Pagi ini, ini pagi. Yah, saya masih merasakan nuansa-nuansa pagi di tengah hari saya mencoba mengubek-ubek isi “rumah’ saya ini. Semalam, hujan deras mengguyur. Sesekali langit tampak cerah oleh oleh tempias kilat yang sambar-menyambar.
Yah, saking derasnya hujan, parit-parit di sepanjang jalanan meluapkan sampah-sampahnya yang menggenang. Bahkan, saya memprediksikan, rumah kost saya yang berada di daerah rawan banjir saat ini sedang berbenah – entah menguras air, menyingkirkan barang-barang titipan banjir, membersihkan, mengeringkan – akibat hujan semalam. Selalu begitu, setiap tahun.
Lama menunggu sejak Oktober lalu (bahkan Agustus) semenjak menyaksikan trailer-nya, membuat saya tidak sabar menyaksikan filmnya secara langsung. Sebenarnya, bukan terdorong oleh trailer-nya semata. Justru karena saya telah membaca trilogi novelnya, The Hunger Games, saya begitu penasaran bagaimana menyaksikan kelanjutannya dari sekuel film sebelumnya.
Saya memang punya kebiasaan “penasaran” dengan film-film yang diangkat dari novel. From book to film. Akan tetapi, untuk trilogi yang satu ini, sejujurnya saya belum pernah membaca serial pertamanya, The Hunger Games. Novel kedua dan ketiganya, Catching Fire dan Mockingjay adalah hasil rasa penasaran saya usai menonton film The Hunger Games-nya.
Setahun silam, saya menonton seri pertamanya, dan kemudian membeli buku kedua, dan selanjutnya dirongrong rasa penasaran di akhir cerita untuk membeli buku ketiga. Great!! Jadi, hingga detik ini saya belum sempat membaca buku pertamanya. :)
Kesempatan itu akhirnya datang juga. Bersama orang yang, menurut saya, spesial (uhukk!!) dan seorang teman, saya jauh hari telah merencanakan untuk menontonnya tepat di penayangan perdananya, 21 November. Sayangnya, karena beberapa kesibukan, menonton si Catching Fire ini harus ditunda hingga hari Senin. Selain untuk menghemat harga tiket bioskopnya sih. Hahaha…
Pun, film itu tidak saya nikmati sejak awal. Saya telat hadir lebih awal sesuai jam pemutaran film. Gara-garanya, saya mesti membagi waktu dan pikiran saya di redaksi atas kejadian yang sempat memporak-porandakan kampus saya.
Bentrokan kampus yang mendadak bergejolak di kampus saya, membuat saya harus bergerak cepat untuk “mengikuti”nya. Sebagai seorang pewarta kampus, kejadian-kejadian insidentil semacam itu menjadi obyek pemberitaan yang informatif kepada para pembaca. Selain itu, saya mesti memastikan beberapa orang teman-teman saya tidak terjebak di tengah-tengah tawuran yang melibatkan dua fakultas itu. Setelah seminggu sebelumnya, bentrok yang nyaris sama, kami sempat dibuat cemas oleh seorang rekan yang terjebak di tengah-tengah penyerangan mahasiswa tersebut.
“Imam…skarng tugasmu, pulang ke redaksi, mandi, kemudian siap2, dn bergegas… Catching Fire menanti..” pesan singkat seorang teman kepada saya.
Azan maghrib sudah berkumandang, dan orang-orang masih ramai berkumpul menyaksikan puing-puing jejak tawuran yang tersisa. Rektor beserta jajaran petinggi kampus juga ada disana.
“Imam… bmana ini?? Jadi tidak?” pesannya lagi setelah saya tidak sempat membalas sms-nya.
Karena sudah ditunggu, dan terlanjur mengiyakan ajakan padanya, maka saya bergegas dan meninggalkan konflik yang tensinya sudah mulai mereda itu. Di samping itu, seorang teman yang lainnya juga sudah mulai memaksa-maksa. Ckck…
Kalau boleh memilih, sebenarnya saya urung meninggalkan lokasi kampus. Berniat menyeahkan saja tiket kepada kedua orang teman saya itu. Akan tetapi, lucu juga sih membiarkan dua orang teman saya yang belum saling mengenal itu beranjak ke bioskop tanpa “katalisator’ seperti saya. Pas mereka bertemu, eh, ternyata mereka malah assik sendiri dengan dunia mereka. Dasar cewek.
