"Para penumpang yang terhormat, sesaat lagi kita akan mendarat di Bandar Udara Internasional Achmad Yani Semarang. Perbedaan waktu antara Makassar dan Semarang adalah..."
Mata saya terbuka. Suara khas sepanjang lorong membuat saya terjaga dari lelap. Baru kali ini saya dibuat terkantuk-kantuk dalam pesawat. Terjaga sejak pukul empat pagi sungguh membuat kepala agak sempoyongan. Perut juga belum diisi sejak keluar dari pintu kamar. Beruntung, ada sepotong roti dan air mineral sebagai kompensasi bagi penumpang pesawat eksekutif ini. Yah, meski hanya sebatas mengganjal perut.
Selang beberapa menit, pesawat berguncang. Roda telah landas di atas ratanya aspal. Bergerak semakin pelan, hingga terhenti di apron.
"Langsung ke ruang tunggu VIP ya, mas," kata salah satu panitia lewat pesan singkatnya. Setelah bertanya pada petugas bandara, saya segera bergabung dengan beberapa wartawan lain yang ternyata sudah tiba lebih dulu.
Ruang tunggu (lounge) itu tampak begitu ramai. Sambil berdiri, seorang wanita paruh baya melayani perbincangan dengan beberapa wartawan yang mengerumuninya. Wajahnya agak familiar. Sayang, kepala puyeng masih menyesuaikan diri sehingga saya memilih ikut (diam) saja dalam perbincangan santai itu. Belakangan saya baru sadar ternyata perempuan itu adalah Susi Susanti.
Beberapa orang - yang saya tebak adalah atlet dan pelatih (sekaligus legenda) bulu tangkis PB Djarum - duduk santai melingkari meja. Mereka mengobrol, melepas rindu sesama atlet pebulu tangkis.
Bagaimanapun, saya harus segera menyesuaikan dengan iklim (dan pengetahuan) terkait bulu tangkis. Liputan saya beberapa hari ke depan akan saling paut dengan hal itu.
Sejujurnya, meski hampir setahun bergelut di liputan dunia olahraga, saya masih agak awam dalam beberapa hal maupun tokoh di cabang tepok bulu ini. Hanya mengenal sebagian.
Jauh di masa kecil, saya dan teman-teman memang tak jarang memainkannya. Olahraga ini termasuk yang paling populer di lingkungan perkampungan. Perlengkapannya sederhana. Berbekal tali yang diikatkan pada dua ujung kayu yang berdiri, net sudah siap membatasi permainan.
Sayang, saya terlalu jengkel jika bertemu gaya bermain uber-uber shuttlecock. Apalagi tubuh saya yang tak sampai seujung net. Hahaha...kan capek dibikin lari kesana-kemari.
Liputan saya di desk olahraga tidak dipersempit hanya untuk cabang olahraga tertentu. Terkecuali perkembangan klub seperti PSM, saya harus menangani semuanya. Ada perkembangan, ya dipantau dan diolah menjadi bahan berita. Mulai dari olahraga populer, hingga olahraga yang kelihatannya "tak-penting-penting-amat".
Sepanjang kedatangan di Semarang, saya mulai berperan layaknya seorang pewarta. Menghimpun strategi guna mengumpulkan bahan. Bertanya sana-sini. Mencatat lewat gadget (meski dalam saku saya selalu menyiapkan pulpen dan blocknote). Mencuri dengar percakapan wartawan lain. Menyusun kerangka dan jumlah berita yang harus disetorkan kepada kantor.
Kami memang tertahan agak lama di ruang tunggu tersebut. Sang bintang bulu tangkis, Butet (Liliyana Natsir) baru akan tiba dalam waktu beberapa menit. Ia baru saja pulang kampung ke Manado. Kembali ke Kudus, ia bakal diarak sepanjang perjalanan menuju markas PB Djarum.
Yah, saya akhirnya bisa melihat lebih dekat pahlawan olahraga Indonesia. Sayangnya, saya tak begitu berminat melepas foto dengan pasangan bintang itu. Teman-teman wartawan dan pengunjung lain berebutan ingin mengabadikan momen itu. Saya justru sibuk mengabadikan mereka. Entah kenapa, itu jadi kebiasaan. Saya memang selalu menahan diri untuk berfoto bersama bintang atau artis ternama sekalipun.
