Berkawan
Oktober 10, 2016Baca Juga
Hal yang paling saya sukai dari pekerjaan sebagai wartawan adalah bisa mengenal banyak orang. Entah itu perkenalan disengaja (sebagai pewarta dan narasumber) ataupun sekadar perkenalan basa-basi.
Tak terhitung banyaknya karakter yang bisa saya jumpai. Keras, tegas, cuek bebek, baik hati, humoris, supel, kalem, hingga yang paling-ada-maunya. Meski demikian, saya juga banyak belajar dari beberapa karakter itu. Cara menempatkan diri juga menjadi hal paling utama dipahami sebagai seorang wartawan. Bahkan, karena terlalu kepo, saya tak jarang autodidak membaca dan menyelami karakter sebagian orang yang saya temui. Kalau yang satu ini cuma ilmu tambahan.
Itu menarik. Hidup saya tak hanya sekadar bertemu satu-dua orang saja. Setiap hari, neuron-neuron di sel saraf otak saya bisa bertambah jumlahnya. Hal-hal baru selalu muncul hampir tiap hari. Bonusnya, dari satu orang punya pengalaman yang berbeda. Jika beruntung, persahabatan bisa terjalin dari sana tanpa sekat yang menimbulkan rasa segan.
Itulah mengapa saya selalu antusias jika diserahi tugas liputan di luar kandang. Betapa girangnya jika sudah memegang tiket penerbangan dengan tujuan di luar kota. Seperti kota Kudus, jadi kota kesekian dari beberapa tempat yang pernah saya sambangi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya tak ingin menyia-nyiakan waktuliburan liputan itu.
Mata saya seolah berkunang-kunang. Rasa muntahan yang asam masih tersisa dalam air liur. Takkan hilang dalam sisa beberapa jam ke depan. Perut yang kosong juga masih terasa nyeri dan tak mau diisi. Makanan yang dibagikan panitia sore ini, hanya dua jumput yang mampu ditelan. Baru kali ini saya agak sempoyongan gara-gara perjalanan jauh. Ketahanan diuji.
Ajakan "welcome dinner" dari panitia menimbulkan kegaduhan di grup WA yang didominasi para jurnalis media undangan. Katanya, ada acara makan enak, penyerahan bonus (lagi) secara simbolis kepada Owi-Butet, dan hiburan lainnya. Hiburan itu bisa diartikan foto bareng dengan bintang olahraga Indonesia.
Tak ada minat. Saya masih disibukkan untuk mengembalikan setengah kesadaran yang sempat menguap. Tidur sedikit, pikira saya, barangkali bisa memompa imun yang tersisa. Lagipula, kami, para wartawan, sudah mendapat kamar masing-masing untuk ongkang-ongkang kaki atau sekadar melunasi deadline dari kantor.
Tagihan kantor untuk media saya juga sudah lunas sejak beberapa jam lalu. Jadi, saya menganggap "welcome dinner" itu hanya untuk perkenalan semata. Mau cari bahan berita disana, deadline untuk naskah koran cetak sudah berakhir. Saya juga hanya diwajibkan satu naskah (penting dan utama). Oleh karena itu, saya hanya menghabiskan waktu (beristirahat) di dalam kamar dengan menyetel sembarang siaran televisi.
"Dimana, bang Imam?" sebuah pesan masuk di WhatsApp.
Saya baru ingat, sedang menunggu teman sekamar, Pandu, dari media kerabat di Kalimantan Timur (Kaltim). Ia bernasib sial, ketinggalan pesawat. Mau tak mau, ia harus mengatur ulang jadwalnya ke Kudus dan meminta bantuan untuk backup beberapa bahan berita untuk keperluan medianya.
"Saya masih di GOR ini mengetik berita. Tak tahu kapan pulang, disuguhi penampilan D'Masiv," tulisnya lagi, usai saya membalas pesannya.
