Sudah tiga gelas kopi. Ini tegukan terakhir untuk hari ini. Tempat yang sama. Tak jauh dari tempat tinggal atau indekos.
Kebiasaan saya menghabiskan separuh hari dengan menyesap kopi. Malah, asam kopi lebih banyak masuk ke lambung dibanding makanan berat. Sekali ngopi, biasanya nafsu makan memang hilang. Cukup satu piring makan besar saja per hari. Sungguh, ini kebiasaan buruk.
Menyesap kopi menjadi cara saya untuk meningkatkan motivasi (atau inspirasi?). Setidaknya, saya lebih senang berpikir diantara aroma-aroma kopi. Di waktu-waktu tertentu, ngopi menjadi salah satu jalan melarikan masalah. Seolah-olah kopi mencairkan pikiran yang saya membatu.
"Kadang semangat kadang pula mau menyerah,"
Saya melintasi story seorang teman di akun Whatsapp. Teman saya itu tampaknya baru saja menjalani hari-hari kerjanya. Bisa jadi, dunia kerja tak seperti yang dibayangkannya.
"Apakah normal seperti ini? Setiap hari soalnya," sambutnya lagi.
Saya memakluminya. Semua orang pasti pernah merasakan hal yang sama.
Kehilangan motivasi atau semangat dalam bekerja adalah hal wajar. Saya
Pekerjaan sebagai wartawan, yang dikejar-kejar deadline tentu cukup mudah merobohkan fondasi itu. Belum lagi, redaktur atau atasan yang sama sekali "tak-pernah-mau-tahu". Bisa dibilang, pekerjaan saya juga tak kenal tanggal merah. Desk saya sekarang pun lebih berat dan agak bikin pening; kriminal.
Tak ada yang bisa membuatnya terbiasa. Sama sekali tak bisa. Seberapa lama pun saya bekerja, kepala saya tak pernah bisa membentuk sistem imun atas perasaan itu. Tidak lantas membuat saya kebal dengan waktu yang nyaris non-stop. Atau bahkan membuat saya "masa bodoh" dengan omelan atau tekanan atasan. Tidak.
Sumber: Pinterest |
Perasaan ingin menyerah menyergap dan menggerogoti. Lelah saja begitu. Sementara keluarga saya juga berada jauh, jauh, jauh sekali dipisahkan tiket pesawat yang sangat mahal. Selingan berjumpa keluarga menjadi hal langka bagi anak-anak rantau seperti saya.
Hanya teman-teman saja yang sesekali menyumbangkan senyum dan cerita-cerita senasibnya, yang membuat sedikit terobati. Pun, selingan game tak seyogyanya banyak membantu.
Pekerjaan saya memaksa bertemu banyak orang. Tentunya, bermacam-macam karakter pernah saya jumpai. Jika sudah ketemu dengan orang yang mengesalkan, sulit ditemui, tak pernah welcome menjumpai kami, rasanya ingin banting setir saja.
Sebaliknya, orang-orang baru yang saya temui juga bisa menjadi penawar lelah. Saya paling suka dengan orang-orang yang menyunggingkan senyum. Mereka yang suka menyapa dan tak pernah menutup diri. Apalagi kalau sudah sampai di meja kopi.
Dunia kerja memang kejam, Ferguso! Kita dipaksa bekerja lembur bagai quda. Sementara hasilnya tak sepadan dengan perasaan yang tercincang-cincang. Kesal, bukan?
Saya hanya berusaha menyemangati diri. Mencari-cari puzzle yang tepat agar tak terjerembab dalam kemalangan.
Mungkin, selanjutnya saya harus mencari hal-hal baru yang lebih menyegarkan. Karena tahu tidak, kehidupan di kota menunjukkan kesenjangan yang berbeda dengan perkampungan. Perbedaannya sungguh mencolok.
Saya rindu berjalan-jalan di bukit-bukti hijau yang belum pernah saya sambangi. Saya rindu mengangkat-angkat kamera. Kamera nyaris rusak gara-gara tak tersentuh lagi di kota. Saya rindu menyeduh kopi tanpa diburu-buru.
Bagaimana pun, memang benar, quality time tak pernah biasa diukur dari seberapa banyak uang atau money. Sayangnya, kehidupan dewasa memaksa kita untuk menukarkan kedua hal itu. Ada kebutuhan yang mesti dipenuhi, baik hanya untuk diri sendiri atau sekadar cara berbakti kepada orang tua.
***
Sudah waktunya saya pulang. Saya memasang earphone. Menyetel Spotify. Mencari lagu-lagu yang lebih enak meresap ke dalam hati. Mungkin, besok-besok saya butuh headset besar. Perjalanan-perjalanan berkendara di Makassar sangat membosankan dan membuang banyak waktu. []
--Imam Rahmanto--
- Februari 24, 2019
- 4 Comments