Sejatinya, film Catching Fire yang disutradarai oleh Francis Lawrence ini adalah kelanjutan dari kisah perjuangan distrik sebelumnya dalam film The Hunger Games. Karena telah memenangkan The Hunger Games (permainan hidup dan mati yang mengharuskan sepasang sukarelawan terpilih dari 12 wilayah distrik ikut serta. Salah seorang harus bertahan dan dinyatakan sebagai pemenang), Katniss Everdeen dan Peeta Mellark dari Distrik 12 diharuskan untuk melakukan tur kemenangan. Mereka diharuskan untuk mengunjungi 12 Distrik di bawah pemerintahan Capitol.
Semenjak permainan berakhir, sebenarnya sudah mulai tumbuh benih-benih pemberontakan oleh penduduk Panem yang selalu merasa tersiksa dengan Presiden Snow sebagai kepala pemerintahannya. Di setiap distrik, oleh Presiden Snow, Katnis diharuskan membaca skenario teks pidato yang sudah dipersiapkan Capitol untuk meredam amarah penduduk Panem. Akan tetapi, tanpa disadari, Katniss bicara lepas tanpa naskah ketika teringat kematian Rue, seorang anak kecil dari Distrik 11 peserta The Hunger Games. Tanpa terkendali, Katniss berbicara mewakili perasaannya yang sejujurnya.
Tanpa disadarinya, ucapannya itu menjadi penyemangat sekaligus penyulut bagi pemberontakan penduduk Panem atas pemerintahan Capitol di bawah kekuasaan Presiden Snow. Oleh karena itu, Presiden Snow menginginkan Katniss mati agar tidak semakin memberikan kekuatan bagi penduduk Panem untuk memberontak.
Akan tetapi, tentu saja ia tak ingin Katniss mati dengan cara “langsung-dibunuhnya”. Ia juga memprediksikan, jikalau Katniss mati secara kasar, maka hal itu hanya akan membuat rakyat Panem semakin marah dan memberontak padanya. Atas dasar itu, bersama Plutarch Heavensbee penggagas permainan mematikan itu, ia kembali menggelar The Hunger Games yang ke-75, yang disebut Quarter Quell. Dengan cara itu, ia berharap Katniss bisa mati tanpa perlu repot-repot membunuhnya.
Quarter Quell mewajibkan setiap pemenang dari semua distrik untuk kembali ikut serta dalam permainan hidup dan mati itu. Tidak terkecuali Katniss dan juga Peeta, setelah ia mengajukan diri menggantikan Haymitch yang seharusnya terpilih mewakili Distrik 12. Tentunya, Peeta tak ingin Katniss kembali berjuang sendirian tanpa dirinya, yang begitu menyayanginya.
Dan dimulailah Quarter Quell yang melibatkan semua pemenang masa lampau untuk beradu dan bertahan! Tentu saja, dengan permainan yang lebih berbahaya atas instruksi Plutarch sebagai kepala permainan yang baru.
Cerita yang dihadirkan dalam film ini sebenarnya jika ditonton hingga selesai tidak benar-benar “selesai”. Di akhri cerita, kita akan dibuat penasaran dengan hancurnya arena The Hunger Games dan kemungkinan adanya Distrik 13, yang dianggap telah lama hilang. Selain itu, Peeta diceritakan tidak berhasil ikut serta dalam pelarian yang telah terskenario diantara beberapa peserta permainan, yang ternyata diprakarsai oleh Haymitch dan Plutarch.
Apa yang membuat setiap penonton penasaran dengan kelanjutan kisah film ini, nyaris sama ketika saya menamatkan bukunya. Saya sudah memprediksikannya. Saya dibuat “menggantung” membaca buku seri keduanya. Mau tak mau, untuk mengatasi rasa penasaran saya, berselang satu hari, saya segera memboyong buku ketiganya, Mockingjay.’
Selain itu, saya juga dibuat penasaran dengan kelanjutan kisah hubungan antara Peeta dan Katniss. Karena tanpa disadari Katniss, ia pun sebenarnya mulai mencemaskan dan peduli dengan Peeta. Ia yang dulu tidak mengharapkannya, lambat laun tersadar bahwa ia lebih menyukai Peeta dibanding Gale, kekasihnya.
Saya juga begitu excited menyaksikan langsung film ini. Kendati berakhir sama dengan bukunya, namun beberapa penggambaran dalam bukunya yang tidak mampu dijangkau oleh imajinasi saya terlihat gamblang. Itulah resiko membaca novel-novel fantasi, dihadapkan pada kondisi-kondisi imajinatif. Membaca novelnya ibarat menggambar sketsa-sketsa, setelah menonton filmnya, sketsa-sketsa itu kemudian berwarna dan menjadi satu gambaran yang utuh.