Selain teman sekamar, saya cukup dibantu pula oleh perlengkapan fotografi Pandu. Di beberapa momen, kamera DSLR saya tak mampu menangkap gambar bagus untuk dikirimkan ke kantor. Terpaksa, kami berbagi tugas dan sesekali bertaruh pada pebulu tangkis yang mewakili daerah kami masing-masing. "Pasti wakilku yang banyak menang," ujarnya.
Selain Pandu, saya sempat mengenal beberapa wartawan lainnya. Yah, sebagian besar tentu berlogat tanah Jawa. Meski ada yang berbahasa daerah (Jawa), saya tetap paham. Lha wong saya ini asli keturunan Jawa. Mereka tak sadar saja, karena saya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia berlogat tanah Sulawesi. Oh, ya, teman sekamar saya itu malah lancar berbahasa Jawa juga.
"Di tempat tinggal saya kebetulan daerah transmigran Jawa. Jadi kebanyakan obrolan memang berbau Jawa dan kental bahasanya," terangnya saat kami sedang rehat di kamar.
Tak heran jika sedang kesal, ia lebih sering mengumpat dalam istilah Jawa. Kami memulai keakraban dengan mengisi perut yang kosong di pinggir jalanan malam. "Makanan di GOR tadi habis, jadi saya tidak sempat makan," ucapnya. Saya juga kebetulan sudah mulai baikan untuk sekadar mengisi perut yang agak masam.
Hingga hari terakhir, saya mengumpulkan bahan untuk keperluan liputan di sekitar GOR Kudus itu. Selain tentang pertandingan yang tengah berlangsung, saya juga mencari bahan lain yang bisa "dibelokkan" untuk topik-topik tertentu. Termasuk mencari atlet binaan PB Djarum, yang merupakan asli putra daerah Sulsel. Saya mendapati tiga orang. Hanya saja, cuma dua yang sempat saya jumpai dan membangun obrolan terkait kiprah mereka.
Belakangan, saya merasa sangat terharu saat salah satu anak menelepon malam-malam hanya untuk mengucap, "Terima kasih, Kak," dengan senyum lebar dan mau-malu mengambang di ujung telepon. Hanya gara-gara keluarganya melihat profil atlet tersebut di media saya bekerja.
Tak ada yang salah dengan mengenal orang lain. Perjalanan-perjalanan saya justru mengantarkan pada banyak perkenalan itu. Tak peduli jika terus berlanjut, atau hanya berhenti sebatas kebutuhan pewarta-narasumber. Toh, pasti selalu ada gunanya mengenal oranglain. Pun, hingga hari ini, sesekali saya masih menyambung silaturahmi dengan kawan sekamar itu. Apalagi saat kontingen Sulsel berhadapan dengan Kaltim dalam laga sepak bola Pekan Olahraga Nasional (PON), September kemarin.
"Jadi, hari ini kamu gak langsung ke bandara ya?" tanyanya.
"Iya. Mau numpang mobil panitia, turun di Semarang, nyari bus atau kendaraan buat ke Jogja,"jawab saya bersemangat. Sayangnya, saya lupa untuk mengabadikan foto dengan teman kocak satu itu.
Karena saya menyukai perjalanan itu beserta tantangan yang terpampang di hadapannya.
Senyum saya mengembang. Rencana mulai terkait satu sama lain. Akar perjalanan ke Jogja ternyata telah dimulai tanpa aba-aba...
*to be continued
Jejak perjalanan sebelumnya:
1. Cool Itinerary
2. Runway
Hal yang paling saya sukai dari pekerjaan sebagai pewarta adalah bisa mengenal banyak orang. Entah itu perkenalan disengaja (sebagai pewarta dan narasumber) ataupun sekadar perkenalan basa-basi.
Mengapa?
Karena kita tak pernah tahu, yang basa-basi bisa berujung pada jatuh hati...
