Tempias yang Bias
Oktober 20, 2016Baca Juga
Kilasan itu hanya serupa tempias hujan. Melompat tak beraturan dari segala sisi. Saya paham dengan beberapa hal yang tak boleh dipaksakan. Let it flow, seperti genangan air yang coba menyusup lewat gorong-gorong di kota ini. Namun volumenya tentu berbeda dengan kadar genangan yang selalu tak tahu caranya pulang di kota kami. Meski punya wali kota berlabel arsitek, hujan selalu jadi bencana.
Bukankah, genangan dan kenangan berasal dari satu unsur yang sama; air hujan?
Kedatangan saya di kota ini untuk menikmati sesuatu yang telah lama bergantung di langit-langit kamar. ia tertanam begitu tenang di alam bawah sadar. Setidaknya tercermin dalam beberapa bacaan novel. Betapa Tuhan selalu punya
"Maaf, boleh bagi tethering hotspotnya, Mas?" ujar seorang perempuan di sebelah saya.
Hujan tak lagi gemuruh menerjang jalanan Jogja. Menyisakan tempias beserta genangannya. Rinai selembut kapas tak lagi menghalangi orang-orang dari tujuannya semula. Perlahan, teras minimarket juga sudah mulai sepi dari mereka yang menghindari hujan. Saya pun memilih duduk di sebuah bangku kosong, baru saja ditinggalkan.
Suara itu memaksa saya memalingkan wajah. Barangkali sejak tadi ia memang mengamati saya yang sedang sibuk mematut-matut layar gadget. Yah, komunikasi saya dengan teman di kota ini juga tak boleh putus. Selain mengandalkan Google Map, apliksi pesan instan juga jadi "kompas" kedua. Malam sudah nyaris larut, saya tentu tak boleh kehilangan arah
"Ohya, mbak. Silakan," ujar saya, sembari mengubah settingan di smartphone berukuran 5 inchi. "Paswordnya ini," saya menodongkan hape untuk ditiru kombinasi hurufnya.
Aneh juga. Sejujurnya, baru kali ini saya mendapati perempuan-tak-dikenal meminta hal semacam itu pada saya. Biasanya, orang-orang malah terkesan gengsi atau malu-malu. Perempuan yang saya taksir usianya sama dengan saya itu tak sedikit pun menunjukkan rasa gengsinya. Asap rokok juga diembuskannya tanpa malu-malu.
Akan tetapi, saya terbiasa dengan hal semacam itu. Di kota kami, saya pernah terjun langsung ke dunia malam. Dunia yang penuh dengan asap rokok dan perempuan-perempuan berbaju ketat. Rok sepaha. Lekuk tubuh tak takut diraba. Pekerjaan sebagai pewarta juga banyak mengajarkan agar tak membangun sekat kolot diantara berbagai macam kepribadian. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
"Jadi wartawan itu takkan pernah membuatmu kaya. Tetapi, setidaknya kau bisa merasakan bagaimana menjadi kaya. Tak juga membuatmu populer. Paling tidak, mendekatkanmu pada banyak orang-orang populer," sebuah pesan terngiang begitu saja di kepala.
Tanpa segan, hujan mengantarkan kami pada beberapa obrolan hangat. "Mas, mau kemana emang?" hingga berlanjut pada perkenalan-perkenalan singkat.
Perempuan-yang-saya-lupa-namanya itu bekerja di tempat lain di seputar Jogja. Katanya, ia sedang menanti jemputan teman pulang ke rumah kontrakannya.
"Biasanya saya bawa motor sih, Mas. Tapi kebetulan dipinjam adik, jadi naik kendaraan umum, bus, ke tempat kerja," jelas perempuan berambut pendek itu. Seragamnya yang dibalut sweater juga sudah menjelaskan sedikit tentang apa pekerjaannya.
Waktu tunggu saya juga tak begitu membosankan dalam rentang puluhan menit itu. Saya coba membuang rasa was-was dari kepala. Toh, di sekitar tempat saya, masih ramai oleh beberapa orang; tukang parkir, teman tukang parkir, temannya teman tukang parkir, penjaja bakso yang mendorong pulang gerobaknya, penjaga minimarket, mahasiswa yang terjebak mogok selepas hujan, hingga perempuan lain di seberang jalan, yang juga sedang menanti jemputan.
"Kak Imaaam," seorang gadis dengan wajah familiar menyapa dari pinggir jalan. Motornya dibiarkan menderu. Ia menepikannya, disusul seorang teman di belakang.
"Hei....bagaimana kabar?" yang disusul dengan jabat erat dan pelukan hangat dari seorang kawan lama di kampus.
Pertanda saya harus minggat dan memutus koneksi dengan perempuan di depan minimarket itu. Dan, akh, sial, saya lupa menanyakan nama si mbak itu. Kalau beruntung, mungkin Tuhan bisa mengizinkan bersua di lain kesempatan.
*to be continued
--Imam Rahmanto--
0 comments