Rumah-rumah di atas gunung, Dusun Angin-angin. (Imam Rahmanto) |
Belakangan saya lebih banyak menghabiskan waktu di luar keramaian kota. Baru-baru ini, kembali menyusur perjalanan ke dusun kaki Gunung Latimojong, Angin-angin. Selain untuk memenuhi "vitamin hijau", saya juga sekaligus memenuhi janji kepada seorang teman yang sehari sebelumnya mengajak bersama rombongan tripnya ke dua dusun terpencil. Mereka punya agenda mengantarkan bantuan buku dan membuat pojok baca bagi anak-anak disana.
"Saya kayaknya tidak bisa nyusul hari ini. Ada penugasan yang harus ditunggui, jangan sampai tiba-tiba diminta dan saya tak ada di tempat (bersinyal)," ungkap saya sehari sebelumnya.
Saya seharusnya berangkat bersama rombongan, dua hari sebelumnya. Sekaligus menikmati pemandangan hijau dari dusun Nating. Tentu saja, tanpa jaringan telepon dan kesibukan dunia maya.
Ternyata, saya baru bisa menyusul tepat pada hari terakhir. Pun, saat mereka sudah berpindah ke dusun Angin-angin. Sendirian saja, saya menyusuri jalan yang belum pernah terlintas dalam benak. Sebenarnya hendak berdua dengan teman yang lama tak bersua. Sayang, ia membatalkannya karena urusan keluarga. It's ok.
"Memangnya, tahu jalanan kesana?"
Saya tak pernah menganggap serius pertanyaan semacam itu. Perkampungan adalah tempat yang sangat ramah bagi petualang atau penjelajah. "Kesasar" hanya kosa kata bagi orang-orang manja yang hanya bisa bergelut dengan dunia maya. Di dunia nyata, "kesasar" adalah bertemu orang-orang baru dengan mengasah kemampuan bertanya arah jalan. Pepatah "malu bertanya, tersesat di jalan" masih sangat mujarab dalam menemani perjalanan kemana saja.
***
Tak pernah disangka perjalanan mencapai dusun di kaki Latimojong itu benar-benar butuh kerja ekstra. Bukan perkara gampang mengendalikan Jupiter Z1 dari trek yang seharusnya dikuasai oleh motor-motor trail. Saya berkali-kali berhitung sembari mengencangkan tekad. Sekali-kali berseru wow! luar biasa! Beruntung, ganasnya medan diselingi dengan pemandangan alam tiada tara dari atas ketinggian. Maka nikmat Tuhan yang mana lagi engkau dustakan?
Rute itu jauh lebih berat dibanding perjalanan bersama komunitas jip, seminggu sebelumnya. Jika saya sebagai penumpang mobil bisa berleha-leha mengamati hijaunya pegunungan, kali ini berganti harus mengendalikan motor dari jok kemudi. Kelak, saya harus mengusulkan kepada para pengendara roda empat itu untuk menjelajah melalui jalur yang sama.
Soal bertanya jalan, jangan pernah mempercayai perempuan. Mereka bakal memberikan jawaban lebih manusiawi ketimbang laki-laki.
"Iya, masih jauh sekali," ini jawaban versi laki-laki.
"Tidak kok. Sudah dekat," ini jawaban versi perempuan, benar-benar lebih pakai perasaan.
Kesimpulannya, bertanyalah pada laki-laki. Jawabannya lebih realistis dan tak membuat kita berharap berlebihan.
*Catatan: kesimpulan itu tidak berlaku jika berjumpa gadis desa dengan senyum yang manis.
Entah berapa lama saya menyusur jalan-jalan tanah dan berkerikil sebelum memasuki gerbang kawasan Desa Latimojong. Perjalanan yang sangat-teramat jauh. Rasa lelah langsung luluh jika berjumpa dengan tujuan yang sejak awal dipancang di depan kepala. Selelah-lelahnya perjalanan, betapa mendamaikannya bertemu dengan tujuan perjalanan itu sendiri.
Meski tanpa sinyal handphone, saya langsung bisa menjumpai keramaian di dalam dusun itu. Anak-anak dikumpulkan dalam satu lapangan. Suara-suara dikeraskan. Anak- muda ambil bagian. Permainan dimulai dengan aba-aba.
Saya duduk saja mengamati sedikit kegembiraan masa kanak-kanak itu. Seolah-olah melemparkan kami di masa silam.