Untuk menuntaskan penasaran, mari menunggu sekuel film berikutnya, Mockingjay!
Bocoran: Katniss akan bergabung dengan pemberontakan dengan rakyat Panem dan menjadi “maskot” perjuangan mereka. Peeta yang ditangkap berhasil direbut kembali, namun sempat berubah perangai karena telah ditanamkan semacam “lebah” pencuci otak. Adik Katniss pun meninggal di tengah bertugas mengobati korban luka-luka perang.
Yah, saking derasnya hujan, parit-parit di sepanjang jalanan meluapkan sampah-sampahnya yang menggenang. Bahkan, saya memprediksikan, rumah kost saya yang berada di daerah rawan banjir saat ini sedang berbenah – entah menguras air, menyingkirkan barang-barang titipan banjir, membersihkan, mengeringkan – akibat hujan semalam. Selalu begitu, setiap tahun.
***
Lama menunggu sejak Oktober lalu (bahkan Agustus) semenjak menyaksikan trailer-nya, membuat saya tidak sabar menyaksikan filmnya secara langsung. Sebenarnya, bukan terdorong oleh trailer-nya semata. Justru karena saya telah membaca trilogi novelnya, The Hunger Games, saya begitu penasaran bagaimana menyaksikan kelanjutannya dari sekuel film sebelumnya.
Saya memang punya kebiasaan “penasaran” dengan film-film yang diangkat dari novel. From book to film. Akan tetapi, untuk trilogi yang satu ini, sejujurnya saya belum pernah membaca serial pertamanya, The Hunger Games. Novel kedua dan ketiganya, Catching Fire dan Mockingjay adalah hasil rasa penasaran saya usai menonton film The Hunger Games-nya.
Setahun silam, saya menonton seri pertamanya, dan kemudian membeli buku kedua, dan selanjutnya dirongrong rasa penasaran di akhir cerita untuk membeli buku ketiga. Great!! Jadi, hingga detik ini saya belum sempat membaca buku pertamanya. :)
Kesempatan itu akhirnya datang juga. Bersama orang yang, menurut saya, spesial (uhukk!!) dan seorang teman, saya jauh hari telah merencanakan untuk menontonnya tepat di penayangan perdananya, 21 November. Sayangnya, karena beberapa kesibukan, menonton si Catching Fire ini harus ditunda hingga hari Senin. Selain untuk menghemat harga tiket bioskopnya sih. Hahaha…
Pun, film itu tidak saya nikmati sejak awal. Saya telat hadir lebih awal sesuai jam pemutaran film. Gara-garanya, saya mesti membagi waktu dan pikiran saya di redaksi atas kejadian yang sempat memporak-porandakan kampus saya.
Bentrokan kampus yang mendadak bergejolak di kampus saya, membuat saya harus bergerak cepat untuk “mengikuti”nya. Sebagai seorang pewarta kampus, kejadian-kejadian insidentil semacam itu menjadi obyek pemberitaan yang informatif kepada para pembaca. Selain itu, saya mesti memastikan beberapa orang teman-teman saya tidak terjebak di tengah-tengah tawuran yang melibatkan dua fakultas itu. Setelah seminggu sebelumnya, bentrok yang nyaris sama, kami sempat dibuat cemas oleh seorang rekan yang terjebak di tengah-tengah penyerangan mahasiswa tersebut.
“Imam…skarng tugasmu, pulang ke redaksi, mandi, kemudian siap2, dn bergegas… Catching Fire menanti..” pesan singkat seorang teman kepada saya.
Azan maghrib sudah berkumandang, dan orang-orang masih ramai berkumpul menyaksikan puing-puing jejak tawuran yang tersisa. Rektor beserta jajaran petinggi kampus juga ada disana.
“Imam… bmana ini?? Jadi tidak?” pesannya lagi setelah saya tidak sempat membalas sms-nya.
Karena sudah ditunggu, dan terlanjur mengiyakan ajakan padanya, maka saya bergegas dan meninggalkan konflik yang tensinya sudah mulai mereda itu. Di samping itu, seorang teman yang lainnya juga sudah mulai memaksa-maksa. Ckck…
Kalau boleh memilih, sebenarnya saya urung meninggalkan lokasi kampus. Berniat menyeahkan saja tiket kepada kedua orang teman saya itu. Akan tetapi, lucu juga sih membiarkan dua orang teman saya yang belum saling mengenal itu beranjak ke bioskop tanpa “katalisator’ seperti saya. Pas mereka bertemu, eh, ternyata mereka malah assik sendiri dengan dunia mereka. Dasar cewek.
