelami kenangan bapak dan mamak di kampung halaman. Bersama adik saya, mereka akan menetap di kampung halaman yang sebenar-benarnya kampung halaman bagi kami. Tanah bapak dan mamak dilahirkan. Tanah keduanya mencumbu kasih orang tua. Tanah dimana keduanya dikelilingi kerabat dan keluarga besar. Tanah dimana sejarah kami bermula...
Dua kakaknya, sudah jauh mengulur jalan di depan. Mereka mengendarai motor milik kakaknya. Di zaman serba susah begitu, kakak lelakinya sudah punya motor sendiri. Hasil kerja kerasnya dari tak tamat SMA. Pun, dirinya, sengaja putus sekolah agar bisa dapat uang banyak seperti kakak lelakinya itu.
Kabar mengejutkan tiba pagi itu di desa Keting. Tak pernah disangka si pemuda, Suwarji. Bapaknya justru masih segar bugar tertawa di sampingnya tempo hari.
Bahkan bapaknya yang berwatak keras itu sangat berbahagia melihat salah satu putranya telah mengucap ijab-kabul di usia yang sebenarnya masih segar bersekolah. Orang-orang kota acap kali melabeli usianya itu dengan kata Inggris "sweet".
"Nak, bapakmu tiba-tiba sakit tadi malam. Ndak tau kenapa, tapi ini sudah payah. Semalam buang air besar di kamar, dan kayaknya ndak bisa ngapa-ngapain lagi," ujar seorang sanak saudara yang kelabakan dari balik gunung.
Yah, kampung halaman pemuda itu ada di balik gunung sana. Meski berada di kabupaten yang sama, tak bisa ditempuh dengan jalan kaki seadanya. Bisa pegal seluruh badan. Kaki lecet sejadi-jadinya. Di zaman tahun 1988, mana ada pedagang asongan yang akan menawarkan air kemasan Aqua. GoJek juga jangan ditanya. Sekadar ojek biasa pun belum punya pangkalan tetap.
Jadinya, kabar itu baru bisa diantarkan pagi harinya. Belum ada panggilan Telkomsel di pelosok desa. Tak ada sanak saudara yang berani menerobos malam di sepanjang jalan berliku hutan. Jika nekat, alamat bertemu perampok yang mabuk mencari mangsa.
Naik ontel berpuluh-puluh kilometer, Suwarji dibuat lelah bercucur keringat. Detak jantungnya kian menambah bukaan pori-pori untuk peluhnya. Pikirannya terlanjur kalut. Beruntung sang istri, Sulastia, ditinggal saja di rumah. Kalau diajak, anggapnya, bisa memperlambat kayuhannya yang sedang berlomba dengan detak jantungnya.
Kedua kakaknya sudah tak nampak lagi. Kelok jalan telah jauh memisahkan mereka. Ia patah arang. Kelelahan hingga kepayahan oleh jarak puluhan kilometer. Diparkirnya sepeda serampangan di depan rumah penduduk desa yang kebetulan dilaluinya.
"Pak, disini ada yang ngojek?" todongnya langsung pada sosok penduduk paruh baya.
"Wah, ndak ada, dek. Memangnya mau kemana?"
"Saya mau ke desa yang ada di balik gunung sana itu," tunjuknya, sembari mengusap peluh. Ia berharap satu dari sekian cucuran itu bisa membuktikan kesungguhan dan keseriusannya.
"Ohh...kalau begitu, coba tanya Pak Guru yang ada di rumah sana, dek. Dia punya motor, mungkin bisa mbantu ngojek kesana," jelas lelaki tua itu nampak kasihan.
Pemuda cabutan STM itu tak peduli lagi dengan sepeda yang ditumpanginya. Ia tergopoh-gopoh mendatangi Pak Guru yang dimaksud lelaki tua tadi. Sebagaimana skenario Tuhan yang tanpa cela, lelaki pengajar yang kerap disanjung dengan panggilan Pak Guru itu sedang duduk di depan teras rumah. Diberondong penjelasan, Pak Guru bersedia memboncengnya ke desa Maindu, tanah kelahiran pemuda itu.
Manusia memang tak pernah tahu garis nasibnya. Masa depan adalah hal paling rahasia dari kehidupan. Tuhan hanya bilang, berencanalah dan berusahalah. Urusan hasil, Tuhan yang ambil alih. Masa depan itu tak nampak. Tapi bayang-bayangnya selalu ada.
Maka urusan kematian juga jadi rahasia paling sakral dari singgasana Tuhan. Enam hari kemarin, Astrosiman baik-baik saja dan punya banyak tenaga demi membanggakan putra keduanya di atas pelaminan. Tepat di penutup bulan November 1988, lelaki perkasa itu telah mengembuskan napas terakhir.
***
"Begitu pesan terakhir kakekmu sama aku. Pas selesai nikahan dengan mak-mu (mamak). Aku, yo, masih ingat sekali, seolah-olah mbahmu itu sudah tahu ada yang mengganjal," kisah bapak, agak terbata-bata, tak ingin menangis di depan anak sulungnya.
