Cool Itinerary

September 07, 2016

Baca Juga


"Bagaimana, Mas? Tiketnya jadi tanggal 1 (September) Kamis pagi, kan?" tanya seorang perempuan dari seberang telepon.

Saya baru saja mendapatkan penugasan keluar kota. Kali ini, mengawal berita tentang audisi atlet yang dipelopori oleh salah satu klub bulutangkis terbesar Tanah Air, PB Djarum. Apalagi mereka sedang berbahagia lantaran pebulutangkis jebolannya, Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir baru saja mempersembahkan medali emas di Olimpiade Rio de Janeiro.

Transportasi pulang-pergi, tentu menjadi tanggungan panitia. Salah satu panitia "penghubung" dengan media itu berkali-kali mengonfirmasi untuk pemesanan tiket pesawat. Saya sempat memberi jeda, lantaran kota tujuan Kudus, punya beberapa cabang yang ingin saya jelajahi.

"Mbak, kalau semisal saya mau pulang dari kota selain Semarang, dibolehkan ndak?" tanya saya hati-hati.

"Boleh aja sih, Mas. Asalkan selisih harganya tidak jauh beda. Terus tanggungan akomodasi penginapan dan konsumsi dari kami cuma pas waktu kegiatan (1-4 September) saja," paparnya.

"Iya, mbak. Sisanya memang saya tanggung sendiri,"

Antara Surabaya, Semarang, atau Yogyakarta. Ketiganya harus masuk dalam itinerary saya. Toh, ketiganya bisa dibilang sudah menjadi daerah istimewa bagi saya, yang memang berdarah Jawa. Lahirnya saja yang kebetulan di tanah Sulawesi.

Saya baru kali ini dibuat berpikir ketat untuk itinerary semacam itu. Rencana perjalanan. Bukan terpaksa atau dipaksa. Saya justru teramat antusias menyambut perjalanan pengobat rindu itu. Sudah beberapa minggu belakangan, saya agak suntuk dengan kesibukan di dalam kota. Tanpa perjalanan keluar kota. Ternyata, apa yang selalu didengung-dengungkan hingga alam bawah sadar bisa segera terwujud. It's miracle. Tuhan memang Maha Baik.

Semua mesti terencana dengan apik. Saya tak ingin membopong penyesalan lagi.

Sebelumnya, beberapa perjalanan keluar kota serasa tak pernah utuh. Ada saja rasa penasaran yang tertinggal. Hati, kok, seperti tak terima jika harus pulang lebih cepat. Bagaimana tidak, saya terlalu ketat menyimpan rasa nekat di saat ingin menjelajah banyak tempat. Bahkan momen-momen penting harus terlewat gara-gara tak berani mengulur perjalanan sendiri. Terlalu banyak pertimbangan, hanya membuat kita menjadi manusia peragu.

Karena itu, saya sudah membulatkan tekad tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Prinsipnya, masih banyak kesalahan lain yang patut dicoba.

Betapa saya harus menyelingi proses eksekusi naskah berita di lapangan hanya untuk menyusun rencana. Aplikasi smartphone untuk pemesanan tiket online sengaja diinstal untuk memudahkan pengecekan tiket pesawat. Padahal selama ini saya agak acuh dengan aplikasi semacam itu. Secarik kertas tak lepas dari tangan saya, berisi coretan jadwal penerbangan dari kota pilihan, beserta besaran biayanya. Sembari menyeruput kopisusu, saling silang saya coretkan.

Khusus Semarang, kota itu memang menjadi pemberhentian pesawat para jurnalis undangan dari beberapa daerah, termasuk Jakarta. Saya (dan mereka) memang harus ke Kudus via transportasi darat dari Semarang. Selain itu, ada agenda penyerahan rumah buat Owi-Butet di salah satu perumahan mewah Semarang. Bonus hadiah dari klubnya.

Sebenarnya, motivasi "belok" ke kota Surabaya terpicu demi mengunjungi keluarga bapak-mamak di Lamongan, Jawa Timur. Saya benar-benar penasaran bisa menyusur jalan ke desa yang sebenarnya menjadi muasal darah dalam tubuh saya. Bagaimana tidak, saya sudah agak "pangling" (lupa) dengan wajah kakek, nenek, paklik, pakde, ataupun bibi disana. Pokoknya, menjajal tantangan backpacking ke pedalaman desa pinggir Bengawan Solo itu cukup menantang adrenalin saya. Tentu saja, saya sekaligus bisa meluapkan kerinduan dengan semua keluarga bapak-mamak yang tidak begitu mengenal saya. Barangkali, mereka hanya mengenal anak kecil berpipi tembem anaknya Suwarji.

Di sisi lain, perjalanan ke tanah Jogja adalah hal yang saya idam-idamkan. Ada penasaran meluap-luap tentang kota yang masih kental adab Keraton itu. Banyak tempat keren, tetapi kultur budaya masih lestari. Malioboro, semacam kata (bukan kota) yang selalu menimbulkan banyak tanya. Sejak dulu, sebelum susunan rencana petualangan lain berjejalan, saya sudah mematoknya. Bahkan, bisa dibilang, kota ini menjadi salah satu top 5 itinerary saya di Indonesia.

Pun, soal tempat bermalam nyaris tak jadi masalah. Yah, namanya tekad, memang harus bulat. Sebisa mungkin mencari kenalan atau teman yang ada di kota bersangkutan saja. Kalau jurusan Surabaya, saya sudah punya banyak kerabat dan keluarga. Sayang, lokasinya masih teramat jauh dari pusat keramaian.

Ada jeda waktu yang membuat saya galau. Tentu saja, memikirkan hal berbau jalan-jalan itu di luar tugas pokok di kota Kudus. Saya harus menyelesaikan dulu salah satu liputan itu dengan beberapa stok bahan berita "masa depan".

Perjalanan itu dimulai dari keinginan. Tetapi, tak sekadar menunggu dari jauh. (Imam Rahmanto)

Saya hanya ingin menuntaskan mimpi yang tertunda. Kali ini, tanpa penyesalan. Jeda libur sehari bisa menjadi rencana perjalanan yang cukup mengasyikkan.

"Oke deh, Mbak. Pesankan tiket pulang dari Jogja ke Makassar," tegas saya, jelang waktu keberangkatan.

*to be continued


--Imam Rahmanto--

You Might Also Like

2 comments