Menyeberang ke Liukang (part 1)
April 20, 2014Baca Juga
Menjelajahlah, karena dunia tak sebatas cerita daun kelor saja.
Lagi, saya menapakkan kaki di Pantai Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba. Saya mendapatkan kesempatan untuk liburan bersama teman-teman redaksi lembaga pers saya, LPPM Profesi. Sedikit menghilangkan penat dari rutinitas-rutinitas yang memompa otak.
Kata teman, ini sebagai acara pembubaran panitia kegiatan yang telah kami selesaikan nyaris sebulan kemarin. Saya yang sebetulnya sudah merencanakan ingin coming home, selepas terbitnya tabloid kami, mengecek kondisi orang tua saya di rumah, harus menundanya untuk sementara waktu.
“Ayolah. Untuk kali ini saja. Minggu depan kau boleh pulang. Tapi untuk ini, kau harus ikut,” paksa teman saya.
Oke. Saya berpikir.
Pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak….
Oke. Saya ikut.
Sekali waktu, saya harus memandang luasnya lautan, yang mampu menampung apa saja. Yah, apa saja.
Bukan kali pertama bagi saya menjejakkan kaki di Pantai pasir putih ini. Pantai yang terkenal se-nusantara karena pasirnya yang putih dan halus ini menjadi salah satu destinasi paling menarik bagi wisatawan domestik maupun luar negeri. Sepanjang penginapan disini (cottage ataupun villa), kita bisa menemukan bule berlalu lalang sambil menenteng kamera. Tak berbeda dengan setahun yang lalu ketika saya mengunjunginya pula.
Kalau diingat-ingat, ini adalah yang ketiga kalinya saya ke Tanjung Bira. Sebenarnya tidak ada salahnya menyegarkan mata dengan pemandangan lautnya yang biru kehijau-hijauan. Apalagi melepas penat dari rutinitas redaksi yang sebentar lagi akan mencapai puncaknya. Sekadar berlari-larian, membuat istana pasir, berenang dan tenggelam, jalan di dalam air, cukup untuk menggantikan beberapa alinea keburukan di kepala saya. Hanya saja, atas nama pengalaman, saya lebih penasaran dengan tempat-tempat menarik yang sama sekali belum pernah saya jejaki. Saya ingin mengabadikannya!
Tuhan bekerja dari cara kita melafalkan doa kepada-Nya, bukan seberapa sering kita melafalkannya. Dan saya semakin percaya bahwa rezeki itu datangnya selalu pagi hari.
Masih pagi benar ketika teman-teman sudah terlelap lantaran menghabiskan waktu semalaman untuk training tentang jurnalistik. Kedatangan kami di penginapan, malam hari, langsung disambut dengan menggelar “klinik” jurnalistik. Sedikit sesi pelatihan tersebut memang dikhususkan bagi magang maupun pengelola yang hadir dalam iming-iming acara pembubaran. Selain untuk mengakrabkan diri diantara pengelola, hal tersebut demi mempersiapkan kaderisasi di kepengelolaan berikutnya. Saya, sendiri, memilih untuk terlelap beberapa jam menjelang acara tersebut selesai.
Hanya ada beberapa teman lainnya, yang merupakan senior (sebagiannya #Ben10) di lembaga pers kami, sudah terjaga di pagi itu. Sembari membersihkan muka dan menunaikan kewajiban Muslim, saya mengikutkan diri dalam rombongan mereka (hanya 6 orang sih) yang bergegas ke arah pantai menyambut pagi. Saya butuh pemandangan yang menenteramkan.
“Eh, Dhin, sebentar kau tidak usah ikut menceburkan diri ke laut ya?” tutur salah seorang Kanda senior saya.
“Kenapa memang, Kak?” tanya teman saya itu penasaran.
“Kasihan nanti air lautnya, langsung berubah warna kalau kau nyebur juga,” candanya yang kemudian disambut gelak tawa kami di pagi itu. Hahaha…teman saya itu hanya bisa bermuka manyun mendengar guyonan itu.
“Mau jalan-jalan ke pulau seberang?” tanya salah seorang penduduk di Tanjung Bira ketika kami tiba di pinggir pantai.
