Saya meninggalkan tempat ini sudah begitu lama. Tak kembali-kembali, seperti yang sudah-sudah. Padahal, ada banyak hal yang ingin saya bawa pulang ke "rumah" ini. Tentang kehilangan, tentang pertemuan.
Saya dipeluk rasa kehilangan, dua bulan lalu. Kehilangan yang begitu besar bagi saya. Di antara semua kehilangan yang pernah saya rasakan, mungkin kehilangan ini yang paling menyayat dan selalu berhasil membuat mata saya sembap hingga berlinang air mata.
"Mam, tidak ada mi Bunda..." sebuah kata-kata di ujung telepon yang membuat mulut saya kelu.
Saya tahu betul siapa yang dimaksudnya dari ujung telepon kala itu. Teleponnya terpaksa saya terima karena ia tak ingin berhenti membunyikan handphone saya. Padahal, saya sudah membalas telepon itu dengan sebaris chat pertanyaan "ada apa".
Namun, dering itu tak berhenti. Membuat kepala saya berusaha menebak-nebak jawaban dari pertanyaan itu. Salah satu jawaban yang saya pilin di kepala ternyata menjadi kenyataan.
"Na tinggalkan mi ki, Bunda..." suaranya sekali lagi menggema dari ujung telepon. Sesenggukan.
Seketika, memori saya tentang Bunda berputar begitu cepat. Berganti-ganti sekelebat waktu. Kenangan-kenangan bersamanya sebelum saya berpindah ke Bogor. Janji-janji terakhir saya lewat video call.
Apakah dunia seakan runtuh? Ya, memang tidak seperti di film-film. Tak ada air mata setelah mendengarkan kabar sahabat saya dari ujung telepojn itu. Hanya lidah yang kelu. Sedikit berusaha mencerna apa yang terjadi. Suara-suara di ruang rapat kantor mengendap.
Rasa yang tertahan itu tampaknya baru membuncah belakangan ini. Air mata saya tiba-tiba mengalir jika bercerita sedikit hal tentang Bunda. Mata saya sembap hanya karena mengingat sesuatu tentangnya. Tak peduli saya lelaki, saya bahkan bisa sesenggukan jika harus memaksakan lidah menceritakan segalanya.
Barangkali, kehilangan Bunda itu yang paling tertancap di relung hati saya. Meski bukan anak kandungnya, saya sudah menganggapnya sebagai ibu sendiri. Orang tua yang lebih orang tua bagi saya.
Untuk itu, janji mempertemukannya dengan istri saya kelak harus tetap dipenuhi. Apalagi percakapan terakhir kami di kolom WhatsApp adalah screenshot video call kami bertiga; saya, Bunda, dan kekasih. Dia yang mengirimkannya langsung tanpa saya tahu. Ia begitu semringah ketika bertemu (virtual) dengan orang yang akan menjadi istri saya kelak.
A memory |
Karena kepergian Bunda, saya pun membulatkan tekad untuk memulai fase kehidupan baru ini. Tak peduli dengan segala kekurangan menjelang hari sakral pernikahan kami. Banyak pelajaran hidup, wejangan, percakapan yang semakin memantapkan tekad saya untuk mengawali fase baru itu.
Saya ingin cepat-cepat menjumpai pusara Bunda. Meski tidak bisa saling tatap lagi, tertawa receh di dapur, saya tetap ingin menuntaskan rindu. Menceritakan segala waktu yang terlewat 4 tahun belakangan ini. Sekaligus, memperkenalkan teman hidup itu kepada Bunda.
Tahu tidak, Bunda. Apa yang engkau lihat dari layar smartphone dulu, secantik itulah perempuan yang akan menjadi pendamping hidup saya.
--Imam Rahmanto--
- November 28, 2023
- 0 Comments