***
Peeta dan Katniss yang siap berkompetisi lagi di The Hunger Games. (Sumber: googling) |
Semenjak permainan berakhir, sebenarnya sudah mulai tumbuh benih-benih pemberontakan oleh penduduk Panem yang selalu merasa tersiksa dengan Presiden Snow sebagai kepala pemerintahannya. Di setiap distrik, oleh Presiden Snow, Katnis diharuskan membaca skenario teks pidato yang sudah dipersiapkan Capitol untuk meredam amarah penduduk Panem. Akan tetapi, tanpa disadari, Katniss bicara lepas tanpa naskah ketika teringat kematian Rue, seorang anak kecil dari Distrik 11 peserta The Hunger Games. Tanpa terkendali, Katniss berbicara mewakili perasaannya yang sejujurnya.
Tanpa disadarinya, ucapannya itu menjadi penyemangat sekaligus penyulut bagi pemberontakan penduduk Panem atas pemerintahan Capitol di bawah kekuasaan Presiden Snow. Oleh karena itu, Presiden Snow menginginkan Katniss mati agar tidak semakin memberikan kekuatan bagi penduduk Panem untuk memberontak.
Akan tetapi, tentu saja ia tak ingin Katniss mati dengan cara “langsung-dibunuhnya”. Ia juga memprediksikan, jikalau Katniss mati secara kasar, maka hal itu hanya akan membuat rakyat Panem semakin marah dan memberontak padanya. Atas dasar itu, bersama Plutarch Heavensbee penggagas permainan mematikan itu, ia kembali menggelar The Hunger Games yang ke-75, yang disebut Quarter Quell. Dengan cara itu, ia berharap Katniss bisa mati tanpa perlu repot-repot membunuhnya.
Para peserta Quarter Quell dari 12 Distrik. (Sumber: Googling) |
Dan dimulailah Quarter Quell yang melibatkan semua pemenang masa lampau untuk beradu dan bertahan! Tentu saja, dengan permainan yang lebih berbahaya atas instruksi Plutarch sebagai kepala permainan yang baru.
***
Cerita yang dihadirkan dalam film ini sebenarnya jika ditonton hingga selesai tidak benar-benar “selesai”. Di akhri cerita, kita akan dibuat penasaran dengan hancurnya arena The Hunger Games dan kemungkinan adanya Distrik 13, yang dianggap telah lama hilang. Selain itu, Peeta diceritakan tidak berhasil ikut serta dalam pelarian yang telah terskenario diantara beberapa peserta permainan, yang ternyata diprakarsai oleh Haymitch dan Plutarch.
Apa yang membuat setiap penonton penasaran dengan kelanjutan kisah film ini, nyaris sama ketika saya menamatkan bukunya. Saya sudah memprediksikannya. Saya dibuat “menggantung” membaca buku seri keduanya. Mau tak mau, untuk mengatasi rasa penasaran saya, berselang satu hari, saya segera memboyong buku ketiganya, Mockingjay.’
Selain itu, saya juga dibuat penasaran dengan kelanjutan kisah hubungan antara Peeta dan Katniss. Karena tanpa disadari Katniss, ia pun sebenarnya mulai mencemaskan dan peduli dengan Peeta. Ia yang dulu tidak mengharapkannya, lambat laun tersadar bahwa ia lebih menyukai Peeta dibanding Gale, kekasihnya.
Saya juga begitu excited menyaksikan langsung film ini. Kendati berakhir sama dengan bukunya, namun beberapa penggambaran dalam bukunya yang tidak mampu dijangkau oleh imajinasi saya terlihat gamblang. Itulah resiko membaca novel-novel fantasi, dihadapkan pada kondisi-kondisi imajinatif. Membaca novelnya ibarat menggambar sketsa-sketsa, setelah menonton filmnya, sketsa-sketsa itu kemudian berwarna dan menjadi satu gambaran yang utuh.
Untuk menuntaskan penasaran, mari menunggu sekuel film berikutnya, Mockingjay!
Bocoran: Katniss akan bergabung dengan pemberontakan dengan rakyat Panem dan menjadi “maskot” perjuangan mereka. Peeta yang ditangkap berhasil direbut kembali, namun sempat berubah perangai karena telah ditanamkan semacam “lebah” pencuci otak. Adik Katniss pun meninggal di tengah bertugas mengobati korban luka-luka perang.
--Imam Rahmanto--
- November 30, 2013
- 0 Comments