Ia, hanya salah satu dari puluhan penduduk lainnya yang menawarkan jasa perahu untuk sampai di pulau seberang. Orang-orang disana menyebutnya Pulau Liukang Loe. Dari Pantai Tanjung Bira, lekukan perbukitan maupun bayangan pulaunya sudah nampak jelas terlihat. Tentu saja, pulau yang berdiam sendirian di tengah laut itu cukup membuat penasaran bagi setiap orang yang pertama kalinya berkunjung ke Tanjung Bira. Termasuk saya yang hanya bisa memandangnya lepas. Akh, saya harus berhemat untuk alasan lain.
“Berapa, Daeng, kalau kesana?” salah seorang dari kami balik bertanya pada tawarannya itu.
“Cuma 300 ribu untuk 10 orang,” jawabnya cekatan. Kalau dihitung-hitung, kita membayar 30 ribu per orangnya. Namun, total penumpang yang diangkut harus mencapai 10 orang dulu, baru sang pemilik perahu mau mengantarkan siapa saja ke pulau itu. Sekali lagi, saya mesti berhemat.
Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan tarif yang dipatok untuk fasilitas Banana Boat disepanjang pantai itu. Kalau untuk “pisang” berkecepatan tinggi itu, para penjaja jasa memasang tariff 20 ribu per orangnya, untuk beberapa kali putaran di lepas pantai.
“Oke, Daeng. Kalau untuk dua orang berapa? Apa tidak bisa ya?” salah seorang kakak senior saya mengobrol lebih lanjut.
Saya hanya menemaninya, sembari memandang sepanjang pantai yang sudah dinikmati banyak orang. Anak kecil yang berlari-lari sendirian.Ada yang dikejar-kejar ibunya. Anak kecil yang membangun istana pasirnya. Mm…saya melihatnya hanya sebatas gundukan pasir berbentuk tabung? Pasangan muda-mudi yang berjalan beriringan, tentu, membicarakan banyak hal menarik diantara mereka. Pasangan suami-istri (yang mungkin) sedang menikmati masa honey moon-nya. Beberapa orang yang juga menenteng kamera sambil menyorotkannya ke berbeagai arah. Tak ketinggalan, para selfier dengan tongkat narsisnya masing-masing. Ramai. Termasuk dengan beberapa orang yang menawarkan tumpangan perahu maupun boat-nya.
“Bisa dengan 100 ribu untuk dua orang. Tapi tidak dengan perahu saya. Disana ada sampan kecil. Mungkin bisa dengannya saja, Pak,” lamat-lamat saya kembali ke arah perbincangan dua orang di samping saya. Hahaha…ada panggilan “Pak” yang menyemat di belakangnya. Saya sendiri merasa risih ketika dipanggil dengan julukan seperti itu oleh orang yang tak dikenal. -_-
Harga itu sebenarnya tergolong mahal untuk kami yang ingin ke pulau seberang. Akan tetapi, atas nama kegemarannya pada fotografi, kakak senior saya itu bela-belain membayar mahal untuk menemukan spot menarik yang bisa ditangkap lensa kameranya. Di ujung sana, di Pulau Liukang Loe.
Bapak pemilik perahu itu kemudian mengantarkan kami kepada salah seorang temannya. Seperti yang dikatakannya, temannya itu punya sampan yang bisa dipakai ke pulau seberang. Bapak muda berambut gondrong itu mengiyakan tawaran temannya dan mengajak kami untuk “lepas landas”.
“Mau ikut?” tanyanya kepada saya. Wah, tentu saja saya mau ikut!
Kami tinggal berdua karena teman-teman lainnya, 4 orang perempuan (Dhiny, Jane, Ana, Kak Parni) + 1 orang laki-laki (Alam), sudah melenggang untuk berfoto-foto ria di pinggiran arus laut itu. Mereka lebih tertarik untuk menghabiskan memory kamera dengan wajah-wajah ceria mereka. Selain karena kakak senior saya cuma menawari kursi kosong untuk kami. Hehehe…
Untuk sesaat, saya merasa di atas angin menemukan destinasi yang belum pernah saya kunjungi. Great!
