Meraung-raung
Agustus 20, 2017Baca Juga
Maaf, ini bukan soal tangis yang meraung-raung karena ditinggalkan orang-orang terkasih. Tulisan ini justru tentang mesin yang meraung-raung karena kebahagiaan membelah gunung.
***
(Foto: Imam Rahmanto) |
"Brrrmm!! Brummmmm!!!" raungan mesin tak pernah lepas dari perjalanan menanjak kami. Para driver tetap fokus di balik kemudinya. Sementara para penumpang bebas melongokkan kepala dan menikmati sajian alam dari atas Kecamatan Bungin.
Baru-baru ini, saya diajak teman-teman dari komunitas jip untuk berpetualang. Perjalanan itu hanya sekadar touring dan unjuk gigi sebagai komunitas baru. Yah, mereka baru memantapkan diri berjejaring dalam komunitas. Belum genap dua minggu.
"Mau ikut?"
Tak butuh waktu lama untuk memastikan hati saya agar ikut menjelajah bersama para pengemudi "mobil monster" itu. Bagaimana tidak, saya sudah teramat lama memendam rindu dengan petualangan melihat alam hijau. Melambai diantara belaian udara yang masih segar. Pun, hawa udara itu belum terjajah rangkaian alur sinyal telekomunikasi.
Ajakan itu sekaligus sinyal teman-teman baru untuk saya. Usia kami mengenal satu sama lain sebaya dengan usia komunitas itu. Duduk-duduk di kafe, berbagi tawaran, yang berujung dengan menyulut salah satu sumbu "kompor" di kepala para pengendara jip itu. Deal.
Saya tak peduli dengan kesendirian menjalani (liputan) perjalanan dengan orang-orang baru. Beberapa teman jurnalis lain punya kesibukan masing-masing, yang tentunya tak bisa dipaksa untuk ikut serta dalam rute. Lagipula, berdasarkan pengalaman tahun lalu, petualangan dengan pengemudi "mobil monster" tak pernah membuat saya menyesal.
Hijaunya alam pegunungan memang tak pernah mengecewakan mata. (Imam Rahmanto) |
Para petualang berangkat dengan "angkutan" masing-masing. Tak sedikit yang membawa istri dan anak-anaknya dalam perjalanan jauh itu. Barangkali, karena hanya berlabel "touring", perjalanan itu dianggap bukan hal yang ekstrem. Mobil-mobil hanya akan melalui jalanan beraspal, berbeton, berbatu, dan paling mentok pada lintasan tanah bergelombang.
Bisa dibilang, perjalanan sih menjadi lebih berwarna. Diantara deru mesin berkapasitas besar itu, ada tawa anak kecil dan celetuk riang para ibu. Nampaknya mereka juga menjadi "penyemangat" bagi lelakinya.
Sejujurnya, saya dibuat terkesima. Ternyata, berumah tangga itu bukan soal menyatukan dua hati saja. Melainkan bagaimana dua orang itu bisa saling melengkapi, dengan mendukung penuh hobi atau minat masing-masing individu. Yaelah, baperan.
"Seandainya kita tidak bawa keluarga, barangkali bisa sedikit lebih keras. Bisa tancap lebih kuat. Sayangnya, penumpang kesayangan membuat kita sedikit lebih hati-hati karena pasti pikir mereka juga," ujar salah seorang teman offroader.
Tentu saja, perjalanan kami tak pernah bebas dari kendala. Jalanan menanjak justru membuat beberapa mobil mandek. Sebagian besar karena kendaraannya hanya berspesifikasi penggerak roda 4x2. Sementara kendaraan four wheel drive (4WD) atau 4x4 justru melaju lancar melintasi tanjakan-tanjakan mulus membelah pegunungan.
Jangan heran melihat mobil-mobil itu harus ditarik dengan bantuan kendaraan yang lebih unggul. Sesekali, pengemudi lainnya harus turun mendorong mobil yang tak mau menanjak. Anak-anak kecil tak ingin ketinggalan merasakan dinginnya udara pegunungan.
Sampai-sampai ada yang harus ditarik kekuatan manusia. (Imam Rahmanto) |
Mesin yang berhenti meraung-raung juga memaksa rombongan kami harus berhenti. Wajar, perjalanan perdana rombongan komunitas ini hanya bermodalkan tekad masing-masing anggota. Kesiapan mobil tak pernah jadi prioritas bagi petualang. Sungguh berbeda dengan event-event resmi. Bahkan, saya pernah menyaksikan langsung bagaimana ketatnya scrutineering setiap unit mobil 4WD sebelum mengikuti adventure resmi di Makassar.