Tak terhitung banyaknya karakter yang bisa saya jumpai. Keras, tegas, cuek bebek, baik hati, humoris, supel, kalem, hingga yang paling-ada-maunya. Meski demikian, saya juga banyak belajar dari beberapa karakter itu. Cara menempatkan diri juga menjadi hal paling utama dipahami sebagai seorang wartawan. Bahkan, karena terlalu kepo, saya tak jarang autodidak membaca dan menyelami karakter sebagian orang yang saya temui. Kalau yang satu ini cuma ilmu tambahan.
Itu menarik. Hidup saya tak hanya sekadar bertemu satu-dua orang saja. Setiap hari, neuron-neuron di sel saraf otak saya bisa bertambah jumlahnya. Hal-hal baru selalu muncul hampir tiap hari. Bonusnya, dari satu orang punya pengalaman yang berbeda. Jika beruntung, persahabatan bisa terjalin dari sana tanpa sekat yang menimbulkan rasa segan.
Itulah mengapa saya selalu antusias jika diserahi tugas liputan di luar kandang. Betapa girangnya jika sudah memegang tiket penerbangan dengan tujuan di luar kota. Seperti kota Kudus, jadi kota kesekian dari beberapa tempat yang pernah saya sambangi. Belajar dari pengalaman sebelumnya, saya tak ingin menyia-nyiakan waktu
(Imam Rahmanto) |
***
Mata saya seolah berkunang-kunang. Rasa muntahan yang asam masih tersisa dalam air liur. Takkan hilang dalam sisa beberapa jam ke depan. Perut yang kosong juga masih terasa nyeri dan tak mau diisi. Makanan yang dibagikan panitia sore ini, hanya dua jumput yang mampu ditelan. Baru kali ini saya agak sempoyongan gara-gara perjalanan jauh. Ketahanan diuji.
Ajakan "welcome dinner" dari panitia menimbulkan kegaduhan di grup WA yang didominasi para jurnalis media undangan. Katanya, ada acara makan enak, penyerahan bonus (lagi) secara simbolis kepada Owi-Butet, dan hiburan lainnya. Hiburan itu bisa diartikan foto bareng dengan bintang olahraga Indonesia.
Tak ada minat. Saya masih disibukkan untuk mengembalikan setengah kesadaran yang sempat menguap. Tidur sedikit, pikira saya, barangkali bisa memompa imun yang tersisa. Lagipula, kami, para wartawan, sudah mendapat kamar masing-masing untuk ongkang-ongkang kaki atau sekadar melunasi deadline dari kantor.
Tagihan kantor untuk media saya juga sudah lunas sejak beberapa jam lalu. Jadi, saya menganggap "welcome dinner" itu hanya untuk perkenalan semata. Mau cari bahan berita disana, deadline untuk naskah koran cetak sudah berakhir. Saya juga hanya diwajibkan satu naskah (penting dan utama). Oleh karena itu, saya hanya menghabiskan waktu (beristirahat) di dalam kamar dengan menyetel sembarang siaran televisi.
"Dimana, bang Imam?" sebuah pesan masuk di WhatsApp.
Saya baru ingat, sedang menunggu teman sekamar, Pandu, dari media kerabat di Kalimantan Timur (Kaltim). Ia bernasib sial, ketinggalan pesawat. Mau tak mau, ia harus mengatur ulang jadwalnya ke Kudus dan meminta bantuan untuk backup beberapa bahan berita untuk keperluan medianya.
"Saya masih di GOR ini mengetik berita. Tak tahu kapan pulang, disuguhi penampilan D'Masiv," tulisnya lagi, usai saya membalas pesannya.
Selain teman sekamar, saya cukup dibantu pula oleh perlengkapan fotografi Pandu. Di beberapa momen, kamera DSLR saya tak mampu menangkap gambar bagus untuk dikirimkan ke kantor. Terpaksa, kami berbagi tugas dan sesekali bertaruh pada pebulu tangkis yang mewakili daerah kami masing-masing. "Pasti wakilku yang banyak menang," ujarnya.