Lagi, saya menapakkan kaki di Pantai Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba. Saya mendapatkan kesempatan untuk liburan bersama teman-teman redaksi lembaga pers saya, LPPM Profesi. Sedikit menghilangkan penat dari rutinitas-rutinitas yang memompa otak.
Kata teman, ini sebagai acara pembubaran panitia kegiatan yang telah kami selesaikan nyaris sebulan kemarin. Saya yang sebetulnya sudah merencanakan ingin coming home, selepas terbitnya tabloid kami, mengecek kondisi orang tua saya di rumah, harus menundanya untuk sementara waktu.
“Ayolah. Untuk kali ini saja. Minggu depan kau boleh pulang. Tapi untuk ini, kau harus ikut,” paksa teman saya.
Oke. Saya berpikir.
Pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak….
Oke. Saya ikut.
Sekali waktu, saya harus memandang luasnya lautan, yang mampu menampung apa saja. Yah, apa saja.
Bukan kali pertama bagi saya menjejakkan kaki di Pantai pasir putih ini. Pantai yang terkenal se-nusantara karena pasirnya yang putih dan halus ini menjadi salah satu destinasi paling menarik bagi wisatawan domestik maupun luar negeri. Sepanjang penginapan disini (cottage ataupun villa), kita bisa menemukan bule berlalu lalang sambil menenteng kamera. Tak berbeda dengan setahun yang lalu ketika saya mengunjunginya pula.
Kalau diingat-ingat, ini adalah yang ketiga kalinya saya ke Tanjung Bira. Sebenarnya tidak ada salahnya menyegarkan mata dengan pemandangan lautnya yang biru kehijau-hijauan. Apalagi melepas penat dari rutinitas redaksi yang sebentar lagi akan mencapai puncaknya. Sekadar berlari-larian, membuat istana pasir, berenang dan tenggelam, jalan di dalam air, cukup untuk menggantikan beberapa alinea keburukan di kepala saya. Hanya saja, atas nama pengalaman, saya lebih penasaran dengan tempat-tempat menarik yang sama sekali belum pernah saya jejaki. Saya ingin mengabadikannya!
Tuhan bekerja dari cara kita melafalkan doa kepada-Nya, bukan seberapa sering kita melafalkannya. Dan saya semakin percaya bahwa rezeki itu datangnya selalu pagi hari.
Masih pagi benar ketika teman-teman sudah terlelap lantaran menghabiskan waktu semalaman untuk training tentang jurnalistik. Kedatangan kami di penginapan, malam hari, langsung disambut dengan menggelar “klinik” jurnalistik. Sedikit sesi pelatihan tersebut memang dikhususkan bagi magang maupun pengelola yang hadir dalam iming-iming acara pembubaran. Selain untuk mengakrabkan diri diantara pengelola, hal tersebut demi mempersiapkan kaderisasi di kepengelolaan berikutnya. Saya, sendiri, memilih untuk terlelap beberapa jam menjelang acara tersebut selesai.
Hanya ada beberapa teman lainnya, yang merupakan senior (sebagiannya #Ben10) di lembaga pers kami, sudah terjaga di pagi itu. Sembari membersihkan muka dan menunaikan kewajiban Muslim, saya mengikutkan diri dalam rombongan mereka (hanya 6 orang sih) yang bergegas ke arah pantai menyambut pagi. Saya butuh pemandangan yang menenteramkan.
“Eh, Dhin, sebentar kau tidak usah ikut menceburkan diri ke laut ya?” tutur salah seorang Kanda senior saya.
“Kenapa memang, Kak?” tanya teman saya itu penasaran.
“Kasihan nanti air lautnya, langsung berubah warna kalau kau nyebur juga,” candanya yang kemudian disambut gelak tawa kami di pagi itu. Hahaha…teman saya itu hanya bisa bermuka manyun mendengar guyonan itu.
“Mau jalan-jalan ke pulau seberang?” tanya salah seorang penduduk di Tanjung Bira ketika kami tiba di pinggir pantai.
