Saya bingung ketika dihadapkan pada laptop (teman) di hadapan saya meski dalam pikiran selalu saja ada dorongan untuk “menulis” sesuatu. Padahal, ketika saya tidak sedang dalam posisi ready to write, banyak hal yang ingin saya tuliskan. Akan tetapi, ketika sudah tiba waktunya saya akan menulis, maka segala ide tersebut memudar satu-persatu. Mungkin inilah akibatnya meninggalkan kebiasaan mencatat ide-ide penting dalam kehidupan sehari-hari.
Terlepas dari itu, saya tetap berpegangan pada prinsip saya;
“Bukan inspirasi yang membawa kita untuk menulis, namun menulis itu sendirilah yang akan membawa kita pada banyak inspirasi,”
Yes! It’s right! Dan kini, dengan segelas cappucino saya berusaha untuk menjemput inspirasi itu. Sudah lama saya telah cuti dari kegiatan menulis seperti ini. Tidak hanya itu, bahkan mencatat di waktu kuliah saja, sudah mulai menjadi hal yang langka bagi saya. Bukan merasa sebagai orang pandai, hanya saja menulis diktat mata kuliah membuat saya rada-rada tegang. hehehe..
Saya rindu dengan menulis. Saya merasa menjadi orang yang miskin ketika berhenti dari menulis. Mengapa? Karena saya pun memiliki impian untuk bisa menjadi seorang penulis. Karena orang yang paling miskin bukanlah mereka yang tidak memiliki kecukupan harta sama sekali. Akan tetapi, mereka yang tidak berani bermimpilah yang pantas disebut sebagai orang miskin. (terngiang-ngiang dari sebuah novel)
Entah kenapa, ketika saya mendapati sebuah ide, saya selalu berharap bisa menuliskannya. Akan tetapi, karena kendala waktu dan tempat yang tidak tepat (dan tentunya fasilitas yang tidak memadai), maka saya selalu mengurungkan niat itu. Ah, sebuah alasan yang tepat bagi mereka yang tidak ingin berkembang, sebenarnya.
Sekali lagi, bukan inspirasi yang membuat saya menulis. Maka dari itu, dengan menulis akan membangun gairah menulis saya. Mood saya muncul. Dan akhirnya beragam inspirasi mendadak nongol di kepala.
Oh, ya, beberapa pembaca mungkin heran dengan judul yang saya tuliskan itu. Apa hubungannya dengan tulisan di dalamnya? Haha.., judul itu hanya terlintas di kepala saya. Makanya saya segera menuliskannya demikian, sebagai pemancing buat pikiran saya. Lagipula, saya menulis memang sudah terbiasa di waktu tengah malam dan ditemani dengan segelas (atau dua gelas) Cappucino hangat. Sebagai teman begadang. Memang keluarga kopi susu itulah yang selalu menjadi andalan saya. Tidak bermaksud promosi.
Menulis itu memang bisa dimisalkan dengan menyeruput segelas cappucino. Nikmatnya terasa ketika minuman masih dalam keadaan hangat. Dan terasa lebih nikmat lagi jika tidak diminum sekaligus. Demikian halnya dengan menulis.
Ketika dalam kepala kita terlintas sebuah ide, maka sangat mubazir ketika kita tidak menuliskannya. Ide yang masih “hangat-hangat”nya akan lebih baik jika dituangkan dalam sebuah tulisan. Menulisnya pun tidak perlu terburu-buru (karena takut kehilangan ide). Cukup nikmati saja proses menulis itu. Enjoy it! Buat apa terburu-buru? Semakin kita menikmati menulis sebuah ide, akan semakin banyak ide yang nantinya akan bermunculan. Menulis akan menimbulkan banyak inspirasi.
Dan ketika kita terus menulis dan menikmatinya, terkadang kita lupa waktu. Malahan saya sudah terbiasa begadang hanya untuk menulis. Seperti cappucino bagi saya. Saya pun sering memanfaatkan waktu malam hari untuk menulis. Meskipun mungkin saja tulisan yang saya hasilkan jauh dari sebuah tulisan yang berkualitas. Yang terpenting, saya belajar....
Segelas cappucino. Membawa saya pada sebuah ide, bahwa menulis itu senikmat meneguk cappucino itu sendiri. Delicious...