Perjalanan saya sepanjang Semarang - Kudus murni untuk menyelesaikan tugas. Sekali-kali saya menyisipkan ide untuk mencari bahan tulisan lain, di luar topik olahraga klub bulu tangkis itu.
Rombongan wartawan menumpang dua bus yang disediakan khusus pihak panitia. Saya tak mengenal satupun. Hanya beberapa nama medianya yang lekat dalam kepala saya. Semisal Jawa Pos, yang sejak dulu sudah jadi induk dari media kami. Media besar seperti Kompas juga ada. Bahkan, media cetak dan media online-nya punya pasukan wartawan yang berbeda. Sementara saya? Hanya untuk bekal media cetak, *yang merangkap seadanya untuk kebutuhan media online.
Tak ada perjalanan santai sepanjang Semarang. Bisa dibilang, kami hanya numpang lewat. Mampir di lokasi penyerahan rumah buat pahlawan bulu tangkis itu. Rumah total Rp3 miliar itu terletak di kawasan perumahan mewah kota Semarang. Diberikan secara cuma-cuma.
Selang dua jam, perjalanan berlanjut ke kota Kudus. Jelang memasuki Kota Kretek, Owi-Butet diarak hingga ke alun-alun/ rumah jabatan Bupati Kudus. Pun, mampir, kami hanya sebentar. Untuk kebutuhan bahan berita saya juga tak begitu penting. Satu-dua naskah juga sejak awal telah siap dalam draft email saya.
Jelang petang, rombongan tiba di salah satu gelanggang olahraga terbesar Kudus. Kepala saya masih terasa mumet. Perut kosong, paksaan menulis (dan membaca) di atas bus semakin memperparah perasaan - yang entah disebut apa. Saya bahkan tak lagi bernafsu menyentuh makanan yang dibagikan untuk rombongan wartawan. Karena ternyata, saya memuntahkan isi perut di halaman luar gedung. #damn. Ini pertama kalinya, semenjak berpuluh-puluh tahun saya dikuatkan menjalani perjalanan darat, laut, dan udara.
Saya jadi patah arang mengatur kelanjutan "perjalanan" saya; menyenangkan atau melelahkan.
*to be continued
Jejak perjalanan sebelumnya:
1. Cool Itinerary
2. Runway
Mata saya terbuka. Suara khas sepanjang lorong membuat saya terjaga dari lelap. Baru kali ini saya dibuat terkantuk-kantuk dalam pesawat. Terjaga sejak pukul empat pagi sungguh membuat kepala agak sempoyongan. Perut juga belum diisi sejak keluar dari pintu kamar. Beruntung, ada sepotong roti dan air mineral sebagai kompensasi bagi penumpang pesawat eksekutif ini. Yah, meski hanya sebatas mengganjal perut.
Selang beberapa menit, pesawat berguncang. Roda telah landas di atas ratanya aspal. Bergerak semakin pelan, hingga terhenti di apron.
Selamat datang di kota Kretek, Kudus. (Imam Rahmanto) |
***
"Langsung ke ruang tunggu VIP ya, mas," kata salah satu panitia lewat pesan singkatnya. Setelah bertanya pada petugas bandara, saya segera bergabung dengan beberapa wartawan lain yang ternyata sudah tiba lebih dulu.
Ruang tunggu (lounge) itu tampak begitu ramai. Sambil berdiri, seorang wanita paruh baya melayani perbincangan dengan beberapa wartawan yang mengerumuninya. Wajahnya agak familiar. Sayang, kepala puyeng masih menyesuaikan diri sehingga saya memilih ikut (diam) saja dalam perbincangan santai itu. Belakangan saya baru sadar ternyata perempuan itu adalah Susi Susanti.
Beberapa orang - yang saya tebak adalah atlet dan pelatih (sekaligus legenda) bulu tangkis PB Djarum - duduk santai melingkari meja. Mereka mengobrol, melepas rindu sesama atlet pebulu tangkis.
Bagaimanapun, saya harus segera menyesuaikan dengan iklim (dan pengetahuan) terkait bulu tangkis. Liputan saya beberapa hari ke depan akan saling paut dengan hal itu.