"Yah, kita sempat mau seleksi mobil-mobil yang bisa ikut sih. Tapi karena mereka ngotot mau ikut, tentu kita harus hargai semangatnya," ungkap salah satu offroader.
Dari perjalanan semacam itulah saya banyak belajar tentang arti kebersamaan. Seberat apa pun kendala yang mendera para pengendara, teman yang lain harus turun tangan. Tak ada teman yang pantas ditinggalkan untuk permasalahan di tengah perjalanan. Prinsipnya, berangkat sama-sama, pulangnya juga harus sama-sama. Tetiba saya teringat dengan perkataan salah satu tokoh anime.
"Ninja yang melanggar aturan memang sampah. Tetapi ninja yang meninggalkan temannya lebih rendah daripada sampah." --Uchiha Obito, Naruto Anime
Damai betul perjalanan semacam itu. Meski harus menghabiskan waktu hingga 12 jam lamanya di perjalanan, saya tak pernah merasa kapok. Asalkan tak ada tuntutan deadline diantara sinyal yang selalu timbul-tenggelam. Kendala-kendala di tengah perjalanan tak ada yang menyangka, bukan? Nikmatnya bisa dengan mengalihkan mata pada hijaunya sawah di sepanjang jalan.
Kalau masih kurang, saya akan menghabiskan sedikit waktu dengan bermain bersama anak-anak. Entah seperti apa, saya selalu merasa dekat loh dengan para bocah. Efek jiwa-jiwa "kebapakan" yang belum menemukan celahnya. _ _"
Bonusnya, lintasan berlumpur menjadi kesenangan tersendiri bagi para pehobi jip itu. Sejak awal, mereka memang lebih senang jika kendaraannya belepotan lumpur dan terhuyung kesana-kemari lantaran bannya yang selip. Usaha meloloskan kendaraan yang tenggelam dalam lumpur justru menjadi olok-olokan dan bahan candaan bagi sesama pengendara jip. Sayang sekali, karena gelap gulita diantara belukar kebun, saya tak bisa mengabadikan momen berlumpur-lumpur itu.
Kami harus menikmati momen siang-malam itu. Tujuan kami sama: menikmati perjalanan di alam bebas. Ditutup dengan makan (tengah) malam di rumah salah seorang offroader di Maroangin, kami menyisipkan kenangan akan petualangan yang benar-benar mengundang pengalaman berharga. Toh, sinar wajah para "penjinak monster" juga sudah menunjukkan rasa puas. Sekaligus secara bersamaan menekan pedal "coba-lagi-lain-waktu".
***
Sungguh menyenangkan bisa menikmati setiap jengkal perjalanan semacam itu. Bagi saya, hal tersebut menjadi cerminan perjalanan hidup di dunia nyata. Sebagaimana perjalanan panjang selalu menawarkan banyak pengalaman.
Tentang; tak egois terhadap perjalanan sendiri. Meluangkan waktu untuk orang lain. Menikmati waktu berkualitas bersama keluarga. Memperbanyak teman-teman baru dengan beraneka ragam pemikiran dan keahlian. Tanpa perlu diburu waktu, kita juga bisa menikmati setiap detail keindahan yang sering terlewat oleh mata. Barangkali, kita juga akan semakin intim dengan pemikiran, "Sudah sepantasnya kita selalu bersyukur."
Terlepas dari segala kendala yang mengadang perjalanan, kita pantas menertawakannya. Bersama kesulitan, selalu ada kemudahan (yang dimulai dengan menertawakan kesulitan itu sendiri). It seems difficult, but nothing impossible.
Senyumin aja. (Foto: Imam Rahmanto) |
--Imam Rahmanto--
11 comments
Mau sekaliami menikah ����
BalasHapusPasti semua orang mau kok...
HapusDalam kuliah Fuzzy Theory, setiap hal ada level/derajatnya, kalau derajat keinginan menikahnya yang di atas kayaknya sudah di ambang puncak :D
HapusSotta ini lagie... Mentang2 lagi fuzzy gara2 skripsinya.
HapusNda fuzzy-wuzzy amat ji kak, aku begini adanya~
HapusDua kali membaca ttg perjalanan dg mobil monster penjinak lumpur jadi terselip "Mimpi" untuk bisa merasakannya lho 😀
BalasHapusHahaha....buat refreshing aja.
HapusWahh..kalau q tau..sy mau tanya kak nasrun bilang tugaskan imam soal ini di dinas anu pas di bungin ������
BalasHapusAduh...pulang saja kau, anak muda. Kebanyakan naik-turun lift kau di kota. Huahahahaha.
HapusMeliput sambil bawa "pasangan" sepertinya ide menarik tuh Imam ^^
BalasHapusSudah pernah. Hahaha.
Hapus