Segelas Cappucino Coklat dan berasa nikmat. Tegukannya begitu hangat. Di malam yang pekat. Seakan ku teringat, Lekat-lekat dan dekat di kepalaku. Sebuah ide yang begitu hangat. Singkat dan begitu padat. Namun sarat hikmah untuk belajar. Mari menulis. Layaknya cappucino. Membuat mata tetap terjaga. Membuat batin berbangga diri. Demi level satu tingkat Lebih pesat dari hari kemarin.
Hai sobat. Bagaimana keadaanmu kini? Semoga lebih baik dari sebelumnya. Aku yakin, luka akibat tertabrak mobil tempo hari tidak akan pernah menyurutkan niatmu untuk tetap memperjuangkan hak-hak rakyat yang tertindas.
Engkau pasti kuat. Biarlah, rumah sakit menahanmu selama beberapa hari, memastikan lukamu sembuh seperti sedia kala.
Oh, ya. Bersama surat ini, aku titipkan dua buah buku bacaan untuk menemanimu. Aku tahu, aktivis sepertimu tidak akan betah berlama-lama di rumah sakit.
Mengapa buku? Ya, karena buku adalah temanku. Aku mau buku itu juga menjadi temanmu.
Tahu tidak, melalui buku, aku banyak belajar. Buku pula yang menjadi sumber inspirasiku selama ini Melaluinya, bisa kubangun semangatku. Bahkan ia telah menjadi motivator keduaku setelah Bunda. Selain itu, lembaga jurnalistik yang menggemblengku kini, mengajariku bahwa penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Tahukah sobat, aku ingin jadi penulis. Melalui buku, dahulu kubangun impian itu. Ingin kuceritakan padamu bagaimana sebuah bacaan telah membangun impianku.
* * * * * * *
Sebelum meginjakkan kaki di kota ini, kita berdua sudah berteman sejak kecil. Rumahku hanya dipisahkan dua rumah dari rumahmu. Meskipun kelas sosial keluargamu jauh di atas keluargaku, namun hal itu tak membatasi kita untuk tetap bersahabat hingga kini.
Semenjak kecil, engkau punya banyak mainan untuk mengisi hari-harimu. Berbeda denganku yang hanya bisa ikut bermain bersamamu. Namun, hal itu pula yang senantiasa mempererat persahabatan kita.
Seperti biasa, dulu ketika pulang sekolah, aku harus selalu membantu ayahku berjualan es teler di pasar sentral. Pasar yang hanya buka tiap hari Selasa dan Jumat itu merupakan pasar yang paling ramai diantara beberapa kecamatan se-kabupaten. Segala macam dagangan bisa kita temukan di pasar itu.
Berjalan-jalan di pasar usai membantu ayahku adalah hal yang biasa bagiku. Hampir seluruh bagian pasar waktu itu pernah kusinggahi. Sehingga jikalau engkau ingin membeli sesuatu, engkau tak lupa selalu mengajakku. Seperti saat engkau mengajakku membeli buku pelajaran sekolah waktu itu.
Kuantarkan engkau pada sebuah toko buku di pasar itu. Toko buku yang kala itu merupakan toko buku satu-satunya. Karena, selain di tempat itu, dimana lagi kita bisa mencari buku? Disana kan tidak ada Gramedia layaknya kota-kota besar tempat kita menimba ilmu saat ini.
Saat itu, belum ada satu pun toko yang menjual buku-buku sekolah. Jikalaupun ada, jaraknya menghabiskan waktu satu jam perjalanan dari tempat tinggal kita, yakni di ibukota kabupaten. Mau tidak mau, toko buku itulah yang menjadi “primadona” saat itu.
Entah kenapa, perhatianku tertumbuk pada sebuah majalah di toko buku itu. Majalah yang covernya bergambar kelinci. Berwarna-warni, dengan tulisan besar di atasnya “Bobo”. Apalagi ketika mulai kubuka tiap halamannya, ada rasa “suka” yang tiba-tiba terbersit dalam benakku.
Hari pasar berikutnya, aku iseng-iseng membeli majalah itu. Meskipun waktu itu harganya Rp 6.000,/ eksemplar, aku tetap membelinya.
Aku langsung jatuh hati pada majalah itu.
