Tak Seperti Orang Biasa*

Februari 11, 2019

Baca Juga


Sumber: Pinterest

Aroma lembap melayang di udara. Tanah dan jalan baru usai dibasuh hujan. Genangan kecokelatan selalu memercik dari sisi roda kendaraan yang melintas. Hal yang mengesalkan jika terkena tempiasnya. Gerutu dan hujatan mengumpat di kepala.

"Kamu pulang..."

Ya, aku kembali.

"Lagipula untuk apa? Kamu telah lama melupakanku. Aku telantar di tengah belantara makna dan kata,"

Aku tak melupakanmu. Sungguh, tak pernah bisa. Aroma kota lah yang mengalihkanku darimu. Salahkan ia, yang begitu gigih membujuk kepalaku.

Jejaknya terlampau padat menarik semua ingatan dari ubun-ubun kepala ini. Bersahabat dengan kota, sama halnya berteman dengan kesibukan. Ia menawarkan kesenangan semu, sungguh, jauh dari ketenangan darimu. Jemu pula aku dibuatnya.

Di kota, segalanya berjalan begitu cepat. Ingatan datang dengan tergesa-gesa. Usia tiba melampaui takdir. Senyuman menghilang sepersekian detik. Bahkan, gedung-gedung itu, berganti hanya dalam jentikan jemari. Dimana lagi ruang untuk pulang kepadamu?

"Apa kau mencoba menyalahkan kotamu?"

Seharusnya memang demikian. Kalau saja bisa kulemparkan secarik mantra untuk gedung-gedung kota itu, ingin kurobohkan saja. Kesombongannya tampak megah dari sana. Tetapi, ah, tidak. Kalau gedung-gedung itu rubuh, aku yang akan sibuk memungut remah-remahnya sebagai berita. Itu kan pekerjaanku.

Kita memang terus berjarak. Sadar atau tidak, aku sudah tak tahu lagi cara mengurus diri sendiri. Seolah-olah waktuku hanya menari-nari dengan pekerjaan. Sekadar merapikan barang-barang di kamarku saja hanya jadi angan-angan.

"Lantas, kenapa kau pulang padaku?"

Entahlah.

"Untuk apa?"

Karena kau adalah rumah dari segala gelisahku.

"Kenapa seperti itu? Cobalah mencari pasangan yang bisa menjadi tempatmu bersandar atau yang senyumnya untuk meluluhkan lelahmu."

Ha ha ha...

Kau masih pandai melucu. Masih seperti dulu, yang enggan terlalu serius menanggapi sesuatu. Itulah kenapa aku harus selalu pulang kepadamu.

Aku, apa adanya, di hadapan kamu.

"Dan kamu masih suka menggombal, ternyata"

Mungkin. Lelaki romantis sepertiku, mana bisa menghapus kata-kata manis semacam itu.

Untung kamu tak tahu caranya tersipu malu. Aku punya gadis yang pernah selalu tersipu malu karena rentetan kata semacam itu. Hanya saja, sekarang ia sudah terbiasa dengannya. Tak mempan lagi, katanya. Sambil tersenyum. Senyumnya, kubayangkan dari jauh, manis sekali.

"Aku suka kamu yang begini,"

Nah, kan!

"Bukan. Aku rindu cerita-ceritamu. Tak ada yang lebih menyenangkan dari caramu bertutur. Lepas dan bebas saja denganku,"

Kata-katamu kok sama dengannya? Sepertimu, ia suka mendengarku bercerita. Ceritakan aku, katanya. Hampir setiap hari.

Meskipun, kadang kala, aku tak punya banyak hal untuk bisa diceritakan padanya. Lidahku kelu. Mungkin lelah. Aku hanya ingin bisa memandangi wajahnya. Cukup senyumnya saja yang bercerita. Aku mendengarnya lewat mata.

Jalan bercerita, tentu, denganmu saja. (Semoga ia tak cemburu). Dengan menulis, aku merasa bebas.

"Gombal lagi?"

Tidak. Itu memang bahasa hatiku.

Benar, aku merindukanmu.

Rindu menyentuh kisi-kisi lemari kamarmu. Rindu menatap lama dari sisi jendela. Rindu mengabadikan hujan dalam ingatanku. Buku-bukuku juga sudah mulai usang dimakan waktu. Aku butuh kau menyimpannya lebih lama.

"Aku sebenarnya terharu. Sejatinya, aku ingin kesal padamu. Aku ingin....hmm...seperti, apa ya istilah orang duniamu menyebutnya? Bombe! Sementara hati kecilku tak pernah memperbolehkannya."

Hahaha...kenapa kau mirip dengannya?

"Hush! Berhentilah dulu bercanda!"

"Kamu masih sempat menyebut namaku ketika nyaris hilang ditelan belantara waktu. Yah, meskipun aku sebal padamu karena tak pernah duduk lama-lama. Hanya melihatku dari jauh. Pergi selepas itu. Kita berjarak.

Akan tetapi, kamu tetaplah menjadi tuanku selamanya. Kamu yang kutunggu-tunggu, meski hanya bersenda gurau. Dan aku yakin seperti inilah rindu. Bukan begitu?"

Terima kasih.

"Tak perlu berucap terima kasih. Kemari saja. Aku ingin membukakan pintu, memelukmu, dan mendengar seluruh ceritamu yang tertunda." []

***

~
"Denganmu tenang. Tak terpikir dunia ini,"

"Karenamu tenang. Semua khayal seakan kenyataan"

*Song by Fourtwnty - Aku Tenang


--Imam Rahmanto--



You Might Also Like

0 comments