Mendengar cerita bapak, tentu saja dalam bahasa Jawa, saya sengaja dibawa mengenal silsilah keluarga sendiri. Saya tak begitu kenal dengan kerabat dan keluarga dari pihak bapak ataupun ibu. Paling banter, saya hanya mengenal Bukde, Pakde yang masih segaris usianya dengan bapak dan ibu. Atau mereka yang kerap berbincang lewat sambungan telepon bapak. Atau kakek-nenek yang jadi orang tua angkat mamak di Keting. Disana pula kami biasanya bermukim jika punya kesempatan menjemput kenangan.
Ada bagian diri saya yang sangat senang mendengar cerita tentang keluarga itu. Serasa menyelami kenangan bapak. Barangkali, saya merasa dekat dan bisa sedikit memahami watak bapak. Sekeras-kerasnya orang tua, terkadang mereka memang senang mengungkit kembali masa lalunya. Itu bisa jadi pengganti dongeng yang tak pernah lunas dikabarkan di masa kecil.
Bapak dan mamak ketika muda. Lebih muda dari saya malah. Jurnal bapak. (Imam Rahmanto) |
Tak menyangka, bapak juga menyimpan beberapa keping ingatannya itu di sebuah notes usang. Bukan buku diary, melainkan semacam buku pengingat saja. Tulisannya tak begitu indah, tetapi masih jelas terbaca. Dari catatan itu saya punya bahan untum melayangkan pertanyaan bagi cerita bapak.
Buku itu disimpan baik-baik berdempetan dengan buku nikah bapak. Kata bapak, ia memang sering mencatat hal-hal penting di masa mudanya dulu. Lengkap dengan tanggal dan harinya. Ia tak jarang menggenapi dengan penanggalan Jawa; Wage, Kliwon, Pahing, dan sebagainya.
Tanpa sengaja, saya menemukan jurnal itu saat sedang beres-beres dokumen kelengkapan surat pindah untuk keluarga. Bapak juga tak melarang saya melihat-lihat isi buku tipis bersampul hijaunya. Termasuk di dalamnya, tercatat tanggal kelahiran saya yang sesungguhnya.
"Akta kelahiranmu itu di-muda-kan beberapa bulan. Karena waktu itu, kita kena denda kalau pengurusan akta lahir terlambat," jelas bapak. Maklum, bapak dan mamak termasuk pendatang baru di tempat saya dilahirkan. Mereka baru terhitung dua tahun semenjak merantau untuk pertama kalinya ke Ujung Pandang (Makassar dahulunya).
Wajar jikalau saya pernah mendengar versi lain tanggal kelahiran itu dari mamak. Namun saat mengecek akta yang asli, tanggalnya justru berbeda. Hingga kini, tanggal lahir di akta resmi itu yang dipakai untuk keperluan administrasi, tak terkecuali semua jenis ijazah. Sementara, saya seharusnya lebih tua empat bulan dari data resmi itu.
Menemukan barang itu, serupa mendapatkan harta terpendam dari tumpukan jerami. Di dalamnya, saya seolah menyelami masa silam bapak dan keluarga. Meski tak mengisahkannya seperti diary, beberapa sematan tanggal jadi bukti otentik kejadian yang sempat dibukukannya. Pernikahan bapak. Kematian kakek. Perantauan pertama bapak. Pekerjaan pertama bapak. Resep bapak di perantauan. Nama kerabat dan keluarga.
Pada era kekuasaan Soeharto itu, bapak tak pernah kenal dunia jurnalis. Catatan hanya sekadar kunci pengingat masa lalunya. Naluri sebagai perantau. Belum ada facebook yang hampir setiap waktu bisa mengingatkan kenangan penggunanya. Buku dan pena masih jadi juaranya untuk mencatat sejarah.
Kebiasaan bapak ternyata mengakar untuk generasi berikutnya. Anak lelakinya sebetulnya ditunjuki jalan menjadi abdi pemerintah. Sudah bergelar Sarjana Pendidikan pula. Sayang, pekerjaannya kini justru mereinkarnasikan kebiasaannya mengabadikan sejarah. Padahal di masa itu, tak pernah terbersit dalam kepalanya bakal melahirkan anak yang meneruskan jurnal-jurnal untuk keabadian (baca: berita).
Apakah ini kebetulan? Entahlah. Saya tak pernah percaya namanya kebetulan. Segala hal yang ada pada diri kita, sejatinya gabungan dan kolaborasi masa lalu orang tua. Baik secara langsung maupun tak langsung.
Hal itu lantas mendorong saya kian bersemangat ingin mencari lebih banyak akar silsilah keluarga. Sejarah-sejarah masa silam itu seolah menjadi perekat saya dengan keluarga. Penyambung rindu. Seperti puing-puing yang berserakan, saya akan secara sukarela menyusunnya satu demi satu. Agar tahu siapa diri saya seutuhnya, untuk menganyam masa depan sehebat-hebatnya.
"Dengan sejarah, kita belajar jatuh cinta." --Kuntowijaya
Dan tersisa seminggu, saya akan lebih dalam menyelami kenangan bapak dan mamak di kampung halaman. Bersama adik saya, mereka akan menetap di kampung halaman yang sebenar-benarnya kampung halaman bagi kami. Tanah bapak dan mamak dilahirkan. Tanah keduanya mencumbu kasih orang tua. Tanah dimana keduanya dikelilingi kerabat dan keluarga besar. Tanah dimana sejarah kami bermula...
--Imam Rahmanto--
- Oktober 27, 2016
- 0 Comments