"So, what do you think about your training today?"
Itu bukan salah satu jenis wawancara yang patut diteladani. Apalagi kalau narasumbernya orang Indonesia tulen.
Sebenarnya, salah satu pertanyaan bernuansa British itu yang kerap dilontarkan buat narasumber asing. Salah satunya, pelatih klub sepak bola PSM, setiap kali khatam latihan di lapangan. Kata teman, yang juga menjadi tandem liputan (sekaligus senior), itu selalu menjadi pertanyaan pamungkas untuk pelatih asing. Ia sudah khatam berhubungan dengan eks pelatih asing PSM lain, seperti era Hans Peter Schaller, Wolfgang Pikal, hingga pelatih timnas Alfred Riedl.
Saya membenarkannya. Yah, sebagaimana yang sering dipelajari saat menginjak bangku sekolah. Itu salah satu kalimat tanya untuk menanyakan pendapat, selain kalimat lain bernada sama, seperti, "How about......," atau "According to you, ....."
Setelah kalimat-kalimat jawaban terlontar dengan sangat lancar dari sang bule, barulah pertanyaan lanjutan akan muncul. Akan tetapi, disesuaikan dengan keterampilan sang wartawan dalam berbahasa Inggris. Praktis, hanya beberapa wartawan saja yang mampu meladeni wawancara tingkat tinggi itu. #uhukk
Meskipun sebenarnya pelatih klub PSM (yang sebenarnya asli Belanda itu) punya penerjemah sendiri di setiap sesi wawancara dengan para kuli tinta. Pelatih yang "sikit-sikit" pandai berbahasa Melayu itu sudah hampir tiga bulan menukangi skuat kebanggaan Sulsel.
Proses wawancara semacam itu justru menjadi keunikan (dan tantangan) tersendiri bagi saya. Betapa menyenangkannya bisa menjajal keterampilan berbahasa Inggris di dunia yang lebih nyata. Serius. Meski masih belepotan, saya sudah sejak lama menanti-nanti waktu (kocak) bisa bercuap-cuap ala British.
Di waktu lain, saya ditugasi liputan berbeda yang berbau internasional. Masih dalam lingkup olahraga. Kali ini, event tenis berskala internasional sedang dihelat di Makassar. Kalau pernah mendengar nama Sharapova atau Djokovic, berarti jenis olahraga yang dibayangkan sudah benar. Indonesia sendiri ternyata punya petenis andalannya yang masuk ranking dunia; Christopher Rungkat.
Lawan tandingnya berasal dari berbagai negara di luar Indonesia. Singapura. Taipei. China. Thailand. Philipina. Belgia. Jerman. Meksiko. USA. India. Beberapa petenis ranking dunia berkumpul lantaran salah satu event itu masuk dalam agenda International Tennis Federation (ITF).
Gairah "sok-British" saya kembali tersulut. Tentu saja, karena saya tahu, semua peserta bakal disatukan dalam bahasa yang sama: Inggris. Oleh karena itu, kesempatan emas untuk melakukan wawancara dengan para petenis asing, yang tidak benar-benar berasal dari negara "bule". Tinggal mencari "mangsa" saja. Akh, masa bodoh kalau bahasa saya juga terlihat belepotan. Begitu pikiran saya.
"Excuse me, Sir,"
"Yahh?" seorang pria berwajah India, saya cegat paksa.
"Which one player with name Kunal Anand?"
"Oh...hei, Kunal! That is, Sir. Him." ia menunjuk seorang teman yang lebih dulu berjalan dan sempat melewati saya.
"Oh, hei, Sir, sorry," sambil menjabat tangan lelaki asing itu. Tubuhnya leih tinggi beberapa centi dari saya.
"I am Imam, journalist from ~~blabla~~ newspaper. From here, Makassar. Can I get your time, a few minute, for an interview?"
"Yeah...sure," bule itu mengangguk-angguk. Entah mengerti dengan ujaran saya atau sama sekali kebingungan.
Barangkali, potongan translate di atas masih jauh dari sempurna. Yah, kalau dinilai menggunakan TOEFL atau berbagai tes formatif lainnya, masih jauh dari harapan agar mendapatkan sertifikat membanggakannya.
Akan tetapi, ada satu hal soal bahasa yang selalu saya percayai. Bahasa sebenarnya bukan penghalang untuk bisa berkomunikasi dengan siapa saja di dunia ini. Beberapa formalitas hanya untuk menekankan beberapa keperluan administratif untuk kepentingan lainnya.
Seorang teman, yang pernah melakukan perjalanan nekat backpacking ke negara Malaysia, Singapura, Laos, Vietnam, hingga China bahkan tak butuh teori Bahasa Inggris dalam-dalam. Ia hanya menyempatkan diri terjun ke Kampung Inggris Pare, Kediri, sekira sebulan-dua bulan. Tahu, kan, salah satu perkampungan menimba ilmu bahasa Inggris itu? Selanjutnya, nekat menyeberangi perbatasan negara hanya untuk memuaskan nafsu petualangannya. Hasilnya? Ia masih bisa pulang dengan selamat, membawa ole-ole segudang cerita.