Sayangnya, kedewasaan memaksa kami untuk berjalan lebih realistis. Terkadang, berlaku sesuatu yang justru menyakiti diri sendiri. Seolah-olah, tak ada sesuatu yang berjalan sesederhana masa kanak-kanak dahulu. Segalanya harus punya alasan.
Anak-anak memang selalu menjadi penyambung tawa bagi kami, orang dewasa. Barangkali, itu pula sebabnya kami harus menyayangi anak-anak. Memupuk harapan bagi mereka yang menjalani masa kecil di daerah terpencil. Setidaknya, biarkan mereka tahu, ada orang-orang di luar sana yang masih peduli tentang keberadaan impian yang dibungkus dari pekatnya kabut pegunungan.
Berbagai kelompok atau komunitas dipersatukan oleh keinginan menghadirkan kebahagiaan bagi anak-anak pelosok. Saya mengenal beberapa orang diantaranya berasal dari komunitas yang berbeda. Pemikiran yang berbeda. Kebiasaan yang tak sama. Namun bersatu dalam tekad yang sama untuk menebar kebahagiaan.
"Dusun Angin-angin punya lebih banyak anak dan jalan yang menantang. Tetapi Dusun Nating juga punya cerita tersendiri tentang anak-anaknya yang semangat mengejar pendidikan," kata teman, yang juga seorang relawan.
Dalam waktu dekat, saya nampaknya harus menyambangi dusun Nating. Dusun itu memang sudah termasuk dalam wishlist selama berada di daerah ini. Tak peduli jika harus sendiri lagi dalam menyusur jalan-jalan desa. Toh, perjalanan-perjalanan itu yang membuat hidup lebih berwarna.
Kami tak bisa berlama-lama di tempat itu. Hari libur lebih cepat berlalu. Sinar matahari semakin naik ke ubun-ubun. Masing-masing harus kembali ke dunia yang padat, esok hari. Berharap saja bahwa anak-anak itu masih akan mengenang kami, kelak.
Bahkan untuk pulang pun, kami harus bersahabat dengan medan berat. (Imam Rahmanto) |
***
Saya harus mengakui, hidup jauh dari perkotaan memang tak selalu mudah. Keadaan juga tak selalu menyejahterakan kehidupan kami. Apa yang kami hasilkan biasanya jauh dari harapan.
Akan tetapi, kami seharusnya bersyukur. Tuhan Maha Adil dengan segala skenario-Nya.
Hidup di pedesaan jauh lebih melegakan dan mengundang kebahagiaan. Saya diajarkan untuk lebih banyak bersyukur. Sungguh, kami tertular oleh rona-rona kebahagiaan bagi yang tumbuh di pedesaan. Lebih banyak memandang gunung dan langit, juga membuat kita sadar: manusia tak berarti apa-apa dengan segala keagungan Tuhan.
Sebenar-benarnya hidup, juga dirasai masyarakat desa. Mereka orang-orang yang bahagia dengan cara sederhana. Anak-anak belum mengenal bagaimana gemerlap dunia maya. Perhatian mereka masih sebatas membantu orang tua ke kebun atau mengambil bagian atas cita-cita mereka yang telanjur mainstream.
"Tahu namanya facebook?" saya iseng bertanya pada seorang anak, Gunawan, yang mengantarkan ke atas puncak Tirowali. Dia hanya menggeleng. Bagaimana caranya tahu sosmed, kalau sinyal telepon saja masih payah.
"Saya mau jadi polisi," ujar Gunawan.
"Kenapa mesti polisi? Ndak mau yang lainnya, seperti pengusaha, fotografer, atau wartawan seperti saya? Banyak uangnya juga kok," tawar saya. Meskipun saya sadar, telah menyisipkan separuh kebohongan.
Ia hanya menggeleng lemah diantara langkah kami menuruni puncak Tirowali. Ia yang berada di belakang saya masih kelihatan berpikir.
"Atau itumo yang bawa-bawa pesawat terbang.....," jawabnya lagi, ragu-ragu.
"...Pilot, barangkali?" sambung saya, membenarkan.
"Iya,"
"Kalau begitu, belajar yang rajin. Jadilah apa yang kamu mau," ujar saya, dalam hati.
Kelak, anak-anak akan berpikir bahwa dunia dan seisinya ternyata masih lebih luas dibanding bayangan mereka. Sekadar cita-cita masa kecil juga punya titik baliknya di masa yang akan datang. Mereka harus siap dengan segudang bekal kenangan bahagia dari kampung halamannya yang begitu indah.
Di atas bukit atau gunung Tirowali, menghela napas dan tenaga. (Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
- Agustus 28, 2017
- 0 Comments