Selain Pandu, saya sempat mengenal beberapa wartawan lainnya. Yah, sebagian besar tentu berlogat tanah Jawa. Meski ada yang berbahasa daerah (Jawa), saya tetap paham. Lha wong saya ini asli keturunan Jawa. Mereka tak sadar saja, karena saya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia berlogat tanah Sulawesi. Oh, ya, teman sekamar saya itu malah lancar berbahasa Jawa juga.
"Di tempat tinggal saya kebetulan daerah transmigran Jawa. Jadi kebanyakan obrolan memang berbau Jawa dan kental bahasanya," terangnya saat kami sedang rehat di kamar.
Tak heran jika sedang kesal, ia lebih sering mengumpat dalam istilah Jawa. Kami memulai keakraban dengan mengisi perut yang kosong di pinggir jalanan malam. "Makanan di GOR tadi habis, jadi saya tidak sempat makan," ucapnya. Saya juga kebetulan sudah mulai baikan untuk sekadar mengisi perut yang agak masam.
Hingga hari terakhir, saya mengumpulkan bahan untuk keperluan liputan di sekitar GOR Kudus itu. Selain tentang pertandingan yang tengah berlangsung, saya juga mencari bahan lain yang bisa "dibelokkan" untuk topik-topik tertentu. Termasuk mencari atlet binaan PB Djarum, yang merupakan asli putra daerah Sulsel. Saya mendapati tiga orang. Hanya saja, cuma dua yang sempat saya jumpai dan membangun obrolan terkait kiprah mereka.
Belakangan, saya merasa sangat terharu saat salah satu anak menelepon malam-malam hanya untuk mengucap, "Terima kasih, Kak," dengan senyum lebar dan mau-malu mengambang di ujung telepon. Hanya gara-gara keluarganya melihat profil atlet tersebut di media saya bekerja.
Meski anak-anak ini kandas berjuang, harus selalu ada senyum yang mengembang. (Imam Rahmanto) |
Tak ada yang salah dengan mengenal orang lain. Perjalanan-perjalanan saya justru mengantarkan pada banyak perkenalan itu. Tak peduli jika terus berlanjut, atau hanya berhenti sebatas kebutuhan pewarta-narasumber. Toh, pasti selalu ada gunanya mengenal oranglain. Pun, hingga hari ini, sesekali saya masih menyambung silaturahmi dengan kawan sekamar itu. Apalagi saat kontingen Sulsel berhadapan dengan Kaltim dalam laga sepak bola Pekan Olahraga Nasional (PON), September kemarin.
"Jadi, hari ini kamu gak langsung ke bandara ya?" tanyanya.
"Iya. Mau numpang mobil panitia, turun di Semarang, nyari bus atau kendaraan buat ke Jogja,"jawab saya bersemangat. Sayangnya, saya lupa untuk mengabadikan foto dengan teman kocak satu itu.
Karena saya menyukai perjalanan itu beserta tantangan yang terpampang di hadapannya.
Senyum saya mengembang. Rencana mulai terkait satu sama lain. Akar perjalanan ke Jogja ternyata telah dimulai tanpa aba-aba...
*to be continued
Jejak perjalanan sebelumnya:
1. Cool Itinerary
2. Runway
***
Hal yang paling saya sukai dari pekerjaan sebagai pewarta adalah bisa mengenal banyak orang. Entah itu perkenalan disengaja (sebagai pewarta dan narasumber) ataupun sekadar perkenalan basa-basi.
Mengapa?
Karena kita tak pernah tahu, yang basa-basi bisa berujung pada jatuh hati...
--Imam Rahmanto--
2 comments
auwww...kata-kata terakhirnya dong
BalasHapus"Karena kita tak pernah tahu, yang basa-basi bisa berujung pada jatuh hati... "
jadi? hatimu sudah jatuh di mana? x))
Hahahahaha.....matimija. Banyak tercecer di beberapa tempat, Kak. XD
Hapus