Sejujurnya, meski hampir setahun bergelut di liputan dunia olahraga, saya masih agak awam dalam beberapa hal maupun tokoh di cabang tepok bulu ini. Hanya mengenal sebagian.
Jauh di masa kecil, saya dan teman-teman memang tak jarang memainkannya. Olahraga ini termasuk yang paling populer di lingkungan perkampungan. Perlengkapannya sederhana. Berbekal tali yang diikatkan pada dua ujung kayu yang berdiri, net sudah siap membatasi permainan.
Sayang, saya terlalu jengkel jika bertemu gaya bermain uber-uber shuttlecock. Apalagi tubuh saya yang tak sampai seujung net. Hahaha...kan capek dibikin lari kesana-kemari.
Liputan saya di desk olahraga tidak dipersempit hanya untuk cabang olahraga tertentu. Terkecuali perkembangan klub seperti PSM, saya harus menangani semuanya. Ada perkembangan, ya dipantau dan diolah menjadi bahan berita. Mulai dari olahraga populer, hingga olahraga yang kelihatannya "tak-penting-penting-amat".
Sepanjang kedatangan di Semarang, saya mulai berperan layaknya seorang pewarta. Menghimpun strategi guna mengumpulkan bahan. Bertanya sana-sini. Mencatat lewat gadget (meski dalam saku saya selalu menyiapkan pulpen dan blocknote). Mencuri dengar percakapan wartawan lain. Menyusun kerangka dan jumlah berita yang harus disetorkan kepada kantor.
Kami memang tertahan agak lama di ruang tunggu tersebut. Sang bintang bulu tangkis, Butet (Liliyana Natsir) baru akan tiba dalam waktu beberapa menit. Ia baru saja pulang kampung ke Manado. Kembali ke Kudus, ia bakal diarak sepanjang perjalanan menuju markas PB Djarum.
Yah, saya akhirnya bisa melihat lebih dekat pahlawan olahraga Indonesia. Sayangnya, saya tak begitu berminat melepas foto dengan pasangan bintang itu. Teman-teman wartawan dan pengunjung lain berebutan ingin mengabadikan momen itu. Saya justru sibuk mengabadikan mereka. Entah kenapa, itu jadi kebiasaan. Saya memang selalu menahan diri untuk berfoto bersama bintang atau artis ternama sekalipun.
Perjalanan saya sepanjang Semarang - Kudus murni untuk menyelesaikan tugas. Sekali-kali saya menyisipkan ide untuk mencari bahan tulisan lain, di luar topik olahraga klub bulu tangkis itu.
Pasangan emas Indonesia. (Imam R) |
Tak ada perjalanan santai sepanjang Semarang. Bisa dibilang, kami hanya numpang lewat. Mampir di lokasi penyerahan rumah buat pahlawan bulu tangkis itu. Rumah total Rp3 miliar itu terletak di kawasan perumahan mewah kota Semarang. Diberikan secara cuma-cuma.
Selang dua jam, perjalanan berlanjut ke kota Kudus. Jelang memasuki Kota Kretek, Owi-Butet diarak hingga ke alun-alun/ rumah jabatan Bupati Kudus. Pun, mampir, kami hanya sebentar. Untuk kebutuhan bahan berita saya juga tak begitu penting. Satu-dua naskah juga sejak awal telah siap dalam draft email saya.
Jelang petang, rombongan tiba di salah satu gelanggang olahraga terbesar Kudus. Kepala saya masih terasa mumet. Perut kosong, paksaan menulis (dan membaca) di atas bus semakin memperparah perasaan - yang entah disebut apa. Saya bahkan tak lagi bernafsu menyentuh makanan yang dibagikan untuk rombongan wartawan. Karena ternyata, saya memuntahkan isi perut di halaman luar gedung. #damn. Ini pertama kalinya, semenjak berpuluh-puluh tahun saya dikuatkan menjalani perjalanan darat, laut, dan udara.
Saya jadi patah arang mengatur kelanjutan "perjalanan" saya; menyenangkan atau melelahkan.
*to be continued
Markas besar PB Djarum. (Imam Rahmanto) |
Jejak perjalanan sebelumnya:
1. Cool Itinerary
2. Runway
--Imam Rahmanto--
- September 29, 2016
- 2 Comments