"Saya cuma tahu Yes atau No, dan istilah umum lainnya. Kalau kepepet, bisa pakai bahasa isyarat," ceritanya. Ia cuma membekali diri dengan buku saku percakapan umum dalam bahasa Inggris.
Di tempat lain, sang guru besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali pernah memaksa semua mahasiswanya di kelas Pemintal (Pemasaran Internasional) untuk memantapkan hati pada destinasi negara idaman masing-masing. Syaratnya: tak boleh yang berbahasa akar Melayu. Rinciannya, mereka wajib mengunjungi negara itu bermodal paspor yang telah ditugaskan seminggu sebelumnya. Parahnya, tak semua anak modern di perkotaan ternyata juga paham dengan bahasa yang selalu bersaing dengan pelajaran bahasa Ibu di bangku sekolah itu.
Bagaimanapun, rencana jenius sang guru besar tetap berjalan lancar. Meski sebagian mahasiswa punya kemampuan bahasa pas-pasan, mereka tetap percaya diri untuk "kesasar" di negeri orang. Mereka justru dapat banyak pengalaman berharga yang bisa bikin kita iri setengah mati.
Bukankah, hanya butuh modal nekat?
Berbincang langsung dengan orang-orang native speaker memang hal yang selama ini saya buru. Beberapa kali, saya meminta teman di Australia untuk mencarikan partner teman asing yang tak pandai berbahasa Indonesia. Alasannya, ya, biar saya bisa berkomunikasi dengan "teman baru" itu. Biar via jejaring sosial, hanya untuk memperdalam "cemplungan" bahasa itu. Saya ingin belajar autodidak. Secara langsung. Sayang, belum dapat.
Selain niat "nyemplung", saya juga berusaha lebih banyak mendengar lagu-lagu Inggris sih. Memasang pengaturan segala perangkat handphone dengan bahasa Inggris. Menyelipkan sedikit istilah Inggris ke beberapa pesan. Atau menonton film (anime) dengan subtitle Inggris.
Intinya, tak perlu menunggu benar kalau ingin belajar berbahasa. Kalau selalu takut salah (berbicara), kapan benarnya?
Yes, with my pleasure...
Itu bukan salah satu jenis wawancara yang patut diteladani. Apalagi kalau narasumbernya orang Indonesia tulen.
Sebenarnya, salah satu pertanyaan bernuansa British itu yang kerap dilontarkan buat narasumber asing. Salah satunya, pelatih klub sepak bola PSM, setiap kali khatam latihan di lapangan. Kata teman, yang juga menjadi tandem liputan (sekaligus senior), itu selalu menjadi pertanyaan pamungkas untuk pelatih asing. Ia sudah khatam berhubungan dengan eks pelatih asing PSM lain, seperti era Hans Peter Schaller, Wolfgang Pikal, hingga pelatih timnas Alfred Riedl.
Saya membenarkannya. Yah, sebagaimana yang sering dipelajari saat menginjak bangku sekolah. Itu salah satu kalimat tanya untuk menanyakan pendapat, selain kalimat lain bernada sama, seperti, "How about......," atau "According to you, ....."
Setelah kalimat-kalimat jawaban terlontar dengan sangat lancar dari sang bule, barulah pertanyaan lanjutan akan muncul. Akan tetapi, disesuaikan dengan keterampilan sang wartawan dalam berbahasa Inggris. Praktis, hanya beberapa wartawan saja yang mampu meladeni wawancara tingkat tinggi itu. #uhukk
Meskipun sebenarnya pelatih klub PSM (yang sebenarnya asli Belanda itu) punya penerjemah sendiri di setiap sesi wawancara dengan para kuli tinta. Pelatih yang "sikit-sikit" pandai berbahasa Melayu itu sudah hampir tiga bulan menukangi skuat kebanggaan Sulsel.
Sumber: nascotours.com |
Proses wawancara semacam itu justru menjadi keunikan (dan tantangan) tersendiri bagi saya. Betapa menyenangkannya bisa menjajal keterampilan berbahasa Inggris di dunia yang lebih nyata. Serius. Meski masih belepotan, saya sudah sejak lama menanti-nanti waktu (kocak) bisa bercuap-cuap ala British.
Di waktu lain, saya ditugasi liputan berbeda yang berbau internasional. Masih dalam lingkup olahraga. Kali ini, event tenis berskala internasional sedang dihelat di Makassar. Kalau pernah mendengar nama Sharapova atau Djokovic, berarti jenis olahraga yang dibayangkan sudah benar. Indonesia sendiri ternyata punya petenis andalannya yang masuk ranking dunia; Christopher Rungkat.
Lawan tandingnya berasal dari berbagai negara di luar Indonesia. Singapura. Taipei. China. Thailand. Philipina. Belgia. Jerman. Meksiko. USA. India. Beberapa petenis ranking dunia berkumpul lantaran salah satu event itu masuk dalam agenda International Tennis Federation (ITF).