Aku suka semua isinya. Mulai dari cerita-cerita pendeknya, cerita bergambarnya, sampai info-info menarik yang disajikannya. Terlebih lagi, isinya yang memang khusus buat anak-anak seusiaku pada saat itu. Masih terekam jelas dalam memoriku, tokoh-tokoh dalam cerita-ceritanya. Ada Oki, Nirmala, Paman Gembul, juga keluarga Bobo yang senantiasa mengisi halaman pertamanya.
Maka, dimulailah kebiasaan baruku, mengoleksi majalah Bobo.
Setiap Jumat, usai membantu ayahku, aku selalu menyempatkan diri untuk membeli Bobo. Aku bahkan rela menyisihkan seluruh uang jajanku selama enam hari hanya untuk membeli majalah Bobo tiap minggunya. Sampai-sampai ibuku heran, tidak pernah sekalipun aku jajan di sekolah sekadar untuk mengisi perutku yang kosong.
“Apa kamu ndak lapar kalau di sekolah?” tanya ibuku.
Toh, aku sudah terbiasa akan hal itu. Lagipula sebelum berangkat ke sekolah, aku selalu sarapan. Dan lagi, jarak sekolah kita kan tidak begitu jauh. Kita berdua setiap harinya melaluinya hanya dengan berjalan kaki.
Akibat keranjingan membaca Bobo, aku menemukan majalah serupa di perpustakaan sekolah kita. Asyik namanya. Asyik adalah nama tokoh utama majalah itu yang menyerupai kucing. Halamannya lebih tebal dibandingkan majalah Bobo. Isinya juga hampir sama, namun Asyik lebih dominan mengenai ilmu pengetahuan.
Ingat tidak? Engkau dulu sering kuajak ke perpustakaan sekolah hanya untuk membaca majalah itu. Karena itu pula, engkau mau tidak mau ikut-ikutan membacanya.
Sayangnya, hanya selang beberapa hari, semua edisi majalah itu habis kulahap. Tidak ada lagi edisi-edisi yang baru. Maklum, majalah-majalah itu tidak diperjualbelikan secara bebas di pasaran dan hanya diperuntukkan bagi perpustakaan-perpustakaan di sekolah dasar.
Hingga SMP, aku terus mengoleksi majalah Bobo. Bahkan, aku tidak perlu lagi bersusah payah menyisihkan seluruh jatah uang jajanku. Uang jajan Rp 3.000,-/ harinya kala itu, lebih dari cukup untuk bisa membeli majalah tiap minggunya.
Kebiasaan itu baru terhenti ketika musibah kebakaran menimpa pasar sentral. Ingat, kan? Kejadian yang berlangsung dini hari itu, menghanguskan sekian banyak lapak, tidak terkecuali toko buku itu.
Meskipun pasar sentral secepatnya dibangun kembali oleh pemerintah daerah, akan tetapi pemilik toko buku yang setiap minggunya menjadi langgananku tidak pernah kembali. Ia tidak lagi membuka toko buku di pasar sentral kita. Kabar terakhir yang kudengar saat itu, ia punya toko buku lainnya di ibukota kabupaten.
Beranjak remaja, kita mendaftar di SMA yang berbeda. Aku mulai melupakan Bobo meskipun majalah-majalah itu masih tersimpan rapi di kamarku. Akan tetapi, kebiasaanku membaca masih terpatri dalam benakku. Apalagi ketika salah seorang guruku mengatakan,
“Buku adalah gudang ilmu. Untuk membukanya, perlu sebuah kunci. Dan kuncinya adalah membaca.Membacalah, maka kau akan tahu seberapa luas dunia itu.” Oleh karena itu, aku selalu mengunjungi perpustakaan sekolahku.
Benar saja. Kutemukan lagi bahan bacaan baru. Horizon. Sebuah majalah sastra. Isinya mengupas seputar sastra dan menampilkan lebih banyak puisi dan cerpen. Saat itu aku baru tahu bentuk sesungguhnya dari sebuah cerpen. Bacaanku pun beranjak, dari majalah anak-anak ke majalah sastra.
Aku senang membaca majalah itu. Membacanya, menambah pengetahuan kosakataku. Tulisan-tulisannya yang berbau sastrawi begitu enak dibaca. Hingga terlintas di benakku, suatu saat aku ingin jadi penulis layaknya para penulis di majalah itu.
Tapi kemudian kuurungkan. Aku harus belajar. Aku masih tetap ingin menjadi rivalmu saat itu meski kita berbeda sekolah.