Ia, hanya salah satu dari puluhan penduduk lainnya yang menawarkan jasa perahu untuk sampai di pulau seberang. Orang-orang disana menyebutnya Pulau Liukang Loe. Dari Pantai Tanjung Bira, lekukan perbukitan maupun bayangan pulaunya sudah nampak jelas terlihat. Tentu saja, pulau yang berdiam sendirian di tengah laut itu cukup membuat penasaran bagi setiap orang yang pertama kalinya berkunjung ke Tanjung Bira. Termasuk saya yang hanya bisa memandangnya lepas. Akh, saya harus berhemat untuk alasan lain.
“Berapa, Daeng, kalau kesana?” salah seorang dari kami balik bertanya pada tawarannya itu.
“Cuma 300 ribu untuk 10 orang,” jawabnya cekatan. Kalau dihitung-hitung, kita membayar 30 ribu per orangnya. Namun, total penumpang yang diangkut harus mencapai 10 orang dulu, baru sang pemilik perahu mau mengantarkan siapa saja ke pulau itu. Sekali lagi, saya mesti berhemat.
Sebenarnya tidak berbeda jauh dengan tarif yang dipatok untuk fasilitas Banana Boat disepanjang pantai itu. Kalau untuk “pisang” berkecepatan tinggi itu, para penjaja jasa memasang tariff 20 ribu per orangnya, untuk beberapa kali putaran di lepas pantai.
“Oke, Daeng. Kalau untuk dua orang berapa? Apa tidak bisa ya?” salah seorang kakak senior saya mengobrol lebih lanjut.
Saya hanya menemaninya, sembari memandang sepanjang pantai yang sudah dinikmati banyak orang. Anak kecil yang berlari-lari sendirian.Ada yang dikejar-kejar ibunya. Anak kecil yang membangun istana pasirnya. Mm…saya melihatnya hanya sebatas gundukan pasir berbentuk tabung? Pasangan muda-mudi yang berjalan beriringan, tentu, membicarakan banyak hal menarik diantara mereka. Pasangan suami-istri (yang mungkin) sedang menikmati masa honey moon-nya. Beberapa orang yang juga menenteng kamera sambil menyorotkannya ke berbeagai arah. Tak ketinggalan, para selfier dengan tongkat narsisnya masing-masing. Ramai. Termasuk dengan beberapa orang yang menawarkan tumpangan perahu maupun boat-nya.
“Bisa dengan 100 ribu untuk dua orang. Tapi tidak dengan perahu saya. Disana ada sampan kecil. Mungkin bisa dengannya saja, Pak,” lamat-lamat saya kembali ke arah perbincangan dua orang di samping saya. Hahaha…ada panggilan “Pak” yang menyemat di belakangnya. Saya sendiri merasa risih ketika dipanggil dengan julukan seperti itu oleh orang yang tak dikenal. -_-
Harga itu sebenarnya tergolong mahal untuk kami yang ingin ke pulau seberang. Akan tetapi, atas nama kegemarannya pada fotografi, kakak senior saya itu bela-belain membayar mahal untuk menemukan spot menarik yang bisa ditangkap lensa kameranya. Di ujung sana, di Pulau Liukang Loe.
Bapak pemilik perahu itu kemudian mengantarkan kami kepada salah seorang temannya. Seperti yang dikatakannya, temannya itu punya sampan yang bisa dipakai ke pulau seberang. Bapak muda berambut gondrong itu mengiyakan tawaran temannya dan mengajak kami untuk “lepas landas”.
“Mau ikut?” tanyanya kepada saya. Wah, tentu saja saya mau ikut!
Kami tinggal berdua karena teman-teman lainnya, 4 orang perempuan (Dhiny, Jane, Ana, Kak Parni) + 1 orang laki-laki (Alam), sudah melenggang untuk berfoto-foto ria di pinggiran arus laut itu. Mereka lebih tertarik untuk menghabiskan memory kamera dengan wajah-wajah ceria mereka. Selain karena kakak senior saya cuma menawari kursi kosong untuk kami. Hehehe…
Untuk sesaat, saya merasa di atas angin menemukan destinasi yang belum pernah saya kunjungi. Great!
Oke, we ready to go! :D (Foto: Imam) |
--Imam Rahmanto--
0 comments