Gairah "sok-British" saya kembali tersulut. Tentu saja, karena saya tahu, semua peserta bakal disatukan dalam bahasa yang sama: Inggris. Oleh karena itu, kesempatan emas untuk melakukan wawancara dengan para petenis asing, yang tidak benar-benar berasal dari negara "bule". Tinggal mencari "mangsa" saja. Akh, masa bodoh kalau bahasa saya juga terlihat belepotan. Begitu pikiran saya.
"Excuse me, Sir,"
"Yahh?" seorang pria berwajah India, saya cegat paksa.
"Which one player with name Kunal Anand?"
"Oh...hei, Kunal! That is, Sir. Him." ia menunjuk seorang teman yang lebih dulu berjalan dan sempat melewati saya.
"Oh, hei, Sir, sorry," sambil menjabat tangan lelaki asing itu. Tubuhnya leih tinggi beberapa centi dari saya.
"I am Imam, journalist from ~~blabla~~ newspaper. From here, Makassar. Can I get your time, a few minute, for an interview?"
"Yeah...sure," bule itu mengangguk-angguk. Entah mengerti dengan ujaran saya atau sama sekali kebingungan.
Barangkali, potongan translate di atas masih jauh dari sempurna. Yah, kalau dinilai menggunakan TOEFL atau berbagai tes formatif lainnya, masih jauh dari harapan agar mendapatkan sertifikat membanggakannya.
Akan tetapi, ada satu hal soal bahasa yang selalu saya percayai. Bahasa sebenarnya bukan penghalang untuk bisa berkomunikasi dengan siapa saja di dunia ini. Beberapa formalitas hanya untuk menekankan beberapa keperluan administratif untuk kepentingan lainnya.
"Ada satu bahasa universal yang bisa menyatukan siapa saja di belahan dunia ini: senyuman."
Seorang teman, yang pernah melakukan perjalanan nekat backpacking ke negara Malaysia, Singapura, Laos, Vietnam, hingga China bahkan tak butuh teori Bahasa Inggris dalam-dalam. Ia hanya menyempatkan diri terjun ke Kampung Inggris Pare, Kediri, sekira sebulan-dua bulan. Tahu, kan, salah satu perkampungan menimba ilmu bahasa Inggris itu? Selanjutnya, nekat menyeberangi perbatasan negara hanya untuk memuaskan nafsu petualangannya. Hasilnya? Ia masih bisa pulang dengan selamat, membawa ole-ole segudang cerita.
"Saya cuma tahu Yes atau No, dan istilah umum lainnya. Kalau kepepet, bisa pakai bahasa isyarat," ceritanya. Ia cuma membekali diri dengan buku saku percakapan umum dalam bahasa Inggris.
Di tempat lain, sang guru besar Universitas Indonesia, Rhenald Kasali pernah memaksa semua mahasiswanya di kelas Pemintal (Pemasaran Internasional) untuk memantapkan hati pada destinasi negara idaman masing-masing. Syaratnya: tak boleh yang berbahasa akar Melayu. Rinciannya, mereka wajib mengunjungi negara itu bermodal paspor yang telah ditugaskan seminggu sebelumnya. Parahnya, tak semua anak modern di perkotaan ternyata juga paham dengan bahasa yang selalu bersaing dengan pelajaran bahasa Ibu di bangku sekolah itu.
Bagaimanapun, rencana jenius sang guru besar tetap berjalan lancar. Meski sebagian mahasiswa punya kemampuan bahasa pas-pasan, mereka tetap percaya diri untuk "kesasar" di negeri orang. Mereka justru dapat banyak pengalaman berharga yang bisa bikin kita iri setengah mati.
Bukankah, hanya butuh modal nekat?
Salah satu koleksi foto epik sahabat saya. (Foto: Fajrianto Jalil) |
Berbincang langsung dengan orang-orang native speaker memang hal yang selama ini saya buru. Beberapa kali, saya meminta teman di Australia untuk mencarikan partner teman asing yang tak pandai berbahasa Indonesia. Alasannya, ya, biar saya bisa berkomunikasi dengan "teman baru" itu. Biar via jejaring sosial, hanya untuk memperdalam "cemplungan" bahasa itu. Saya ingin belajar autodidak. Secara langsung. Sayang, belum dapat.
Selain niat "nyemplung", saya juga berusaha lebih banyak mendengar lagu-lagu Inggris sih. Memasang pengaturan segala perangkat handphone dengan bahasa Inggris. Menyelipkan sedikit istilah Inggris ke beberapa pesan. Atau menonton film (anime) dengan subtitle Inggris.
Intinya, tak perlu menunggu benar kalau ingin belajar berbahasa. Kalau selalu takut salah (berbicara), kapan benarnya?
Kalau Anda penggila PSM, tentu kenal dengan sosok Robert Rene Alberts ini (putih). (Foto: Imam Rahmanto) |
***
Itu cuma sedikit dari keasyikan merangkum wawancara dari narasumber asing. Kelak, tak hanya narasumber asing yang akan saya wawancarai. Melainkan tiba di suatu tempat, yang benar-benar asing dan memulai segalanya lewat bahasa asing.Yes, with my pleasure...
--Imam Rahmanto--
- Agustus 31, 2016
- 0 Comments