Hingga kemudian seorang kawanku meminjamkan salah satu buku novelnya padaku. Aku sebenarnya tidak begitu tertarik membacanya. Novel setebal itu? Namun, mau tidak mau aku harus menyelesaikannya.
Tahu tidak, novel yang kubaca itu? Novel yang bercerita tentang pendidikan di sebuah pulau kecil, Belitong. Novel itu dianggap begitu inspiratif, sehingga mampu memotivasi banyak orang, khususnya para akademisi pendidikan. Engkau pasti pernah mendengarnya.
Ya, tidak salah lagi. Laskar Pelangi.
Novel karya Andrea Hirata inilah yang kemudian membawaku pada novel-novel lainnya. Pula, menjadi titik awal aku berani bermimpi. Mimpi adalah kunci untuk menaklukkan dunia.
Kecintaanku membaca kemudian berkembang pada buku novel yang tebalnya beratus-ratus halaman. Seperti yang engkau pegang sekarang. Berbagai novel yang dimiliki teman-teman sekolahku kulahap habis. Bahkan nama-nama penulisnya pun kuhafal satu persatu.
Kini, aku masih suka membaca buku.
Hal ini pula yang mendorongku untuk sering mengunjungi perpustakaan kota. Banyak buku-buku baru yang sering aku temukan disana. Jikalau aku sudah bosan, barulah aku menghabiskan waktuku di Gramedia sekadar melihat-lihat buku baru.
Sejak bulan April, aku mulai berkomitmen. Sebagian dari honor les privatku akan kuinvestasikan tiap bulan untuk membeli setidaknya satu buku baru. Hingga akhirnya, sampai hari ini aku punya sembilan koleksi buku pribadi, termasuk yang sekarang ada padamu. Aku punya cita-cita, kelak bisa memiliki perpustakaan pribadi.
* * * * * * *
Aku cinta membaca buku. Karena darinya, aku bisa banyak belajar. Aku bisa memetik pengalaman. Aku bisa mencontoh. Aku pun bisa menonton lewat membaca buku. Melalui buku, aku bisa berimajinasi, karena segala yang kubaca begitu nyata.
Engkau sendiri juga membuktikannya, kan? Dengan membaca, engkau tidak perlu belajar. Engkau selalu suka membaca buku-buku “berat” tentang filsafat. Cukup dengan membaca, engkau bisa melampaui siapa saja. Einstein pun belajar dari membaca buku. Bukankah agama kita sangat menganjurkan untuk membaca? Iqra’ (Bacalah!) Karena, pada dasarnya, kunci segala pengetahuan adalah dengan membaca.
Jika selama ini engkau melihatku begitu semangat untuk meraih apa yang aku inginkan. Semua karena membaca. Begitu banyak novel-novel inspiratif yang kubaca. Berbicara mimpi. Berbicara persahabatan. Penuh tantangan. Penuh perjuangan hidup. Penuh haru. Hingga, mereka (para tokoh) bisa meraih impian masing-masing. Bagiku, hal seperti itu sungguh nyata dan aku ingin seperti mereka.
Membaca sebuah buku selalu memberikan cara berpikir baru bagiku, juga bagimu. Segala hal tentang kehidupan bisa dipelajari melalui buku. Maka dari itu, jangan pernah berhenti membaca, sobat.
Aku sering memetik pelajaran dari setiap buku yang kubaca. Setiap kisah yang diceritakan mampu memotivasiku untuk terus membaca. Dan setiap kisah yang dituliskan memberiku inspirasi untuk berbuat lebih baik. Mungkin, inilah yang disebut ‘tulisan bernyawa’. Tulisan yang mampu menginspirasi dan memotivasi banyak orang untuk meraih mimpi-mimpinya.
Sobat, aku berharap suatu hari aku pun bisa menghasilkan karya serupa. Olehnya itu, aku kemudian tidak takut untuk bermimpi. Segala kisah yang kubaca telah mengajarkan hal itu. Banyaklah belajar dari membaca.
Akhirnya, ingin kuperkenalkan pada engkau wahai sahabatku. Buku-buku itu telah menjadi inspirator sekaligus motivator dalam kehidupanku. Jadilah temannya. Lalu, temukan pula inspirasimu dengan membaca. Maka engkau akan tahu siapa motivatormu.
“Dengan membaca, maka engkau mengenal dunia. Dengan menulis, maka dunia mengenalmu.”