Sedikit Hal Tentang Jurnalis

November 17, 2013

Baca Juga

Sumber: goodreads.com
“Skeptis itulah ciri khas jurnalisme. Hanya dengan bersikap skeptis, sebuah media dapat hidup.”

Itulah kutipan yang menjadi pembuka buku yang baru bisa saya selesaikan dua hari yang lalu. Jurnalisme Dasar. Bahkan salah seorang teman saya menjadikannya kenang-kenangan dengan mengabadikannya dalam sebuah foto. Ckck…. Sebuah buku yang bercerita tentang kejurnalistikan dasar. Buku yang memaksa saya untuk banyak belajar, dan banyak tahu tentang seluk-beluk seorang jurnalis. Buku yang juga menjadi bahan bacaan wajib bagi saya, dalam beberapa minggu ini.

Menurut saya, awalnya, buku ini merupakan bacaan yang agak berat. Seperti halnya dengan buku-buku kuliah. Namun, jauh beberapa halaman saya membacanya, tidak ada kesulitan apapun yang membuat saya “pening” untuk membacanya. Ya, kenyataannya ini bukan buku berat. Hanya buku dengan kapasitas 188 halaman dengan bahasa yang cukup populer dan mudah dimengerti.

Melihat cover-nya, saya sejujurnya tidak begitu berminat untuk membaca buku ini. Kecenderungan saya pada bacaan-bacaan novel terkadang terlalu fanatik. Untuk itu, semenjak setahun silam buku itu bertengger dalam lemari perpustakaan redaksi, saya mengabaikannya. “Toh, saya telah banyak melakukan praktek-praktek dasar jurnalisme,” pikir saya.

Akan tetapi, semenjak saya diberikan amanah untuk memimpin orang lain, saya berpikir untuk banyak belajar. Lebih banyak belajar. “Coba baca-baca ulang buku tentang jurnalistik dasar,” tegur salah seorang senior saya kala mengevaluasi berita-berita  yang diterbitkan oleh lembaga kami. Dalam pandangannya, apa yang kami tulis tidak tidak sesuai dengan harapan. Jauh panggang dari api.

Sebenarnya, saya orang yang benci dikritik. Diarahkan tentang hal-hal yang tidak mampu saya lakukan. Namun, melihat kedudukan saya sekarang, saya harus menerimanya. Saya harus menerima bahwa saya masih harus banyak belajar. Menjadi seorang "kakak" tidak hanya persoalan tugas dan tanggung jawab, tapi juga persoalan sikap.

Alhasil, saya memaksakan diri untuk membaca buku ini. Dan Hei! Pada kenyataannya, buku ini tidak semenakutkan perkiraan saya. Isinya juga tidak begitu padat, seperti buku-buku how-to pada umumnya. Bisa dikatakan, tulisan-tulisan di dalam buku ini begitu “bersahabat”. Sangat jarang saya temukan kata-kata ilmiah yang mewakili isi buku ini. Pada dasarnya, tulisan-tulisan jurnalistik memang tidak menitikberatkan pada kalimat-kalimat intelektual, bukan? Kami paham bahwa mencerdaskan pembaca adalah salah satu tujuan utama penulisan jurnalistik. Pahamkan pembaca.

“Jurnalisme bukanlah tentang menulis saja. Anda belajar tentang ‘apa sesungguhnya mencari itu apa sebenarnya bertanya mengenai hal-hal pelik dengan kegigihan,”

Keseluruhan buku ini memberikan gambaran umum tentang dasar-dasar jurnalistik. Kita-kiat yang mesti diketahui oleh seorang wartawan. Etika seorang wartawan. Bagaimana memperoleh suatu informasi. Bagaimana seorang wartawan bersikap. Bagaimana membuat sebuah berita. Bagaimana menulis sebuah berita. Hingga gaya penulisan feature ke narasi.

“Journalism is not medicine, but it can heal. It is not law, but it can bring about justice. It is not military, but it can help keep us safe,”  --Mary Mapes--

Buku yang ditulis oleh Luwi Ishwara ini benar-benar mengajarkan jurnalistik secara santai. Luwi, seorang wartawan senior yang juga pernah mengepalai Pendidikan jurnalistik Kompas, memperkaya bukunya dengan referensi-referensi lain. Di kepustakaannya saja (daftar isi), ada banyak buku-buku keluaran mancanegara yang menjadi bahan menggarap tulisannya. Meski demikian, tidak serta-merta menjadikan buku ini menjadi bacaan yang berat untuk orang yang awam dunia jurnalistik.

Tentu saja, buku ini menjadi rekomendasi bagi siapa saja yang ingin menenggelamkan dirinya dalam bidang jurnalistik. Saya banyak menemukan hal-hal menarik dalam buku ini. Membacanya, semakin mengukuhkan niat awal saya. Passion saya semakin jelas. Dan lagi, saya semakin tertarik untuk membaca buku-buku “Seri Jurnalistik Kompas” yang lainnya.

“Lain dengan ahli sejarah yang terikat dengan masa lalu, wartawan harus berhubungan dengan masa kini dan kerap dengan masa datang,”

Dia yang bertanya adalah orang bodoh untuk lima menit. Dia yang tidak (bertanya) adalah orang bodoh untuk selamanya, --Pepatah Cina--

Recommended! :D


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments

  1. Semangat kak! Juga, semangat mengajari kami :D

    BalasHapus
  2. @Awal Hidayat Semangat itu menular... Kalau yang diajar juga semangat, dosa bagi kami kalau tak semangat pula...

    BalasHapus